Konten dari Pengguna

Gaji Dosen Asing: Solusi atau Masalah?

Ariel Heryanto
Guru Besar di Monash University
20 April 2018 15:11 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ariel Heryanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Apa pengaruh gaji? (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Apa pengaruh gaji? (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
Menurut berita mutakhir (19/04/2018), pemerintah telah menyediakan gaji besar kepada 200 dosen asing yang akan diundang mengajar di Indonesia. Besarannya akan beragam, dan maksimal USD 5000 atau Rp 65 juta (bila kurs USD1 = Rp13,000). Jumlah itu jauh lebih besar daripada rata-rata gaji dosen lokal. Bisa dimaklumi, prakarsa ini menimbulkan reaksi dari berbagai pihak.
ADVERTISEMENT
Kita tidak perlu meragukan niat baik pemerintah. Rencana mendatangkan dosen asing diharapkan menaikkan kualitas kinerja universitas secara umum di tanah air. Gaji untuk mereka disesuaikan dengan yang berlaku di tingkat global. Tetapi jika berita yang saya ikuti dari berbagai sumber tersebut sudah benar, niat baik itu bisa menimbulkan masalah baru, dan belum pasti memecahkan masalah awal seperti yang diharapkan.
Salah-tembak
Masalahnya bukan terletak pada jumlah gaji untuk para dosen asing ini, atau kesenjangan dengan gaji dosen lokal. Tetapi pada adanya pembedaan kategori dosen lokal/asing. Jika pemerintah membutuhkan tenaga pendidik dengan nilai kerja unggulan pada tingkat global, selayaknya pemerintah membuka lowongan kerja itu pada siapa pun yang memenuhi persyaratan akademik, tanpa memperdulikan kewarga-negaraan mereka.
ADVERTISEMENT
Yang asing mau pun yang lokal layak diberi kesempatan mendaftar, dan diuji mutunya dengan kriteria internasional oleh sebuah tim yang juga berkualitas dan berskala global. Tawaran eksklusif untuk dosen asing dari pemerintah Indonesia didasarkan pada asumsi nilai jasa mereka jauh lebih tinggi daripada dosen lokal. Asumsi ini bukannya tanpa dasar yang kuat. Tetapi tetap harus diterima sebagai asumsi.
Salah satu cara terbaik membuktikan validitas asumsi itu adalah dengan usulan yang sudah saya sebutkan di atas. Kesempatan seharusnya terbuka untuk semua dosen lokal dan internasional. Seleksi dilakukan secara ketat dengan kriteria internasional. Jika ternyata tidak ada dosen lokal yang lulus seleksi, hasilnya tidak bisa diprotes sebagai produk asumsi belaka, atau diskriminasi berbasis nasionalitas atau ras.
ADVERTISEMENT
Usulan di atas sama sekali tidak istimewa. Proses seleksi tersebut sudah lama berlaku pada sebagian besar (tidak semua) universitas unggul di dunia. Setidaknya demikian di antara mereka yang saya kenal sepenuhnya menggunakan bahasa Inggris dalam lingkungan kerja. Lowongan kerja mereka dibuka untuk siapa saja, termasuk warga lokal di negara mereka sendiri, dan yang internasional, termasuk warga Indonesia.
Menurut sebuah sumber terpercaya, sekitar 2.000 tenaga ahli dari Indonesia saat ini bekerja di berbagai lembaga asing di dunia mengisi lowongan kerja yang diseleksi secara global demikian. Rincian angka statistiknya bisa diperdebatkan. Tetapi, secara kasaran kenyataan tersebut menunjukkan dua hal.
Pertama, tidak sedikit tenaga ahli Indonesia yang unggul bersaing secara global di bidang keahlian mereka. Apakah orang-orang seperti ini masih dianggap “asing” atau “lokal” dalam program pemerintah mendatangkan “dosen asing” tadi? Mereka ini menaklukkan banyak calon pelamar kerja lokal di luar Indonesia sana. Yang kalah bersaing, harus mencari kerja di tempat lain. Bukan tidak mungkin mereka ini punya peluang menjadi “dosen asing” di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kedua, kenyataan di atas juga menunjuk kenyataan bahwa pemerintah belum cukup berhasil menyediakan lingkungan kerja yang nyaman dan berkualitas internasional bagi tenaga ahli Indonesia di tanahair sendiri. Padahal pemerintah menuntut para dosen lokal berprestasi secara initernasional. Ini sebuah kontradiksi yang bisa menjadi salah satu pendorong kaburnya tenaga ahli terbaik bangsa sendiri. Tapi bukan hanya gaji yang mendorong mereka bekerja di tanah kelahiran atau merantau.
