Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Lebay
11 September 2020 9:39 WIB
Tulisan dari Ariel Heryanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sudah lumrah ada tokoh tenar, intelektual atau seniman diundang ke istana. Ini terjadi di kebanyakan negara modern. Bahkan sudah dilakukan di berbagai abad dan berbagai kerajaan di dunia sebelum bangkitnya negara-bangsa moderen.
ADVERTISEMENT
Jadi, bukan hal aneh atau baru jika belakangan ini ada tokoh tenar dan artis diminta mendukung kebijakan pemerintah, dengan atau tanpa bayaran. Yang baru, ada julukan untuk mereka dengan istilah yang hanya dikenal kalangan terbatas: “influencer”, “buzzer” dan “key opinion leader”.
Soal-soal itu sebenarnya tak perlu menyulut debat atau olok-olok. Yang lebih penting disimak: Apa persisnya jasa influencer. Apa sumbangan mereka, jika ada, bagi peningkatan mutu diskusi publik?
Kita layak bersyukur jika terjadi pertukaran informasi, gagasan cerdas dan wawasan mencerahkan dari berbagai pihak dengan latar-belakang berbeda-beda. Tidak harus para tokoh yang tersohor. Tak penting mereka dibayar atau tidak. Yang penting debat itu terbuka. Khususnya soal kebijakan pemerintah berkait kesejahteraan khalayak luas.
ADVERTISEMENT
Pemerintah sendiri punya banyak hak dan wewenang. Termasuk hak dan wewenang mengangkat influencer, buzzer, dan key opinion leader. Tapi setiap hak selalu dibebani tanggung-jawab.
Influencer bisa membantu, hanya membantu, bukan menggantikan tanggung-jawab pejabat pemerintah. Pada akhirnya kewajiban dan tanggung-jawab menjelaskan seluk-beluk kebijakan resmi negara berada pada pejabat yang berwenang.
Seorang pengusaha swasta boleh dan berhak merahasiakan dapur kerja perusahaan. Negara wajib melindungi hak itu. Namun seorang pejabat publik tak bisa hanya sibuk kerja, kerja, kerja. Secara rutin mereka wajib tampil di hadapan publik, lewat jasa media massa, dan menjelaskan rencana kerja dan hasil kerja mereka. Secara gamblang, lengkap dan meyakinkan.
Dalam dialog publik demikian mereka layak terbuka pada pertanyaan dan kritik. Mereka wajib menjawab pertanyaan dari publik sebaik-baiknya. Kepemimpinan seorang pejabat publik, dan kewibawaannya ikut ditentukan oleh kesediaan berdialog dengan publik yang meminjamkan mandat, dan kemampuan merebut hati publik dalam menjelaskan hal-hal penting yang menyangkut kesejahteraan khalayak.
ADVERTISEMENT
Sementara itu jasa influencer dapat dibandingkan dengan iklan. Ada iklan yang sangat mahal. Tapi yang mahal tak selalu bermutu. Ada hukum dan etika yang mengatur kapan, di mana dan bagaimana iklan selayaknya tampil.
Tak semua iklan mematuhi kaidah. Namun yang parah adalah iklan yang menyamar bukan sebagai iklan, tapi berita, ceramah ilmiah atau kotbah. Yang begitu sungguh keterlaluan. Istilah gaulnya: “lebay”.
Iklan yang bagus memikat publik, karena cerdas, lucu, atau elok. Ada kata-kata dari iklan yang suka dikutip banyak orang. Ada lagu dari iklan dinyanyikan banyak warga. Ada gambar dari iklan diolah jadi karya seni pop. Maka kita tak berkeberatan iklan hadir di sekitar kita.
Sayang, ada juga iklan yang menipu. Ada yang menyebalkan. Banjir iklan liar di ruang publik yang dipasang di sembarang lokasi, sehingga merusak tata-kota.
ADVERTISEMENT
Hasil kerja influencer juga begitu. Bisa menyehatkan, bisa mengganggu ruang publik.
Jasa influencer sulit diharapkan ketika publik sedang terbelah, didominasi dua kubu yang bertentangan. Mereka sama-sama teguh dalam pendirian masing-masing. Apa pun ujaran tokoh dari satu kubu hanya dipuji rekan sekubu. Hanya menyulut cemooh dari kubu lawan. Mengerahkan pasukan influencer dan buzzer dalam situasi begitu ibarat menyiramkan bensin ke bara api.
Dalam debat akhir-akhir ini banyak yang berlebihan menilai peran influencer. Yang membayar berharap muluk. Yang menolak menanggap influencer lebih berbahaya ketimbang influenza. Padahal tak selalu influencer bisa punya influence. Kalau pun ada pengaruhnya, bisa terbalik dari yang diharapkan. Ada hikmah dari masa Orde Baru yang layak disimak.
