Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Hari Guru, Momentum Refleksi Mengikis Feodalisme di Satuan Pendidikan
24 November 2024 17:46 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Arief Nur Mustaqim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tanggal 25 November pada setiap tahun berganti, bangsa Indonesia memperingati Hari Guru. Segala bentuk seremonial digelar di nyaris seluruh tingkat satuan pendidikan. Siswa dan guru berselebrasi merayakan momen tahunan ini. Lantas, bagaimana dengan potret pendidikan itu sendiri dewasa ini? Terlebih saat ini di tengah hegemoni kurikulum merdeka yang menitik beratkan pembelajaran secara merdeka oleh siswa, sudahkah siswa benar-benar berhasil menjalankan student centered itu? Bagaimana dengan guru yang menduduki peran sebagai fasilitator?
ADVERTISEMENT
Nyaris delapan dekade bangsa ini merdeka, nyatanya, pendidikan kita masih mewarisi nuansa kental kolonial. Padahal kurikulumnya sendiri sudah bernama kurikulum merdeka. Sebagaimana yang saya singgung di awal tadi, guru saat ini diberi peran sebagai fasilitator dalam bingkai kurikulum merdeka, mengingat kurikulum ini menjadikan siswa sebagai subjek utama dalam pembelajaran di lingkup kelas. Hal ini menjadi penegasan bahwa siswa saat ini dituntut untuk belajar secara aktif, kreatif, dan inovatif. Tuntutan ini memicu siswa untuk dapat berpikir secara kritis dalam setiap aktivitas pembelajaran. Namun apa daya, siswa saat ini masih berpatron pada guru. Guru masih dianggap sebagai sumber utama dalam belajar. Setiap apa yang diajarkan oleh guru dianggap sebagai sebuah kebenaran absolut yang tidak boleh dibantah utamanya dalam setiap teori yang diajarkan. Padahal nalar kritis harusnya membawa siswa untuk berbantah-bantahan dengan guru karena disitulah terjadi percakapan akademis antara guru dan murid.
ADVERTISEMENT
Potret nuansa belajar feodal seperti inilah yang masih menjadi sekat dan tembok besar di dunia pendidikan kita hingga saat ini. Siswa dalam pembelajaran tidak memiliki kemauan untuk bertanya terhadap materi pembelajaran karena mereka menempatkan guru pada posisi dominan. Pada konstruksi yang lain bahkan feodalisme itu sendiri masih mencengkeram kuat di satuan pendidikan dalam kaitannya dengan hierarki antara kepala sekolah dengan guru, misalnya. Acapkali guru-guru di sebuah satuan pendidikan tidak memiliki keberanian untuk mengutarakan pendapat manakala berseberangan dengan atasan. Hal ini diperparah dengan adanya stratifikasi status guru yang semakin membungkam kebebasan berpendapat utamanya pada guru kontrak sekolah karena guru-guru tersebut tersandera akan rasa ketakutan akan kontraknya yang dapat diputus oleh kepala satuan pendidikan jika guru tersebut memiliki perbedaan pandangan dengan kepala sekolah. Belum lagi penerapan aturan sekolah yang tidak konsisten terhadap siswa dan guru juga masih sering terjadi. Aturan sekolah yang tumpang tindih dan tidak ditegakkan dengan prinsip berkeadilan juga merupakan warisan feodal sejak zaman kolonial. Lantas bagaimana mengikis feodalisme di satuan pendidikan? Stimulasi berpikir kritis oleh guru kepada siswa, pemimpin satuan pendidikan yang tidak alergi pads kritik dan mampu memberikan keteladanan, penyelenggaraan pendidikan yang bebas korupsi, dan penegakan aturan dengan menerapkan prinsip keadilan akan menjadi jawaban jitu memberangus feodalisme di satuan pendidikan sekaligus menciptakan lingkungan sekolah merdeka yang sesungguhnya.
ADVERTISEMENT