Perbandingan Gaji
Jumlah gaji untuk dosen asing seperti yang diberitakan minggu ini terbilang luar biasa untuk ukuran dosen di Indonesia. Tetapi sangat biasa untuk sebagian besar negara lain. Juga sangat biasa untuk berbagai bidang profesi lain pada kelas menengah di Indonesia sendiri.
Ketika saya gagal mencari kerja sebagai dosen di Indonesia, ada sebuah universitas unggulan dunia di Singapura yang menawarkan kerja untuk saya. Di sana saya baru tahu gaji seorang pekerja migran (PRT) dari Indonesia kurang-lebih sama dengan gaji dosen di Indonesia yang baru lulus studi doktor. Sementara para pekerja migran ini bisa berbelanja di Singapura dan berlibur Idul-Fitri setiap tahun ke Indonesia, tidak semua dosen Indonesia bergelar doktor bisa setiap tahun berlibur dan belanja di Singapura.
ADVERTISEMENT
Salah satu masalah yang layak dibenahi bukan kurangnya dosen asing yang istimewa di Indonesia, tetapi rendahnya status sosial dan gaji para dosen di Indonesia sendiri. Ini bisa menjadi sebab dan sekaligus akibat rendahnya tingkat kinerja mereka di antara rekan-rekannya di sekitar Asia Tenggara, apalagi dunia. Sebuah lingkaran setan.
Tentu, gaji bukan satu-satunya faktor penting yang mendorong cerdik cendekia Indonesia bekerja sebagai dosen. Juga bukan satu-satunya penyebab atau akibat rendahnya tingkat kinerja mereka di tingkat dunia.
Banyak rekan dosen di Indonesia mengeluh banyaknya beban administrasi dan beban mengajar yang menguras tenaga dan waktu yang mereka butuhkan untuk penelitian. Yang tidak kurang memprihatinkan bagi kerja akademik di Indonesia adalah merasuknya pertarungan partai politik dalam kehidupan kampus sehari-hari. Terlebih parah jika pertarungan politik tersebut menggunakan sentimen SARA. Akibatnya sebuah pembahasan akademik bisa terancam delik pidana.
ADVERTISEMENT
Hal-hal tersebut layak dipertimbangkan dalam kerangka besar program pemerintah mendatangkan dosen asing. Para professor unggulan dunia yang menjadi “bintang” di bidang mereka menerima gaji jauh lebih besar ketimbang yang ditawarkan pemerintah. Selain gaji besar, mereka juga mendapatkan berbagai kemudahan lain dari univeritas dan pemerintah mereka.
Jadi, seandainya professor senior unggulan dari manca-negara itu diundang bekerja dengan gaji Rp 65 juta, dosen lokal berhak iri, sementara yang diundang belum tentu tertarik. Kecuali dosen asing ini sedang mencari kerja, karena kalah bersaing di negara asal mereka. Atau mereka yang merasa tidak nyaman di tempat kerjanya.
Kalau pun gaji yang diterima selama ini di tempat kerjanya sama dengan yang ditawarkan pemerintah, mereka akan mempertimbangkan suasana dan lingkungan kerja seperti apa yang tersedia di Indonesia. Misalnya, kebebasan akademik, sarana perpustakaan, sarana teknologi penelitian atau pengajaran.
ADVERTISEMENT
Mereka juga wajar mempertimbangkan apakah mereka tetap bisa menikmati kualitas hidup sehari-hari yang sama, hampir sama atau lebih baik di Indonesia nantinya? Misalnya kebersihan udara, kepadatan lalu-lintas, keamanan di tempat umum untuk keluarga.
Singkat kata, pembinaan pendidikan dan penelitian di universitas merupakan sebuah masalah yang mendesak, tetapi kompleks. Program pemerintah untuk mengundang dosen asing dengan gaji besar layak dipahami dengan wawasan makro. Sebaiknya niat baik itu dipertimbangkan, didukung atau dikritik, tidak secara sempit.