Perspektif Hukum Positif dan Islam terhadap Nikah Mutah (Kawin Kontrak)

Moh Arie Mustofa
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
25 November 2022 21:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Moh Arie Mustofa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Foto: pexels.com
ADVERTISEMENT
Dalam Islam, nikah mutah (kawin kontrak) memiliki makna pernikahan yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu. Artinya, pernikahan tersebut tidak bersifat selamanya sampai akhir hayat, tetapi akan berakhir pada batas waktu yang telah ditentukan. Fenomena ini kerap kali terjadi di kalangan masyarakat, khususnya orang asing yang datang dari negara lain. Mereka sering kali beralasan ingin mencari teman dekat untuk hidup bersama karena merasa kesepian tinggal dan hidup di negara lain(Lukmanul Hakim, 2021).
ADVERTISEMENT
Salah satu contoh kasus nikah mutah (kawin kontrak) di Indonesia yaitu pernikahan yang terjadi di kecamatan Cisarua, Bogor. Studi kasus ini dilakukan oleh Zikran Amnar yang di dalam jurnalnya menuliskan beberapa alasan yang disampaikan oleh pelaku, yaitu tujuan pernikahan yang hanya dilakukan untuk mencari kesenangan semata, memenuhi kebutuhan biologis, dan mengharapkan keuntungan ekonomi(Zikran Amnar, 2020).
Pembahasan hukum tentang nikah mutah telah banyak dikaji dari berbagai perspektif. Bahkan, halal dan haramnya sudah diperdebatkan sejak dahulu oleh para ulama. Indonesia sendiri sebagai negara hukum telah menetapkan beberapa ketentuan dalam menanggapi permasalahan yang ada di dalamnya. Semua ketentuan tentang pernikahan telah tertulis di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Nikah Mutah Menurut Perspektif Hukum Positif
ADVERTISEMENT
Nikah mutah ini selalu bertentangan dengan hukum positif dan hukum Islam. Indonesia melarang adanya nikah mutah, karena melihat dampak yang akan terjadi di kemudian hari. Nikah mutah bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang menjelaskan bahwa :
1.) Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara pria dan wanita dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Pada nikah mutah, umumnya pasangan suami istri hanya ingin bersenang-senang semata dan tidak berlangsung lama.
2.) Suatu perkawinan harus dicatat menurut undang-undang yang berlaku. Banyak dari pelaku nikah mutah yang tidak mendaftarkan perkawinannya ke pengadilan agama, dan memilih jalan nikah sirih dalam prakteknya. Hal ini yang memungkinkan adanya masalah di kemudian hari.
3.) Apabila ingin menikah lebih dari seorang istri, maka wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan agama terdekat. Dalam hal ini, pelaku nikah mutah akan berganti istri tiap kali jangka waktu yang telah ditentukan sudah habis. Dan ini bertentangan dengan undang-undang.
ADVERTISEMENT
4.) Batasan umur yang diperbolehkan menikah. Nikah mutah terjadi tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis saja, akan tetapi faktor ekonomi juga bisa mempengaruhinya. Hal ini yang menjadi motif para orang tua untuk menikahkan anaknya di bawah umur.
5.) Tujuan perkawinan yaitu untuk mempersulit terjadinya perceraian. Perkawinan mutah tidak mungkin memiliki tujuan seperti ini, karena ketika jangka waktu yang telah ditentukan sudah berakhir, maka ikatan pernikahan pun secara otomatis akan berakhir. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI (Kompilasi Hukum Islam). Terlebih lagi perkawinan seperti ini tidak mengharapkan adanya keturunan dari hubungan kedua belah pihak.
6.) Hak dan kedudukan suami seimbang dengan hak dan kedudukan istri di mata hukum. Namun, pada realitanya hak dan kedudukan seorang istri tidak sama dengan suami dikarenakan kesewenangan-wenangan yang dilakukan oleh suami terhadap istri. Karena suami akan menganggap istri telah mendapatkan imbalan yang sesuai dengan perjanjian yang dibuat sebelum pernikahan. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kemaslahatan dan hak asasi pada istri.
ADVERTISEMENT
Nikah Mutah Menurut Perspektif Hukum Islam
Dalam Islam, pernikahan kontrak seperti ini juga memiliki ketentuan hukum khusus dalam pembahasannya dan mendapat perhatian lebih dari banyak pakar hukum Islam. Perbedaan pendapat yang dikemukakan oleh kaum Syiah dan Sunni menjadikan nikah mutah menarik untuk dibahas dan dikaji lebih mendalam. Secara umum, kaum Sunni menganggap nikah mutah adalah nikah yang dilarang berdasarkan al-qur’an,hadis,fatwa sahabat, dan ijmak ulama Sunni. Sedangkan kaum Syiah menganggap nikah mutah tidak dilarang atau diperbolehkan.
