Konten dari Pengguna

Kafir-kapiran

Arief Hoedha
Konsultan dan Praktisi Perpajakan. Interests: Bisnis, Pendidikan, Personal Development, Sejarah, Musik, Film.
26 Januari 2017 15:06 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arief Hoedha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kata kapiran/ka·pi·ran/ Jawa menurut "kbbi" berarti tidak terurus; telantar; tidak beroleh apa-apa; sia-sia.
ADVERTISEMENT
Kāfir (bahasa Arab: كافر kāfir; plural كفّار kuffār) secara harfiah berarti orang yang menyembunyikan atau mengingkari kebenaran. Kāfir berasal dari kata kufur yang berarti ingkar, menolak atau menutup.
Menurut "kbbi" kafir/ka·fir/ n berarti orang yang tidak percaya kepada Allah dan rasul-Nya.
Dalam terminologi kultural kata ini digunakan dalam agama Islam untuk merujuk kepada orang-orang yang mengingkari nikmat Allaah.
Begini:
Sudah ketentuan NYA, seseorang terlahir atau menjadi muslim dan rela menjalankan syariat Islam sampai akhir hidup (in syaa Allaah, Aamiin). Mari renungkan, akankah DIA Sang Pencipta ridho jika seseorang 'mengutuk' orang lain yang berbeda agama dengan cara mengkafir-kafirkan. Alasannya sederhana, dengan 'mengkafirkan', maka orang itu membuat ketentuan bahwa pihak yang dikafirkan itu akan selamanya kafir, sehingga berpotensi menghalangi atau menghambat hidayah NYA yang mungkin akan turun bagi mereka di kemudian hari. Hanya DIA Yang Maha Kuasa. Ini ranah dan otoritas NYA. Apalah kuasa manusia.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan pertama: jangan pernah memposisikan diri sebagai Tuhan.
Kemudian begini:
Rasulullaah sudah memberi contoh. Beliau tidak pernah mengkafirkan sang paman, Abu Thalib, yang tidak berkenan bersyahadat hingga akhir hayat. Laa iqraha fiddiin. Tidak ada paksaan dalam agama. Beliau tetap menghormati dan memperlakukannya dengan kasih sayang penuh cinta.
Beliau dengan lemah lembut menyuapkan roti bagi pengemis (yahudi) buta setiap pagi. Setiap hari selama menerima suapan, si pengemis selalu berkata bahwa Muhammad adalah penipu, tukang sihir, dan penista adat arab. Setelah selesai pun ia melanjutkan berteriak menista Rasulullaah. Dan Muhammad SAW tidak mengkafirkan pengemis itu, tapi konsisten memperlakukannya penuh cinta.
Hingga DIA memberikan hidayah ketika, qadarullaah, Abu Bakr As Shiddiq melanjutkan kebiasaan ini setelah Rasul wafat, dan si Pengemis menyadari perbedaan rasa saat menerima layanan suapan roti. Pengemis buta diberitahu bahwa yang selama ini menyuapi adalah orang yang ia hina.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan kedua: berbuatlah seperti contoh.
Jadi begini:
Secara internal, tiap agama bisa jadi memiliki terminologi istilah kafir masing2. Kebetulan istilah 'kafir' sudah telanjur dikenal masyarakat Indonesia dengan konotasi/ persepsi negatif. Jangan heran, menurut pemahaman awam, akan ada pihak yang merasa dinistakan karena disebut kafir. Adalah lazim jika pihak yang merasa 'dikafirkan' bereaksi defensif. Wajar, karena tidak ada pihak yang begitu saja rela ditempatkan dalam kutub negatif.
Perbedaan adalah sunnatullaah. Faktanya, Islam berada di Indonesia tanpa 'mengkafirkan' keyakinan yang terlebih dulu eksis. Dakwah dilakukan dengan mengutamakan kejujuran dan dengan menyebarkan rahmat, kebaikan, welas asih bagi lingkungan/ masyarakat.
Iman-kafir, seperti halnya baik-buruk atau pintar-bodoh, adalah ragam ciptaanNYA. Jika iman menghina kafir, atau si baik merendahkan si buruk, atau si pintar menipu si bodoh, maka ini sama si iman dan si baik menghina ciptaanNYA. Bukankah syaithan (api) dilaknat karena merendahkan manusia (tanah)? Kemudian jika ada manusia yang merendahkan manusia lainnya, bukankah mereka sedang mencontoh kelakuan syaithan?
ADVERTISEMENT
Wallahu a'lam.
Kesimpulan terakhir: hanya DIA Yang Maha Tahu, Bijak, dan Agung.
Asyhadu anlaa ilaaha illaa anta astaghfiruka wa atuubu ilayk