Konten dari Pengguna

Memperluas Dampak Open Government sampai ke Pinggiran

Arie Hendrawan
Seorang pendidik. Memiliki ketertarikan terhadap isu-isu pemerintahan terbuka, demokrasi digital, kebijakan pendidikan, dan pendidikan kewarganegaraan.
17 Mei 2020 4:20 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arie Hendrawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Bendera Indonesia. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Bendera Indonesia. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Indonesia adalah salah satu dari delapan negara yang mempelopori Open Government Partnership (OGP) di sela-sela Sidang Umum PBB Tahun 2011. OGP merupakan inisiatif multilateral yang melahirkan berbagai komitmen konkret dalam upaya mempromosikan ide-ide pemerintahan terbuka.
ADVERTISEMENT
Berselang satu tahun kemudian, tepatnya di tahun 2012, Indonesia secara resmi meluncurkan Open Government Indonesia (OGI). Sejak saat itu, setiap dua tahun sekali OGI bersama masyarakat sipil menyusun Rencana Aksi Open Government Indonesia (Renaksi OGI) untuk berbagai lembaga pemerintah.
Perlu digarisbawahi, istilah open government tidak berarti sempit hanya sekadar tata kelola pemerintah yang membuka data publik melalui berbagai situs resmi pemerintah. Tetapi lebih dari itu, open government juga mendorong adanya semangat partisipasi dan kolaborasi masyarakat. Hal tersebut selaras dengan ketiga pilar open government, yakni transparansi, partisipasi, dan kolaborasi.
Secara teoretis sendiri, open government adalah turunan dari konsep good governance. Disparitasnya hanya terletak pada optimalisasi teknologi digital.
Pada tahun 2013, OGI mulai “mengekstensifikasikan” dampak open government bagi tata kelola pemerintahan lokal (daerah), karena pemerintah daerah dianggap sebagai “lapisan” penyelenggara pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat. Namun, jika dicermati, sesungguhnya level pemerintah yang lebih dekat dengan masyarakat dibandingkan pemerintah daerah adalah pemerintah desa. Oleh sebab itu, penting untuk memperluas implementasi open government sampai ke “pinggiran” (desa), agar dampak keterbukaan dapat semakin masif dirasakan oleh publik.
ADVERTISEMENT

Transparansi, partisipasi, kolaborasi

Saat ini, lahirnya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) menjadi momentum yang memungkinkan penerapan open government di tingkat desa, karena dalam pasal 24 UU Desa diatur mengenai penyelenggaraan pemerintah desa yang berdasarkan asas-asas tata pemerintahan yang baik. Melalui UU Desa, pemerintah desa juga memperoleh rekognisi atas hak asal-usul dan kewenangan tingkat lokal berskala desa. Akan tetapi, pengakuan tersebut perlu disertai aktualisasi pilar-pilar open government agar tidak menyimpang dan mampu mendayagunakan peran serta masyarakat luas.
Pilar pertama yang dapat diterapkan adalah transparansi. Transparansi diwujudkan dengan inisiatif open data untuk menjamin keterbukaan informasi di desa. Kontennya tidak cuma terbatas pada APB Desa, tetapi juga mencakup RPJM dan RKP desa. Adapun pendekatan yang digunakan bisa melalui dua jalur: fisik dan virtual. Melalui jalur fisik, pemerintah desa dapat mengadakan festivalisasi anggaran bertema expo. Sedangkan melalui jalur virtual, pemerintah dapat menggandeng aktor non-pemerintah untuk mengembangkan sistem open data dengan semangat “gotong royong data”.
ADVERTISEMENT
Pilar yang kedua adalah partisipasi. Implementasi pilar tersebut juga bisa dilakukan melalui dua cara. Pertama, menyelenggarakan pelayanan publik partisipatoris dengan menciptakan layanan aspirasi dan pengaduan masyarakat desa (langsung dan Daring) agar setiap kebijakan dan pelayanan publik dapat sesuai dengan harapan masyarakat. Kedua, meningkatkan kuantitas dan kualitas forum musyawarah dengan memastikan bahwa seluruh elemen warga—termasuk kelompok marginal—dapat terlibat secara “bermakna” dalam merumuskan kebijakan strategis, bukan hanya elite desa.
Terakhir, pilar yang ketiga adalah kolaborasi. Dalam pelaksanaan pilar tersebut, ada interaksi antara pemerintah dengan masyarakat yang berbasis kemitraan. Kolaborasi dapat dilakukan melalui penciptaan inovasi start-up desa dan pengembangan Produk Unggulan Kawasan Perdesaan (Purkades). Dalam inovasi start-up, lembaga-lembaga seperti LPM desa, PKK, Karang Taruna, dan BKM bersama masyarakat bisa menjadi inisiator. Sementara terkait Purkades, pemerintah desa dapat bekerjasama dengan pihak swasta untuk menciptakan produk berbasis potensi sumber daya desa.
ADVERTISEMENT

Transformasi Pemerintah Desa

Jika pilar-pilar open government di atas diperhatikan, keterlibatan masyarakat selalu menempati posisi yang krusial pada semua pilar. Artinya, keterlibatan dari masyarakat menjadi faktor determinan dan syarat mutlak (sine qua non) yang menentukan berhasil atau tidaknya penerapan open government di tingkat desa. Hal tersebut juga membawa kita pada kesimpulan, bahwa pemerintahan desa tidak akan dapat berjalan maksimal tanpa adanya dukungan dan partisipasi masyarakat. Sebab, partisipasi masyarakat dalam setiap kegiatan desa merupakan social capital yang sangat penting.
Jika dirinci lebih lanjut, ada empat aktor non-pemerintah yang bisa menjadi “kawan” pemerintah desa dalam upaya transformasi pemerintah desa. Keempatnya terdiri atas pengusaha, Organisasi Masyarakat Sipil (OMS), kelompok akademis, dan media massa. Pengusaha berperan sebagai mitra kerjasama lembaga ekonomi desa. Kemudian, OMS memiliki peran sebagai pendamping implementasi program desa. Adapun kelompok akademis dari jejaring sarjana desa dapat mengambil peran dalam pemberdayaan. Terakhir, media massa bisa menjadi agen edukasi, promosi, dan kontrol sosial.
ADVERTISEMENT
Transformasi pemerintah desa dengan penerapan pilar-pilar open government tentu saja membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Di sinilah kemanfaatan dana desa, yaitu mendukung program-program pembangunan dan pemberdayaan bagi masyarakat desa. Menurut data dari Kemendes PDT dan Transmigrasi, serapan anggaran dana desa setiap tahunnya relatif meningkat, meskipun sempat menurun pada tahun 2019. Alokasi dana tersebut diarahkan tidak hanya sebagai lokomotif pembangunan infrastruktur, tetapi juga peningkatan kualitas SDM.
Arie Hendrawan – Mahasiswa Magister Ilmu Politik Undip