1.) Nikah Mutah Menurut Perspektif Sunni
Para ulama Sunni menyatakan bahwa Allah Swt hanya membenarkan dua cara dalam penyaluran nafsu seksual, pertama melalui pasangan yang dinikahi tanpa adanya batasan waktu tertentu dan kedua melalui kepemilikan budak perempuan. Hal ini berlandaskan firman Allah Swt pada QS. Al-Mu’minun: 5-7. Ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah Swt hanya memperbolehkan penyaluran nafsu seksual dengan pernikahan yang sah dan kepemilikan budak.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, terdapat juga hadis yang dijadikan pegangan oleh ulama Sunni tentang pelarangan nikah mutah, yaitu riwayat shahih Bukhori yang melarang mutah pada waktu perang Khaibar. Hadis itu berbunyi :
حدثنا مالك بن اسماعيل حدثنا ابن عيينة انه سمع ازهرى يقول أخبرن الحسن بن محمد علي واخوه عبدلله عن ابيهما ان عليا رضى الله عنه قال لابن عباس ان النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن المتعة وعن الحوم الحمر الأهلية زمن خيبر
“Mālik ibn Isma’il menceritakan kepada kami, Ibnu Uyainah menceritakan bahwa al-Zuhra berkata, al-Hasan ibn Muhammad ibn Ali dan saudaranya telah memberitahukan kepada kami dari ayah mereka bahwa ‘Ali ra,mengatakan kepada Ibnu Abbas bahwa Nabi saw melarang nikah mutah dan memakan daging khimar kampung pada masa peperangan Khaibar.”(HR. shahih Bukhari).
ADVERTISEMENT
2.) Nikah Mutah Menurut Perspektif Syiah
Para ulama Syiah membolehkan nikah mutah berlandaskan dengan firman Allah Swt pada QS. Al-Nisa: 24. Menurut mereka QS. Al-Nisa ayat 24 itu menunjukkan dan menjelaskan nikah mutah. Dengan adanya lafal ilā ajal musammā pada ayat tersebut yang bermakna sampai waktu tertentu, dan lafal tersebut berada setelah lafal istamta’tum bihi minhunna. Mereka memaknai lafal istamta’tum dengan makna mutah.
Ulama Syiah juga berargumentasi bahwa larangan mutah yang dikemukakan tidak diketahui secara pasti kapan terjadinya larangan tersebut. Sehingga menurut pandangan mereka, suatu hal yang sudah diyakini tidak bisa dibatalkan oleh suatu hal yang diragukan. QS. Al-Nisa ayat 24 menurut mereka adalah ayat al-qur’an yang sifatnya pasti. Sedangkan riwayat-riwayat yang membenarkannya bersumber dari hadis yang sifatnya tidak pasti. Dengan demikian, sesuatu yang sifatnya tidak pasti, maka tidak bisa membatalkan sesuatu yang sifatnya pasti.
ADVERTISEMENT
Sebagian mereka juga menganggap larangan melakukan nikah mutah yang dilakukan oleh sayyidina Umar ra bukanlah larangan yang berdasarkan hukum agama, akan tetapi larangan tersebut untuk kemaslahatan masyarakat pada masa pemerintahannya(Miftahatul Qolbi, 2020).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa nikah mutah bertentangan dengan hukum positif dan hukum Islam. Akan tetapi, dalam menghukumi nikah mutah, para ulama Sunni dan Syiah berbeda pendapat. Mereka dari kalangan Sunni menganggap bahwa nikah mutah itu tidak boleh dilakukan atau haram. Sedangkan dari kalangan Syiah menganggap nikah mutah itu boleh dilakukan atau halal.
Daftar Pustaka
Zikran Amnar, ANALISIS PERKAWINAN KONTRAK MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG (Studi Kasus Perkawinan Kontrak Kecamatan Cisarua Bogor), AL-IKHTISAR, Vol. 1, Nomor 1 Desember 2020
ADVERTISEMENT
Miftahatul Qolbi, PANDANGAN AL-ZAMAKHSHARI TENTANG NIKAH MUT’AH: ANALISIS IDEOLOGIS DALAM KITAB AL-KASHSHAF, Mushaf: Jurnal Tafsir Berwawasan Keindonesian, Vol. 1, Nomor 1 Agustus 2020
Lukmanul Hakim (2021), PERKAWINAN MUT’AH: Pandangan Islam dalam Ketatanegaraan Indonesia, Siyasatuna, Jurnal hukum tata negara, journal.iaitasik.ac.id.