Konten dari Pengguna

Polisi Virtual: Senjakala Demokrasi Digital?

Arie Hendrawan
Seorang pendidik. Memiliki ketertarikan terhadap isu-isu pemerintahan terbuka, demokrasi digital, kebijakan pendidikan, dan pendidikan kewarganegaraan.
12 Maret 2021 8:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arie Hendrawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
UU ITE (Ilustrasi) Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
UU ITE (Ilustrasi) Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
The Economist Intelligence Unit (EIU)—sayap bisnis Economist Group— baru-baru ini merilis Laporan Indeks Demokrasi 2020 yang menempatkan Indonesia pada peringkat ke-64 dunia dengan skor 6,3. Meskipun dari segi peringkat masih sama dengan tahun lalu, tetapi skor tersebut menurun dari yang sebelumnya 6,48. Ini juga menjadi skor terendah demokrasi Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Salah satu kategori pertanyaan yang menjadi indikator indeks demokrasi tersebut adalah kebebasan sipil, hal yang saat ini terancam oleh “eksistensi” UU ITE. Lembaga Nirlaba Southeast Asian Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat, di tahun 2020 saja, setidaknya ada 64 kasus pemidanaan warganet (netizen) karena terjerat UU ITE dengan tuduhan pencemaran nama baik dan ujaran kebencian.
Tidak mengherankan, jika kemudian Presiden Joko Widodo melontarkan wacana revisi UU ITE sebagai bentuk keinsyafan pemerintah atas pasal-pasal karet dalam UU ITE yang berpotensi menimbulkan regresi demokrasi. Wacana Presiden Joko Widodo tersebut lantas disusul dengan disahkannya SE Kapolri tentang kesadaran budaya beretika di ruang digital yang berimplikasi pada penerapan UU ITE.
Orwellian?
Namun, SE Kapolri No. SE/2/II/2021 tersebut sejatinya juga berpeluang menambah persoalan baru, sebab melegitimasi virtual police (polisi virtual) yang aktif berpatroli di media sosial untuk menegur warganet jika ada potensi melanggar UU ITE. Dengan demikian muncul kontradiksi ketika di satu sisi pemerintah meminta untuk dikritik, tetapi pada sisi yang lain setiap aktivitas digital publik diawasi.
ADVERTISEMENT
Bukan tak mungkin, secara psikologis masyarakat akan menjadi semakin takut untuk menyampaikan kritik kepada pemerintah.
Pertanyaan besarnya kemudian, apakah polisi virtual akan menjadi senjakala demokrasi (digital)?
Jika merujuk pada niat diterbitkannya SE Kapolri itu sebenarnya baik, bahkan patut diapresiasi. Pertama, menjawab tantangan era revolusi industri 4.0. Kedua, bertujuan untuk meningkatkan etika di dunia maya. Seperti diketahui, menurut Digital Civility Index (DCI) tahun 2020, tingkat kesopanan netizen Indonesia paling rendah di Asia Tenggara. Ketiga, mengutamakan edukasi dan mediasi (collaborative justice).
Namun praksisnya, polisi virtual tak cuma sekadar mengawasi, tetapi juga melakukan tindakan tertentu, yakni memberikan peringatan. Pada konteks ini, masyarakat seakan sedang terkurung dalam orwellian state yang dikekang kebebasannya. Terminologi itu mengacu pada buku berjudul Nineteen Eighty-Four (1984)—karya George Orwell. Di sana, publik diawasi secara penuh oleh pemerintahan represif untuk patuh.
ADVERTISEMENT
Keadilan
Tentu saja kita tidak ingin hal itu terjadi. Oleh karenanya, ada dua prinsip yang perlu diperhatikan oleh pihak kepolisian agar tetap bisa menjamin tegaknya kebebasan sipil, khususnya di ruang siber. Dua prinsip yang dimaksud adalah keadilan dan transparansi. Keduanya juga menjadi bagian dari jargon yang digagas oleh Kapolri Baru Listyo Sigit, yakni PRESISI (Prediktif, Responsibilitas, dan “Transparansi Berkeadilan”).
