Remaja Indonesia Tertarik Menikah Muda, Bagaimana Penjelasan Psikologisnya?

Arief Rahman Nur Fadhilah
Mahasiswa Psikologi Unair. Suka menyendiri tapi takut sendirian.
Konten dari Pengguna
11 April 2023 6:38 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arief Rahman Nur Fadhilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber gambar: pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
sumber gambar: pixabay.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pernikahan muda seringkali dikaitkan dengan masalah sosial di Indonesia. Negara bahkan mengalami kerugian besar akibat harus menanggung dampak buruk yang muncul. UNICEF (2021) menyebutkan bahwa anak yang menikah di bawah usia 18 tahun akan memiliki kerentanan besar baik secara akses pendidikan, kualitas kesehatan, gangguan psikologis, potensi mengalami kekerasan dalam rumah tangga, serta hidup dalam kemiskinan.
ADVERTISEMENT
Tingkat pernikahan muda di Indonesia masih tergolong tinggi. Pada tahun 2021, UNICEF mengeluarkan laporan tren pernikahan muda di Indonesia dan menempatkan Indonesia pada peringkat 10 besar negara dengan angka absolut perkawinan anak tertinggi di dunia. Walaupun dari tahun ke tahun menunjukkan penurunan, angka penurunannya masih tergolong lambat dan tidak signifikan.
Diprediksi fenomena pernikahan muda tidak akan pernah sepenuhnya hilang di Indonesia. Hal ini dikarenakan beberapa faktor salah satunya karakteristik remaja yang khas sehingga membuat mereka rentan melakukan pernikahan muda.
Saat mengalami masa pubertas, terjadi perubahan fisik yang signifikan dan berdampak pada aspek psikologis. Perubahan ini berpengaruh terhadap pola pikir serta pola hubungan remaja baik kepada keluarga, teman sebaya, maupun hubungan dengan lingkungannya. Faktor lain yang berpengaruh datang dari informasi yang didapat salah satunya berasal dari sosial media.
Ilustrasi remaja bernyanyi di taman. Foto: Tom Wang/Shutterstock
Salah satu perubahan psikologis yang khas pada masa remaja adalah mulai tertarik dengan lawan jenis. Menurut Batubara (2010), remaja mulai menemukan ada orang selain keluarga atau orang tua mereka yang mampu memberikan perhatian lebih dan mencoba berpacaran. Bagi sebagian remaja, di sinilah mereka mulai merasakan cinta yang berbunga-bunga.
ADVERTISEMENT
Karena masa remaja merupakan masa transisi ke dewasa, mereka mulai membayangkan melakukan apa yang orang dewasa lakukan salah satunya melanjutkan hubungan mereka ke jenjang pernikahan. Dengan kurangnya pemahaman, banyak remaja yang mengira pernikahan itu cukup mengandalkan perasaan cinta.
Mereka menganggap pernikahan akan selalu bahagia seperti pada foto atau video yang mereka lihat di resepsi pernikahan. Padahal konflik dalam hubungan pernikahan hampir tidak dapat dihindari, serta diperlukan komitmen, kedekatan emosi, serta gairah untuk terus mempertahankan hubungan.
Pola hubungan remaja dengan orang tua mulai menunjukkan perubahan dibanding masa anak-anak. Hubungan remaja dengan orang tua mulai rentan akan gejolak konflik dan perselisihan akibat sudah mulai bisa berpikir kritis.
Ilustrasi remaja bermain sosial media. Foto: Rawpixel.com/Shutterstock
Remaja menganggap dirinya mampu menunjukkan kesalahan yang orang tua perbuat sehingga rasa hormat berkurang dan terkadang berlaku kasar.
ADVERTISEMENT
Di taraf tertentu, remaja mulai mengalami periode sedih karena ingin lepas dari orang tua akibat merasa terlalu banyak aturan yang membuat tidak nyaman serta merasa terbelenggu (Batubara, 2010).
Remaja dapat merasa depresi apabila hubungannya dengan orang tua tidak baik. Penelitian yang dilakukan oleh Emilda, Machira, dan Wahab (2016) menunjukkan bahwa remaja yang tidak akrab dengan orang tuanya berpotensi mengalami depresi hingga 3 kali lipat lebih besar daripada remaja yang akrab dengan orang tuanya.
Dengan dilatarbelakangi perasaan ini, menikah muda dipandang sebagai salah satu jalan keluar. Remaja mulai membayangkan diri bersama kekasihnya mampu hidup berdua dengan bahagia jauh dari orang tua. Bayangan ini sekilas tampak manis dalam angan-angan karena mereka anggap menjauhkan dari sumber permasalahan, yaitu orang tua mereka sendiri.
Ilustrasi pasangan menikah dan bahagia. Foto: Hananeko_Studio/Shutterstock
Bayangan manis tentang menikah muda diperkuat oleh pengaruh sosial media. Penelitian yang dilakukan oleh Putri dan Naryoso (2019) yang berjudul “Pengaruh Terpaan Informasi Menikah Muda di Instagram dan Interaksi Reference Group Terhadap Minat Menikah Muda” menunjukkan bahwa informasi tentang ajakan menikah muda di media sosial Instagram berpengaruh terhadap minat menikah muda remaja.
ADVERTISEMENT
Dhania dan Anshori (2020) memaparkan bahwa di media sosial, propaganda untuk menikah muda dapat muncul dalam bentuk gambar yang identik dengan keindahan dan keintiman yang merepresentasikan pernikahan itu sendiri. Gambar biasanya dilengkapi dengan tulisan-tulisan propaganda untuk segera menikah muda.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa alasan psikologis seorang remaja melakukan pernikahan muda dapat dibagi menjadi 3, yaitu munculnya ketertarikan dengan lawan jenis, pola hubungan remaja dengan orang tuanya, serta pengaruh dari media sosial.
Alasan-alasan ini sejatinya muncul karena lekat dengan karakteristik tumbuh kembang seorang remaja dan sulit untuk dilepaskan. Sehingga tidak heran bahwa fenomena pernikahan muda di indonesia tidak akan pernah sepenuhnya hilang.