Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Perspektif Hukum Perdata terhadap Pelaksanaan Hibah
8 Mei 2024 16:50 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Moh Arie Mustofa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Hibah merupakan bentuk penyaluran kasih sayang dan solidaritas antar manusia. Penyaluran tersebut diwujudkan dengan meringankan kesulitan yang sedang dialami oleh orang lain dengan cara memberi sesuatu kepadanya. Di Indonesia aturan hibah telah tercantum di dalam Hukum Perdata (BW). Hukum perdata menjadi acuan dalam melaksanakan hibah. Berikut penjelasan lebih lanjut tentang hibah menurut hukum perdata:
ADVERTISEMENT
Pengertian, Fungsi, dan Tujuan Hibah
Menurut hukum perdata, sesuai yang dinyatakan di dalam pasal 1666 BW, "Hibah adalah suatu persetujuan dengan mana si penghibah di waktu hidupnya dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu."
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa hibah adalah suatu perjanjian di mana pihak yang pertama memberi harta kekayaannya dengan cuma-cuma kepada pihak kedua selaku penerima. Pemberian tersebut seketika mengikat dan tidak dapat dicabut kembali menurut kehendak satu pihak.
Fungsi dan Tujuan Hibah
Muhammad Daud Ali mengemukakan bahwa hibah memiliki fungsi tertentu, antara lain:
1. Membatasi fenomena kesenjangan sosial antara kelompok yang mampu dengan kelompok yang tidak mampu.
ADVERTISEMENT
2. Sebagai sarana dalam mewujudkan keadilan sosial di tengah masyarakat.
3. Sebagai salah satu bentuk upaya untuk menolong golongan yang lemah.
Pelaksanaan Hibah menurut Hukum Perdata
Apabila kita mengamati pasal-pasal dalam hukum perdata tentang aturan hibah, maka kita dapat menemui ada tiga macam unsur hibah, yaitu penghibah, penerima hibah, dan barang yang dihibahkan.
Penghibah
Penghibah adalah seseorang yang memberikan sebagian hartanya kepada orang lain yang dianggap layak, baik itu ahli waris, kerabat, maupun orang lain. Akan tetapi, perlu diingat bahwa penghibah tidak boleh memberikan harta apabila belum dewasa, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1677 KUH Perdata.
Penerima Hibah
Dalam pasal 1678 KUH Perdata telah dijelaskan bahwa antara suami dan istri tidak diperbolehkan saling menghibahi selama keduanya masih dalam status perkawinan. Akan tetapi, untuk hadiah atau pemberian-pemberian berupa barang bergerak tetap diperbolehkan.
ADVERTISEMENT
Apabila penerima hibah belum dewasa, maka harus diwakili oleh orang tuanya atau walinya. Kemudian di dalam pasal 1679 dinyatakan bahwa orang yang menerima hibah itu harus sudah ada (dilahirkan) pada saat dilakukan penghibahan. Dalam pasal 2 KUH Perdata dinyatakan lebih lanjut bahwa "anak yang ada dalam kandungan pun dianggap sebagai telah dilahirkan manakala kepentingan si anak itu menghendaki."
Sementara itu di dalam pasal 1680 dijelaskan bahwa hibah-hibah kepada lembaga umum atau lembaga keagamaan tidak berakibat hukum, kecuali jika Presiden atau pembesar yang ditunjuknya telah memberikan kuasa kepada para pengurus lembaga-lembaga tersebut untuk menerimanya.
Selanjutnya dalam pasal 904 s/d 907 dijelaskan bahwa tidak dibenarkan menerima hibah, seperti guru-guru/pengasuh dari muridnya, orang yang mempunyai hubungan khusus seperti dilarang memberikan hibah kepada dokter yang telah merawatnya selama sakit atau pemberian hibah kepada notaris yang telah membuatkan testamen hibah wasiat (Asriadi Zainuddin, 2017).
ADVERTISEMENT
Barang yang dihibahkan
Di dalam Pasal 1688 KUH Perdata dinyatakan bahwa suatu barang hibah tidak dapat ditarik kembali dan tidak dapat dibatalkan, kecuali:
1. Jika syarat-syarat penghibahan tidak dipenuhi oleh penerima hibah.
2. Jika si penerima hibah melakukan atau ikut melakukan kejahatan yang dapat membunuh si penghibah.
3. Jika si penghibah jatuh miskin sedangkan si penerima hibah menolak untuk memberi nafkah kepadanya.
Selanjutnya meliputi barang hibah yang bergerak dan tidak bergerak. Pemindahan barang bergerak dan tidak bergerak telah diatur di dalam pasal 1682 s/d 1687 KUH Perdata. Pada dasarnya di dalam pasal 1682 s/d 1687 dapat dipahami bahwa penghibahan benda tak bergerak ditetapkan suatu formalitas dalam bentuk akta notaris. Tetapi dalam penghibahan benda yang bergerak yang berbentuk tidak dibutuhkan suatu formalitas dan dapat dilakukan dengan cara menyerahkan barangnya langsung kepada si penerima hibah ataupun kepada pihak ketiga yang menerima hibah atas namanya (Asriadi Zainuddin, 2017).
ADVERTISEMENT
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hibah dalam hukum perdata memiliki fungsi dan tujuan tertentu demi keadilan dan kemakmuran bangsa Indonesia. Maka sudah sepatutnya kita sebagai warga negara Indonesia untuk mematuhi dan menjalankannya.
Daftar Pustaka
Asriadi Zainuddin, PERBANDINGAN HIBAH MENURUT HUKUM PERDATA DAN HUKUM ISLAM, Al-Himayah, Vol. 1, No. 1 Maret 2017
Muhammad Daud Ali, SISTEM EKONOMI ISLAM: ZAKAT DAN WAKAF, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1999
Yeni Salma Barlinti dan Winanto Wiryomartani, PEMBATALAN HIBAH OLEH ORANGTUA KEPADA ANAK DAN KESALAHAN PENULISAN DALAM AKTA HIBAH OLEH PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Gresik Nomor 1384/Pdt.G/2018/PA.Gs), Indonesian Notary, Vol. 4, No. 2, 2022