Pertama, keadilan. Prinsip tersebut harus termanifestasi dalam keadilan yang terkait dengan dua aspek, yaitu terhadap subjek dan substansi. Terhadap “subjek”, polisi wajib bersikap adil dalam mengawasi dan menegur seluruh warganet yang dianggap memiliki potensi melanggar UU ITE, tanpa terkecuali. Tidak peduli apakah mereka dari kalangan elite, masyarakat umum, kelompok yang pro pemerintah, ataupun oplosan.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, terhadap “substansi”, polisi harus dapat membedakan mana konten kritik, satire, kelakar, aspirasi, hoaks, dan pencemaran nama baik. Di sini, polisi dituntut untuk mampu mengklasifikasikan substansi sebuah konten secara tepat. Perlu diingat, bahwa bahasa itu bersifat subjektif. Kata-kata tidak pernah berdiri sendiri atau absolut, sebab tergantung dari subjek pembicara (pengalaman) dan situasi yang berlangsung.
Transparansi
Kedua, transparansi. Prinsip transparansi di konteks ini harus berlaku sebelum dan setelah polisi virtual mulai menjalankan tugas. Sebelum beroperasi, pihak kepolisian hendaknya melakukan sosialiasi secara masif terlebih dulu kepada masyarakat luas tentang urgensi pembentukan polisi virtual dan cara kerjanya. Sayangnya, saat ini polisi virtual sudah mulai bekerja, meskipun SE Kapolri itu belum lama dirilis.
Berikutnya, transparansi pasca polisi virtual mulai bertugas. Jika dicermati dari contoh formulir peringatan polisi virtual yang didokumentasikan Bareskrim Polri, kolom yang tersedia sebenarnya sudah cukup lengkap, seperti sumber tautan, capture konten, dan profil target. Salah satu yang krusial, yakni pendapat ahli (pidana, bahasa, serta ITE), juga telah ada untuk menghindari subjektivitas penyidik kepolisian.
ADVERTISEMENT
Kemudian, bagaimana dengan akun yang tidak selalu siaga memantau/mengecek kotak masuk pesan miliknya? Padahal, dalam 1x24 jam setelah teguran, konten harus segera diturunkan.
Potensi
Akhirnya, kembali pada persoalan senjakala demokrasi digital. Keberadaan polisi virtual harus diakui akan tetap berpeluang menjadi ancaman bagi demokrasi digital. Peluang itu yang mesti diminimalisir dengan pengawasan sejumlah pihak, termasuk dari masyarakat sendiri. Media sosial adalah ruang publik virtual yang menyimpan potensi besar sebagai tempat untuk mendiskusikan isu-isu publik strategis.
Potensi tersebut semestinya juga dioptimalkan oleh pemerintah dengan menyediakan kanal-kanal deliberasi (musyawarah) publik dalam platform media sosial yang inklusif. Berbagai kanal deliberasi itu bisa difungsikan sebagai “arena” partisipasi masyarakat dan bentuk keterbukaan pemerintah (open government) dalam menyusun rumusan maupun evaluasi kebijakan dan pelayanan publik secara kolaboratif.
ADVERTISEMENT
Selain itu, percakapan antar warga di media sosial juga dapat diolah sebagai “big data” sebagai salah satu bahan untuk merencanakan dan mengevaluasi kebijakan dengan peta Social Network Analysis (SNA). Secara genuin, ekosistem media sosial bersifat universal dan interaktif yang menjamin kebebasan bagi para penggunanya. Jadi, jangan sampai kebebasan itu direnggut, tetapi juga harus digunakan dengan bertanggung jawab.
Arie Hendrawan – Alumni Magister Ilmu Politik, Undip