Menyelami Pajak Royalti Penulis

Arief Hoedha
Konsultan dan Praktisi Perpajakan. Interests: Bisnis, Pendidikan, Personal Development, Sejarah, Musik, Film.
Konten dari Pengguna
6 September 2017 21:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arief Hoedha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pajak (Foto: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pajak (Foto: Shutterstock)
ADVERTISEMENT
Seorang sahabat, meminta saya menulis mengenai royalti. Agaknya terkait dengan roylati bagi penulis buku. Saya memutuskan untuk membuat narasi dengan bahasa yang sederhana. Mudah-mudahan dapat membantu memahami royalti dan pajak penghasilan dari ‘titik nol’/netral.
ADVERTISEMENT
Preface
Jadi, pajak itu memang rumit. Saya sering menyampaikan ke temen-temen di sekitar lingkungan saya. Paling tidak, ada 3 disiplin ilmu yang perlu kita kuasai untuk memahami pajak, yaitu ilmu hukum (ingat: pajak harus didasarkan pada Undang-undang), lalu ilmu akuntansi (karena terkait pemenuhan kewajiban perpajakan), dan ilmu ekonomi, terutama untuk memahami proses bisnis dalam memperoleh penghasilan atau pengaruh terhadap pajak Negara lainnya. Sekarang, coba kita sederhanakan.
Penghasilan
Penulis, sama seperti wajib pajak lainnya. Mereka mempunyai kewajiban untuk melaporkan kewajiban perpajakannya setiap tahun. Setiap akhir tahun, setiap wajib pajak harus menghitung, melaporkan penghasilan yang diterimanya selama tahun yang sudah dilewatinya. Lalu apa saja yang perlu dilaporkan, kita perlu sedikit menyelami tentang jenis-jenis penghasilan.
ADVERTISEMENT
Penghasilan dapat diperoleh dari pekerjaan (imbalannya adalah gaji) dan pekerjaan bebas (imbalannya berupa fee, komisi, dan sejenisnya) Kemudian ada penghasilan yang diperoleh dari usaha (bahasa awamnya bisnis). Jenis penghasilannya disebut laba atau keuntungan.
Ada juga penghasilan yang diperoleh karena kepemilikan modal. Contohnya modal berupa rumah atau kendaraan, penghasilannya berupa sewa. Atau yang punya modal berupa uang, seseorang memperoleh penghasilan berupa bunga jika ia menempatkannya di bank. Atau ia bisa memperoleh dividen jika uang tersebut ia tempatkan sebagai penyertaan modal usaha di sebuah perusahaan.
Selain modal yang berbentuk (berwujud) tersebut, ada pula modal yang tidak berwujud. Jangan dulu masukkan tuyul seperti bahasan beberapa waktu lalu. Yuk kita fokus pada royalti, terutama yang diperoleh penulis. Penulis memperoleh royalti karena ia membiarkan “ciptaannya” dicetak, kemudian dipublikasikan, kemudian dijual melalui toko buku, atau media penjualan lainnya. Atas ‘pembiaran’ untuk mengeksploitasi ‘ciptaannya’ atau tulisannya itu, pihak yang melakukan usaha publishing atau penerbit memberikan imbalan berupa royalti. Jadi royalti ini akan menjadi bagian dari harga pokok buku yang tersebar oleh penerbit.
ADVERTISEMENT
Penerbit, sebagai wajib pajak juga, sebagai pihak yang membayarkan royalti, mempunyai kewajiban untuk memotong jumlah yang dibayarkan sebesar 15% dari jumlah bruto dari royalti yang dibayarkan, BUKAN DARI HARGA BUKU. Karena harga buku, tentunya terdiri dari beberapa komponen, menurut mata rantai usahanya, seperti biaya kertas, pencetakan, gaji pegawai, logistic dan distribusi, royalti, dan seterusnya hingga ditambahkan margin yang diharapkan.
Pemotongan pajak
Kita fokuskan pada mekanisme pemotongan PPh atas penghasilan dulu. Hakikatnya pemotongan PPh ini adalah mekanisme pembayaran pajak selama tahun pajak sedang berjalan. Sama seperti pegawai yang harus dipotong PPh Pasal 21 karyawan oleh pemberi kerja. Nantinya, pajak penghasilan yang terutang akan dihitung rampung setelah berakhirnya tahun pajak, untuk dilaporkan melalui SPT Tahunan. Tarif untuk wajib pajak pribadi SEMUANYA SAMA: berlapis 5%, 15%, 25%, dan 30%, tidak memandang apapun profesi anda, apakah penulis, pegawai, atau bahkan ojeker.
ADVERTISEMENT
Perhitungan pajak
Nah, pajak yang tadi sudah dipotong selama tahun berjalan, dapat dikreditkan atau diperhitungkan pada jumlah pajak yang terutang selama tahun pajak yang bersangkutan. Ibaratnya, PPh yang dipotong itu seperti ‘cicilan’ pajak, supaya jika ternyata pajak yang terutang yang dihitung dengan tariff yang berlapis (5%, 15%, 25%, atau 30%) itu lebih besar, maka kewajiban membayar kekurangan pajaknya dapat dipenuhi dengan lebih ringan.
Sebaliknya, jika ternyata perhitungannya lebih kecil daripada pajak yang sudah dipotong, maka ia berhak memperoleh pengembalian (restitusi atau refund). Jadi, kalo ada wajib pajak yang restitusi, artinya dia sudah memenuhi kewajiban membayar pajak, tapi kegedean. Jadi kurang pas kalo restitusi diartikan ngambil uang Negara, tapi ia meminta kembali uangnya sendiri yang kelebihan bayar. Tentunya pengembalian ini mesti melalui prosedur menurut ketentuan perpajakn.
ADVERTISEMENT
Adil Pasti Mudah dan Ekonomis
Semua orang pasti menginginkan keADILan yang PASTI, dan diperoleh dengan cara yang MUDAH dan EKONOMIS. Hehehe tapi sub judul ini sebenarnya adalah PRINSIP PAJAK. Pajak perlu diterapkan dengan cara yang ADIL, PASTI, MUDAH , dan EKONOMIS. Lain kali dibahas, sekarang terkait dengan ‘keadilan’ yang sedang dirisaukan bagi penulis buku, menurut cerita sederhana di atas, dapat sama-sama dilihat bahwa tidak ada perbedaan tariff pajak. Pajak 15% yang dipotong itu belum final. Nantinya harus diperhitungkan kembali.
Bisa jadi selain royalti, penulis memperoleh penghasilan berupa fee karena diundang sebagai pembicara. Atas penghasilan ini, juga akan dipotong PPh Pasal 21. Atau mungkin penulis itu menjadi pengajar. Kesemua penghasilan ini harus dilaporkan dalam SPT Tahunan tahun pajak yang bersangkutan. Tarifnya, sama: berlapis 5%, 15%, 25%, dan 30% tergantung jumlah tota penghasilan yang diperoleh selama satu tahun pajak.
ADVERTISEMENT
Silakan disimpulkan.