Kudeta Militer Myanmar dan Politik Pretorian Asia Tenggara

Danang Maulana Arif Saputra
Mahasiswa Magister Geografi Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
26 April 2021 15:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Danang Maulana Arif Saputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
KTT ASEAN yang diselenggarakan di Jakarta menjadi sorotan, Indonesia sebagai tuan rumah disinyalir tidak menghiraukan suara internasional mengenai krisis politik Myanmar dengan tetap mengundang aktor di balik Kudeta yang hingga kini telah merenggut lebih dari 700 korban jiwa.
Panglima Tertinggi Myanmar Jenderal Ming Aung Hliang tiba di Jakarta. Sumber : Biro pers sekretariat presiden
Di tengah pandemi COVID-19 yang masih menyita perhatian komunitas internasional, dunia kembali dikejutkan dengan aksi kudeta yang dilakukan oleh militer Myanmar terhadap pemerintahan sipil pada 1 Februari 2021 waktu setempat. Kudeta ini menangkap Presiden Myanmar Win Myint dan tokoh pemimpin demokrasi sipil Aung San Suu Kyi serta beberapa pejabat tokoh Partai National League of Democracy (NLD). Kudeta yang dipimpin oleh Panglima angkatan bersenjata Myanmar Jenderal Ming Aung Hliang ini mendapat kecaman keras dari aktivis pro demokrasi karena telah menciderai supremasi sipil yang mulai menguat di negara tersebut.
ADVERTISEMENT
Ini bukan pertama kalinya militer Myanmar melakukan kudeta, tercatat sejak tahun 1962 hingga 2011, junta militer terlibat aktif dalam perebutan kekuasaan di negara tersebut, kudeta pertama kali terjadi pada tahun 1962, Jendral Ne Win naik ke tampuk kekuasaan, lalu pada tahun 1988 terjadi protes besar-besaran yang menyebabkan Jendral Ne Win digulingkan oleh kalangan militer sendiri dan berkuasa selama 22 tahun, hingga pada tahun 2011 terjadi reformasi besar-besaran, Aung San Suu Kyi seorang putri pahlawan, terpilih melalui pemilihan langsung secara demokratis dan menjadi nafas baru bagi supremasi politik sipil di Myanmar.
Sebagai bagian dari negara dunia ketiga, kawasan asia tenggara merupakan negara baru yang lahir pasca-perang dunia 2 yang di dominasi oleh negara berkembang, akibatnya proses demokrasi yang berjalan juga masih belum sempurna, semangat perlawanan terhadap kolonialisme secara fisik yang dilakukan oleh militer setempat membuat kelas ini merasa memiliki kedudukan dalam negara.
ADVERTISEMENT
Negara-negara berkembang umumnya memperoleh kemerdekaannya melalui pejuang-pejuang mereka yang di kemudian hari melahirkan militer. Militer telah melaksanakan tugasnya membela negara, mengalihkan perhatiannya menjadi pendorong dan motor modernisasi dan pembangunan nasional serta berpandangan dan bersikap nasional sehingga timbul sikap ketidakpercayaan kalangan militer terhadap supremasi sipil, sikap semacam ini oleh para ilmuan politik disebut pretorian.
Pada awalnya istilah pretorian adalah prajurit dari Kerajaan Romawi Kuno yang melindungi kaisar dan keluarganya dari berbagai ancaman yang dapat membahayakan. Pretorian ini digunakan juga untuk merebut kekuasaan dan menumbangkan raja serta menguasai pemilihan umum. Karena begitu besar pengaruhnya dalam suatu negara pretorian akan mengancam secara terang-terangan untuk mengadakan kudeta, kecuali jika tuntutan yang mereka ajukan dikabulkan. Dan hal yang lebih penting lagi peran pemimpin perwira pretorian ini akan mengambil alih pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Praktik-praktik perwira militer pretorian terjadi di beberapa negara kawasan asia tenggara, mengutip dari makalah yang berjudul History of civil-military relations in Southeast Asia (Universität Heidelberg) mengatakan jika hubungan sipil-militer di kawasan ini sangat bervariasi, Indonesia pada rezim Soeharto adalah negara dengan kontrol penuh militer bersama dengan Myanmar, maka tidak heran jika pada masa orde baru relasi kedua negara ini sangat kuat, kemudian Thailand hingga saat ini kekuasaan masih berada di bawah rezim militer, reformasi militer dan supremasi sipil pernah dilaksanakan dengan terpilihnya Perdana Menteri Thaksin Sinawarta, namun pada tahun 2014 militer melakukan kudeta terhadap perdana mentri sipil Yingluck Shinawarta hingga saat ini.
Reformasi militer di Indonesia berjalan cukup baik dengan tanpa campur tangan politisi sipil, Salim Said dalam bukunya “Ini Bukan Kudeta, Reformasi Militer Indonesia dan Thailand” mengatakan jika penghapusan dwifungsi ABRI yang menjadi simbol supremasi politik militer dilakukan dengan tanpa hambatan dan tanpa perdebatan pada pada rapat pimpinan ABRI tahun 2000, meskipun dalam kehidupan social politik kelas militer masih memiliki “kursi” yang istimewa.
ADVERTISEMENT
Menurut Dr. N Leni (2013), militer tidak akan campur tangan dalam panggung politik jika rezim sipil yang berkuasa mempunyai legitimasi yang kuat dan pertikaian antar kelompok kepentingan dari pihak sipil tidak mengganggu kestabilan dan jalannya pemerintahan. Militer akan melakukan intervensi jika ketidakpastian politik begitu tinggi, para politisi lemah atau melakukan politicking demi kepentingan sesaat atas nama golongannya masing-masing yang menimbulkan ketidakstabilan politik.
Tidak semua rezim militer adalah buruk, namun dalam demokrasi, supremasi sipil atas militer merupakan sebagai salah satu ciri terlaksananya sebuah demokrasi yang sehat. Perjalanan suatu bangsa tidak bisa melepaskan peran militer yang menentukan garis perjuangan suatu bangsa, baik di negara Myanmar, Thailand, dan Indonesia peran militer di negara tersebut adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah.
ADVERTISEMENT