Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Quo Vadis Amandemen Pasal 33 Ayat 4 UUD 1945?
10 Desember 2024 17:12 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Arie Muslichudin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”
ADVERTISEMENT
(Pasal 33 Ayat 4 UUD 1945)
Pasca-amandemen, Pasal 33 menjadi dasar bagi berbagai undang-undang terkait ekonomi, seperti Undang-Undang Sumber Daya Air , Undang-Undang Minerba , dan kebijakan lainnya. Reformasi ekonomi dan atau demokrasi ekonomi ini juga mendukung penerapan otonomi daerah, yang memberikan kewenangan lebih kepada daerah dalam mengelola sumber daya lokal yang bertujuan untuk meningkatkan pemerataan pembangunan dan atau mengurangi ketimpangan antar wilayah yang kerap dikenal juga sebagai desentralisasi ekonomi. Dan prinsip demokrasi ekonomi dalam Pasal 33 yang menjadi prinsip utama dalam mendorong partisipasi publik atau keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan ekonomi, termasuk melalui koperasi dan badan usaha yang mencerminkan asas kekeluargaan.
ADVERTISEMENT
Lantas bagaimana perkembangan penerapannya saat ini? Dengan adanya wacana peraturan kebijakan pembatasan subsidi BBM, listrik, dan energi lainnya telah menjadi sorotan yang mengundang polemik di Indonesia. Subsidi energi, yang selama ini menjadi bagian penting dari kebijakan ekonomi negara, kini berada di bawah sorotan karena dianggap tidak tepat sasaran, membebani anggaran negara, dan berpotensi merusak keberlanjutan lingkungan.
Pada tahun 2022, realisasi subsidi energi mencapai Rp157,6 triliun atau lebih rendah dari target yang telah ditetapkan sebesar Rp211,1 triliun. Kondisi minyak mentah yang mengalami penurunan di kuartal tiga turut andil pada penurunan realisasi subsidi BBM dan LPG yang mencapai Rp97,8 triliun, lebih rendah dari target sebesar Rp149,4 triliun. Dan pada tahun 2023, pemerintah Indonesia mengalokasikan subsidi energi sebesar Rp 209,9 triliun, yang terdiri dari Rp 139,4 triliun untuk BBM dan LPG, serta Rp 70,5 triliun untuk subsidi listrik. Namun, sebagian besar subsidi ini justru dinikmati oleh masyarakat berpenghasilan menengah ke atas, sementara kelompok rentan yang seharusnya menjadi prioritas tidak mendapatkan alokasi yang memadai.
ADVERTISEMENT
Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Apakah instansi/lembaga berwenang tidak melakukan cross-check perencanaan, mitigasi, pengawasan distribusi subsidi? Atau secara desain kebijakan memang masih bersifat universal sehingga segmentasi penerima manfaat atas kebijakan masih menyebabkan fakta masalah di atas terjadi terus menerus bagi perkembangan sosial-ekonomi masyarakat?
Tentunya pertanyaan-pertanyaan tersebut tidaklah mudah untuk dijawab dalam waktu yang singkat, perlunya pemaknaan kembali, gotong-royong, dan komitmen antar lembaga dan partisipasi sosial untuk mengatasi pekerjaan rumah bersama. Maka dari itu, Quo Vadis Amandemen Pasal 33 ayat 4 UUD 1945 berupaya memberikan refleksi atas polemik yang terjadi dan kembali ke akar. Sebagaimana telah dijelaskan di muka bahwa refleksi atas polemik yang berlangsung dua dekade ini, lantas membuat pertanyaan lain muncul: apakah pasal ini telah diimplementasikan dengan optimal? dan apakah ada kebutuhan untuk kembali mengamandemennya?
ADVERTISEMENT
Mari kita mulai dari demokrasi ekonomi yang menjadi pijakan utama pasal ini, tentunya belum sepenuhnya terwujud. Ketimpangan ekonomi masih tinggi, dengan penguasaan aset dan sumber daya alam yang terkonsentrasi pada segelintir pihak saja. Alih-alih mensejahterakan masyarakat, perekonomian nasional seringkali terjebak dalam dominasi modal besar, baik asing maupun domestik. Salah satu penyebab utama diantaranya ialah monopoli dan oligopoli yang menciptakan ekosistem distribusi keuntungan dan akses sumber daya yang tidak adil dan merata.
Kemudian telaah terhadap prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan tampaknya seringkali hanya menjadi jargon. Eksploitasi sumber daya alam tanpa kontrol—seperti misalnya tidak mengindahkan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) yang holistis hanya sekedar formalitas, seperti deforestasi dan tambang yang secara riil merusak lingkungan dan hampir meniadakan kesejahteraan sosial , menunjukkan lemahnya penerapan prinsip ini. Contoh konkret dalam tantangan penerapan prinsip ini, negara kerapkali gagal mengatasi konflik agraria yang terus menerus meningkat hanya untuk penguatan rezim developmentalisme , alih-alih mengatasinya—masyarakat adat seringkali menjadi korban dari kebijakan ekonomi yang tidak adil dan berdampak buruk bagi ekosistem alami dan kelangsungan hidup manusia.