Jauh sebelum istilah “influencer” dan “hoax” tenar, publik Indonesia sudah berpuluh tahun direndam karya influencer istana dan hoaks berdosis berat. Contoh yang paling lebay adalah film Pengkhianatan G30S/PKI (1984). Sponsornya pemerintah Orde Baru.
Film super-panjang itu berdurasi empat setengah jam. Padahal kisahnya cuma tentang serangkaian peristiwa tak lebih dari enam hari: 30 September hingga 5 Oktober 1965. Melibatkan 120 aktor dan lebih dari 10,000 pemeran figuran. Yang mencolok, dalam film itu sama sekali tidak disebut ada pembantaian terbesar dalam sejarah bangsa ini berbulan-bulan sesudah 5 Oktober 1965.
ADVERTISEMENT
Pesan utama film itu jelas. Penonton dihasut membenci PKI yang dituduh mendalangi “pemberontakan” 1965. Penonton diajak memuliakan tentara karena menaklukkan pemberontak.
Pengkhianatan dipaksakan beredar di seluruh negeri (1984-1998). Jadi tontonan wajib siswa sekolah pada jam pelajaran. Jadi tayangan wajib semua saluran televisi. Semua ini jadi beaya sosial yang lebih besar ketimbang beaya produksi di balik sukses Pengkhianatan.
Di berbagai masyarakat modern, aneka informasi dan kepentingan saling bersaing. Di situ tokoh berpengaruh dibayar untuk mendukung kepentingan sponsor bersaing agar unggul dari yang lain. Pengkhianatan tidak bersaing dengan kisah-kisah tandingan bertema serupa. Sewaktu film itu diedarkan, semua kisah tentang 1965 dilarang berbeda dari versi resmi pemerintah. Bahkan bertanya kritis yang meragukan sejarah versi pemerintah terancam hukuman berat.
ADVERTISEMENT
Dibuatnya film Pengkhianatan tidak sia-sia. Sebagian dari tiga generasi muda berhasil dididik membenci PKI, tanpa boleh belajar apa itu komunisme dari sumber aslinya. Namun pesan film itu berkali-kali terpeleset ketika diterima penonton. Tidak pernah ada jaminan sebuah komunikasi akan sepenuhnya berjalan mulus dan utuh. Berikut ini beberapa contohnya.
Menurut Atlan Ali, Kepala Kanwil P&K Jawa Timur, ketika menonton film Pengkhianatan, “Anak-anak malah bersorak ketika menyaksikan anggota ABRI yang PKI membunuh jenderal-jenderal TNI-AD”. Ada laporan lain menyatakan kejadian serupa terjadi di Jakarta.
Tahun 1990an di Salatiga, anak saya, seorang siswa SD, pulang dari sekolah bercerita dengan bersemangat: “Tadi di sekolah, kami bermain PKI-PKI-an. Asyik”. Saya kaget setengah mati: “Hah? PKI-PKI-an? Main apaan itu?”
ADVERTISEMENT
Ia menjelaskan, sewaktu jam istirahat anak-anak di sekolahnya menirukan adegan dari kisah Pengkhianatan. Katanya: “Semua ingin jadi PKI. Tapi harus ada yang jadi jenderal. Kami pukul dan tendang yang jadi jendralnya. Mereka lari, kita kejar, sampai mereka sembunyi di WC. Hahaha”.
Film semi-dokumenter The Act of Killing (versi Indonesianya: Jagal) merekam kesaksian beberapa algojo swasta Orde Baru. Dengan rinci mereka memeragakan cara membunuh orang-orang yang dianggap PKI. Seorang tokohnya mengaku: "Film G-30-S yang dibilang PKI kejam, itu tidak benar. Yang kejam kita".
Kerja influencer tak selalu berdampak. Kalau pun berdampak, tak selalu sesuai tujuan. Jika terjadi demikian, yang rugi bukan hanya sponsornya. Masyarakat luas ikut jadi korban, jika ruang publik dibanjiri perdebatan tidak mencerahkan dari dua kubu yang lebay. Mirip banjir iklan liar di pusat kota.
ADVERTISEMENT
Terlebih parah, jika perdebatan dipangkas lewat pembungkaman. Misalnya warga dipenjara, atau situs web dan akun mereka diretas, hanya karena mereka beradu kata-kata, melawan yang punya modal dan kuasa.
RIP Orde Baru. Semoga arwahnya tidak bangkit dari kubur.
Live Update