Sengketa tanah ulayat yang disertifikatkan

Ari wibowo
Mahasiswa Fakuktas Hukum Universitas Ahmad Dahlan
Konten dari Pengguna
28 Desember 2020 21:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ari wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ari wibowo Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan
zoom-in-whitePerbesar
Ari wibowo Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow

Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik dan negara hukum, bermacam-macam bahasa, budaya, suku dan agama. Begitupun masyarakat adat di dalam UUD 1945 pasal 18 ayat 2 menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormat kesatuan-kesatuan masyarakat adat berserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur dalam uu” serta Undang-undang no. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok Agraria pasal 3 Hak ulayat di akui sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Tanah ulayat adalah tanah bersama (kolektif) yang dimiliki oleh kaum adat.

ADVERTISEMENT
Menurut Puti Reno Raudhatul Janna Thaib (Bundo Upik) Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi yang ada di Indonesia dan didalamnya ada masyarakat adat minangkabau. Sedangkan Pengertian minangkabau menurut sejarah ialah mulai dari munculnya kerajaan-kerajaan di pantai timur; Kuntala, Swarnabhumi, Sriwijaya, Malayapura sampai berdirinya kerajaan Pagauyung. Ada pula minangkabau menurut Tambo ialah mulai dari kedatangan Sultan Sri Maharaja Diraja (kerajaan Pasumayan Koto Batu, Galundi Nan Basel, Bungo Satangkai dan Dusun Tuo sampai berdirinya kerajaan pagaruyung. Dan masih banyak lagi definisi minangkabau menurut tokoh adat setempat.
Sampai saat ini hukum adat minangkabau masih tetap hidup dalam kearifan lokalnya hingga daerah tersebut masih banyak terjadi sengketa adat atau sengketa tanah ulayat, yang jadi masalah di sini adalah tidak ada lagi Tras terhadap Kerapatan Adat Nagari (KAN) dikarenakan tidak mampu memberikan kepastian dalam menyelesaian/putusan mengenai sengketa yang terjadi. maka dari itu sengketa tanah ulayat banyak diselesaikan di ranah pengadilan (hukum positif). akan tetapi didalam penyelesaian di ranah pengadilan(hukum positif) pun ada juga permasalahan dalam proses pembuktian kepemilikannya dikarenakan hak kepemilikan tanah ulayat tidak bisa dibuktikan secara tertulis (sertifikat). Sehingga Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang melaksanakan tugas pemerintahan dibidang pertanahan ikut dalam penyelesaikan sengketa tanah ulayat, disini BPN bertujuan untuk mensertifikatkan tanah ulayat agar memberikan kepastian hukum terhadap kaum adat tersebut. Didalam Perda Sumatera Barat no 16 tahun 2008 pasal 1 ayat 7 menjelaskan Tanah ulayat adalah bidang tanah pusaka beserta sumber daya alam yang ada diatasnya dan didalamnya diperoleh secara turun menurun merupakan hak masyarakat hukum adat di Provinsi Sumatera Barat.
ADVERTISEMENT
Penulis mendengar disaat mengikuti webinar tentang tanah ulayat yang ada di Sumatera Barat bahwasannya yang mendatangani sertifikat itu adalah Datuk, mamak kapalo waris, dan diketahui pihak Kerapatan Adat Nagari(KAN). Hal itu banyak mengundang perdebatan menolak adanya tanah ulayat yang disertifikatkan dikarenakan program tersebut kurang efektif bagi kaum itu sendiri, baginya tanah ulayat itu tidak bisa di sertifikatkan karena itu adalah hak milik bersama (kolektif) dan yang ditakutkan akan ada praktik/peilaku sertifikat misalnya Datuk menguasai sertifikat digunakan untuk digadai/jual ke Bank dan akan menghilangkan hak kaum itu. Hakikatnya didalam nilai-nilai hukum adat menegaskan bahwa tanah ulayat tidak bisa di jual/belikan. Semua yang menyakut tentang harta pusako harus melalui musyawarah adat terlebih dahulu. Begitu katanya. Maka dari itu banyak penolakan oleh masyarakat maupun aktivis adat.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Adanya sengketa tanah ulayat kaum adat lebih mempercayakan pengadilan (hukum positif) dari pada Kerapatan Adat Nagari (KAN) dikarena bisa memberi kepastian dalam penyelesaian. Kaum adat sangat menolak tanah ulayat tersebut apabila disertifikatkan karna takut mengakibatkan adanya praktek/prilaku menyimpang oleh sekelompok kaum demi kepentingan dan agar tidak menghilangkan hak dan nilai-nilai hukum adat itu sendiri. Apalagi negara sudah mengakui hukum adat itu didalam pasal 18 ayat 2 dan UUPA pasal 3 yang sudah dijelaskan.
Saran
Menurut penulis kaum adat yang bersengketa lebih baik mempercayai Kerapatan Adat Nagari (KAN) untuk menyelesaikan sengketanya, apabila ada kekurangan dalam proses/sistem penyelesaian di kerapatan marilah kita bersama-sama untuk memperbaiki itu. Kontribusinya, baik dari aspek pikiran, materil, maupun tenaga. Mengukip teori Kahrudin Yunus tokoh Ekonomi Islam dari Sumatera Barat yaitu Bersamaisme (dipahami oleh bersama, dikerjakan oleh bersama dan dinikmati oleh bersama) penulis yakin permasalahan/sengketa ini akan terselesaikan apabila dilakukan bersama, walaupun teori ini sudah masuk dalam kearifan lokal di minangkabau. Dan masalah tanah ulayat yang akan disertifikatkan menurut penulis alangkah baiknya sengketa ini diselesaikan melalui hukum adat mereka bukan melalui hukum positif, cukup negara untuk melindungin dan mengakui hak mereka. Biarkan mereka menyelesaikan masalahnya karena segala sesuatu permasalahan pasti bisa diselesaikan dan negara jangan telalu banyak untuk intervensi dalam nilai-nilai hukum adat ini karena akan mengakibat perdebatan panjang walaupun tujuan negara itu baik untuk memberikan kepastian hukum terhadap kaum.
ADVERTISEMENT
Terima kasih