ADVERTISEMENT
Dengan tidak adanya keseriusan negara untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat (RUU Masyarakat Adat) yang hanya dibahas, euforia simbolis kemerdekaan, dan jargon pesta elektoral semata—maka prinsip ini juga sama sekali menjadi tidak bermakna filosofis maupun esensial bilamana tidak dibarengi dengan tindakan konkret atas upaya pemenuhan kewajiban negara atas hak warga negaranya.
Dalam banyak prakteknya kebijakan ekonomi yang terlihat efisien dalam mencapai angka-angka pertumbuhan ekonomi, tetapi tidak dapat menjawab masalah keadilan sosial. Ketimpangan antar wilayah seperti Jawa dan luar Jawa, menunjukkan ketidakseimbangan dalam pembangunan yang terjadi. Model pembangunan juga masih jauh dari kata penerapan prinsip efisiensi berkeadilan yang termaktub dalam dasar negara ini. Desentralisasi maupun hilirisasi yang terjadi tidak cukup mampu memenuhi kebutuhan primer masyarakat lokal yang senantiasa menjadi target pendukung laju gerak perekonomian nasional. Hal ini menjadikan negara seolah-olah semena-mena menentukan arah pembangunan ekonomi yang menimbulkan disparitas jauh antara kepentingan masyarakat luas dengan kepentingan ekonomi nasional.
ADVERTISEMENT
Amandemen atau Implementasi?
Hemat penulis, amandemen pasal ini memunculkan dua pandangan : ada yang menganggap perlu pembaruan, dan ada juga yang menilai masalah utama adalah implementasi, bukan peraturan itu sendiri. Yang menganggap perlu adanya pembaruan—menganggap urgensi tambahan klausul tegas untuk membatasi konsentrasi aset pada pihak tertentu dan memperkuat posisi rakyat kecil, seperti koperasi dan UMKM, dalam sistem ekonomi. Baginya juga pasal ini belum secara eksplisit menyinggung dinamika ekonomi digital, yang kini menjadi tulang punggung perekonomian global. Dalam hal lain, prinsip keberlanjutan perlu diperkuat dengan ketentuan sanksi tegas terhadap pelanggaran lingkungan. Kemudian yang menganggap hanya perlu fokus pada masalah implementasi—perubahan pasal dianggap tidak efektif jika tidak diiringi dengan perbaikan tata kelola dan penegakan hukum. Proses amandemen dapat memicu instabilitas politik, mengingat sensitivitas pengelolaan ekonomi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Quo Vadis Pasal 33 Ayat 4?
Arah reformasi Pasal 33 Ayat 4 tidak semata-mata terletak pada amandemen teksnya, melainkan pada komitmen untuk mengimplementasikan nilai-nilainya secara riil. Jika terpaksa harus memberikan saran yang kendati kita ketahui tidak akan pernah digubris oleh negara berikut saran yang bisa menjadi pertimbangan bersama:
Penguatan regulasi turunan; Undang-Undang dan kebijakan turunan yang sesuai dengan roh pasal ini harus diperbaiki—dengan kata lain tidak menciptakan sekumpulan Undang-Undang yang menguatkan regulasi sektor tertentu dan tidak berupaya saintifik berbasis objektif.
Pemberdayaan masyarakat lokal; Mendorong partisipasi rakyat, khususnya dalam pengelolaan sumber daya alam—tidak menggembosi gerakan swadaya masyarakat dengan tawaran bekas konsesi projek negara maupun lainnya yang berpotensi berimplikasi pada melemahnya partisipasi sosial yang bermakna.
ADVERTISEMENT
Inovasi dalam pengawasan; Meningkatkan transparansi dan pengawasan terhadap praktik ekonomi yang tidak sesuai dengan nilai dan prinsip pasal ini—jika perlu ada sanksi berat bagi penghambat berjalannya fungsi transparansi dan pengawasan guna mewujudkan nilai dan prinsip yang terkandung dalam pasal ini—misalnya dapat melakukan rejuvenasi KPK dan mengesahkan RUU Perampasan Aset .
Pada akhirnya, pasal 33 Ayat 4 UUD 1945 bukan sekadar tulisan konstitusional, melainkan kompas moral dan hukum dalam membangun perekonomian Indonesia. Apakah kita membutuhkan amandemen baru atau tidak, jawabannya terletak pada keseriusan bangsa ini untuk menjadikan pasal tersebut sebagai panduan nyata dalam setiap kebijakan ekonomi.
Indonesia tidak kekurangan visi. Yang kita butuhkan adalah keberanian untuk menjadikan keadilan, keberlanjutan, dan demokrasi ekonomi sebagai prioritas nyata, bukan sekadar retorika politik atau jargon konstitusi. Jika tidak, kita akan terus terjebak dalam siklus ketimpangan, konflik, dan eksploitasi yang merugikan masa depan bersama.
ADVERTISEMENT