Benci tapi Rindu: Globalisasi


Ariel Heryanto
Guru Besar di Monash University
Konten dari Pengguna
14 Maret 2018 11:12 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ariel Heryanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Bumi Berongga (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Bumi Berongga (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Globalisasi sering disalah-pahami cukup banyak orang. Maka tidak jarang globalisasi dihadapi dengan sikap bertolak-belakang. Dibenci, sekaligus dirindukan. Paling sedikit ada dua pandangan umum di Indonesia yang layak ditinjau-ulang.
ADVERTISEMENT
Salah-paham pertama, globalisasi dianggap sebagai pilihan dalam sejarah mutakhir akibat teknologi komunikasi digital. Semacam kesempatan untuk memperbaiki kehidupan atau kepentingan yang berwatak lokal atau nasional. Bagi mereka, inilah peluang yang layak dimanfaatkan. Bagi yang lain, globalisasi merupakan ancaman dari “luar” wilayah sendiri yang lokal atau nasional. Sebagai benda “asing”, ia dihadapi dengan sikap waswas.
Nyatanya globalisasi (seperti moderenitas dan kapitalisme) merupakan kenyataan yang selama ini sudah mengatur hampir sebagian besar kehidupan sehari-hari mayoritas penduduk dunia. Bukan kesempatan atau pilihan.
Walau skalanya berbeda-beda, proses globalisasi itu sendiri bukan hal yang baru. Sejarah manusia dalam ratusan tahun terakhir dirombak sejak adanya sebagian bangsa yang mau dan mampu meninggalkan wilayah kelahirannya, dan mengambil resiko mengarungi belahan bumi yang lain.
ADVERTISEMENT
Kini, keadaan sudah terbalik: semakin lama semakin sedikit manusia yang mau atau mampu bertahan di satu tempat yang sama: dari lahir, bertumbuh dewasa, bekerja, mati, bertemu jodoh, beranak-pianak, lalu mati dan dikuburkan.
Indonesia sendiri merupakan anak-kandung atau produk globalisasi. Gejolak lalu-lintas, pertemuan dan perbenturan aneka kekuatan global telah melahirkan negara yang dinamakan “Republik Indonesia”; dua istilah dari Eropa.
Proses global menyebabkan mengapa mayoritasnya beragama Islam. Mengapa lebih dari separuh penduduknya tinggal di pulau Jawa. Mengapa candi Buddha terbesar di dunia terletak di sini. Mengapa wilayah teritori negara terbentang dari Sabang sampai Merauke, atau mengapa ibukota negaranya di Jakarta.
Anehnya, Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang paling sibuk menolak berbagai hal yang dijuluki “asing”. Tentu saja, tidak hanya Indonesia yang bersikap demikian. Tapi di Indonesia sikap anti-asing itu stabil sejak merdeka 70 tahun lalu hingga hari ini.
ADVERTISEMENT
Bahkan sikap anti-asing itu menjadi-jadi setelah Indonesia lebih mengglobal dalam beberapa dekade terakhir. Dalam kampanye pemilihan presiden paling belakangan, kedua kubu calon presiden berlomba lebih anti-asing dari saingannya. Penolakan terhadap yang asing itu seringkali diungkapkan dalam bahasa Indonesia berlepotan dengan berbagai istilah asing yang sulit dipahami oleh mereka yang tidak fasih berbahasa Inggris.
Salah-paham kedua lebih penting. Gara-gara kuatnya khayalan di negeri sendiri yang mempertentangkan “nasional” atau “lokal” dengan yang “global”, maka yang di luar Indonesia sana, yang global itu, juga dibayangkan secara salah-kaprah. Yang namanya “Australia”, atau “Singapura” atau ”Kanada” itu dibayangkan sebagai sosok-sosok “nasion” yang utuh, kurang-lebih homogen, dan non-global. Salah-paham jenis kedua ini dan akibatnya yang lucu-lucu akan saya bahas dengan mengambil contoh-contoh dari bidang kerja saya sendiri sebagai dosen di lembaga pendidikan tinggi.
ADVERTISEMENT
Dalam satu dekade belakangan, sebagian besar universitas di Indonesia dipacu untuk melakukan “internasionalisasi”. Para dosen diharapkan bukan hanya melanjutkan studi di luar negeri. Para dosen ini juga dituntut melakukan berbagai kerjasama dengan universitas manca-negara, khususnya dalam bidang penelitian dan penerbitan karya ilmiah.
Sebelum lulus, mahasiswa pasca-sarjana mereka diharapkan sudah pernah menyampaikan makalah di forum seminar internasional. Maka maraklah berbagai seminar “internasional” di universitas Indonesia, yang pada intinya diartikan seminar berbahasa Inggris dan sebagian pembicaranya datang dari negara lain.
Sejauh yang saya pahami, semangat mengglobal itu disambut dengan sepenuh-hati oleh mayoritas warga akademik. Tapi menurut banyak laporan sebagian besar sarjana Indonesia yang studi lanjut ke manca-negara tidak banyak berubah setelah kembali ke tanahair. Selama di studi-lanjut mereka lebih sering berkumpul dengan sesama orang Indonesia. Bahkan tidak sedikit yang memilih bergaul hanya dengan sesama penganut agama yang sama.
ADVERTISEMENT
Yang lebih ironis dan serius, walau sudah bertekad mengglobal, banyak kalangan akademik Indonesia yang menolak keras gagasan hadirnya universitas asing di Indonesia. Apalagi gagasan pengangkatan ilmuwan asing sebagai Rektor untuk universitas di Indonesia. Seakan-akan semua ini bencana besar yang layak dihindarkan.
Dengan kata lain, globalisasi atau internasionalisasi dunia pendidikan dipahami secara sangat sempit dan sebagai proses satu-arah. Yakni dari gerak dalam negeri, ke luar sebentar, lalu kembali dengan status atau gelar tambahan. Tetap dengan jati-diri nasional yang tidak berubah. Sementara proses sebaliknya (orang asing bekerja di Indonesia untuk mengglobalkan Indonesia) dianggap sebagai ancaman atau bencana, dan harus dihindarkan.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini dunia akademik Indonesia tampak terbelakang, dan jauh lebih kolot, ketimbang dunia usaha atau olah-raga sepakbola di tanahair. Baik di dunia usaha mau pun sepak-bola, para pengelola di Indonesia bersikap terbuka pada sumberdaya manusia terbaik dari yang tersedia, tanpa memperdulikan warna kulit atau kewarganegaraan mereka.
Yang kurang dipahami di Indonesia: sebagian besar pendidikan tinggi paling kuat dan bergengsi di dunia sudah sangat mengglobal. Universitas mereka menduduki 50 peringkat teratas di dunia. Rahasianya bukan mereka mengirimkan para dosen dan mahasiswanya ke luar negeri (seperti yang selama ini dikerjakan di Indonesia). Yang mereka kerjakan sebaliknya, yakni menarik yang terbaik di dunia untuk bergabung dengan mereka. Tak perduli warna kulit, agama, atau nasionalitasnya.
ADVERTISEMENT
Contoh dari dunia pendidikan itu tidak sepenuhnya menggejala sama-merata dalam semua bidang lain. Tetapi juga bukan gejala tunggal atau penyimpangan. Inilah negeri yang memuja gagasan ke-pribumi-an; sebuah gagasan yang lahir dari masa kolonial di tanah jajahan Hindia Belanda.