Mei 1998: Titik Balik Sejarah

Ariel Heryanto
Guru Besar di Monash University
Konten dari Pengguna
5 Mei 2020 8:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ariel Heryanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kerusuhan Mei 1998. Dok: Wikimedia Commons.
zoom-in-whitePerbesar
Kerusuhan Mei 1998. Dok: Wikimedia Commons.
ADVERTISEMENT
Kekerasan anti-Tionghoa Mei 1998 di Jakarta, Solo dan beberapa kota lain sangat penting dalam sejarah kontemporer Indonesia. Peristiwa itu menjadi titik-balik dalam kanvas besar sejarah perubahan sosial dan kapitalisme Indonesia.
ADVERTISEMENT
Selama abad 20 kekerasan anti-Tionghoa besar-besaran (lebih dari sehari, meliputi satu kota besar atau lebih, tanpa hambatan polisi) terjadi secara berkala. Yang berbeda dari Mei 1998: untuk pertama kalinya warga kelas-menengah, urban, non-Tionghoa menolak kekerasan rasial itu. Mengapa?
Dalam jumlah besar dan secara publik, mereka mengutuk dan merasa malu atas terjadinya peristiwa itu. Sebagian dari mereka membantu atau melindungi warga Tionghoa baik selama atau sesudah terjadinya Mei 1998. Tidak hanya secara pribadi dan individual. Banyak yang membangun jaringan organisasi untuk membantu korban dan menggugat tanggung-jawab negara.
Dua gejala lain yang tidak kalah penting dari Mei 1998. Pertama, setelah tiarap 30 tahun karena ditindas Orde Baru, kelas-menengah Tionghoa urban bersemangat kembali terlibat politik. Dalam jumlah besar kaum muda Tionghoa bergiat dalam berbagai acara atau gerakan politik. Mengapa?
ADVERTISEMENT
Kedua, Mei 1998 seakan-akan menjadi gong penutup – setidaknya untuk sementara waktu yang panjang – bagi sejarah kekerasan anti-Tionghoa yang direstui, atau dirancang negara. Hingga hari ini, kekejaman serupa tidak terjadi lagi. Juga tidak ada tanda-tanda akan terjadi dalam waktu dekat. Mengapa?
Saat memuncaknya gelombang anti-A Hok di Jakarta, banyak warga minoritas di Jakarta yang sangat khawatir akan berulangnya Mei 1998. Dapat dipahami, karena trauma Mei 1998 masih tersisa. Dan para pelaku serta penanggung-jawab utama kekerasan Mei 1998 menikmati impunitas. Namun Mei 1998 tidak terulang dalam gelombang anti-A Hok (2016-2017). Mengapa?
Secara ringkas dan garis-besar, tulisan ini mencoba menjawab serangkaian “mengapa” di atas. Uraian ini berfokus pada dinamika kapitalisme selama dan sesudah Orde Baru.
ADVERTISEMENT
ORDE BARU
Sejak awal, Orde Baru (1966-1998) ingin tampil sebagai kebalikan dari pemerintahan Sukarno yang gaduh politik dan amburadul di bidang ekonomi. Mereka ingin menggenjot pertumbuhan ekonomi dan sekaligus menindas dinamika politik. Untuk itu dibutuhkan modal besar dan jaringan perdagangan global dalam waktu segera. Padahal kondisi negeri masih berantakan dan tergenang banjir darah genosida “komunis”, para pendukung “Sukarnois” dan semua yang dianggap dekat mereka.
Untuk mencapai tujuan itu, Orde Baru mengandalkan tiga mitra: pemodal asing (dari negara-negara anti-komunis) dan dua kelompok pemodal domestik: kalangan militer dan minoritas Tionghoa. Pemilihan tiga mitra itu didasarkan pertimbangan politik. Ketiganya tidak berpeluang menggantikan para jenderal yang sedang berkuasa.
Ketiganya berbeda dari para pengusaha domestik, swasta, sipil dan “pribumi”. Walau mereka membantu para jenderal Orde Baru meruntuhkan pemerintah Sukarno. Kelompok domestik yang besar ini sulit diperas, sulit dikendalikan. Mereka berpeluang membentuk oposisi yang kuat untuk menggugat penguasa.
ADVERTISEMENT
Untuk menjamin proyek Pembangunan, Orde Baru membatasi ruang gerak dan kekuatan ketiga mitranya. Pemodal asing bisa diusir, bila tidak mendukung penguasa. Kalangan militer mudah dikendalikan pada 20 tahun pertama Orde Baru, karena berada di bawah kendali para jenderal yang menguasai negara, termasuk institusi militer.
Tapi sesudah itu, pertumbuhan bisnis di kalangan keluarga militer dan generasi kedua mereka semakin sulit dikendalikan. Akhirnya perpecahan istana dan militer mempercepat runtuhnya Orde Baru di bawah Presiden Suharto.
Yang lebih rumit dan menarik adalah siasat Orde Baru mengendalikan minoritas Tionghoa. Agar pengusaha Tionghoa tidak bertumbuh menjadi kekuatan politik yang mandiri, Orde Baru memproduksi identitas “non-pribumi” untuk mereka, sebagai stigma.
Demi Pembangunan Orde Baru, kekerasan rasis anti-Tionghoa diadakan secara berkala dengan tiga manfaat. Pertama, pemerintah bisa menyangkal tuduhan menganak-emaskan warga minoritas. Kekerasan itu semacam bukti pemerintah berpihak pada kaum “pribumi”.
ADVERTISEMENT
Kedua, lewat kekerasan anti-Tionghoa itu pemerintah membina massa yang lapar dan menganggur untuk mengalihkan kemarahan. Bukan terhadap kebijakan pemerintah, tetapi terhadap warga minoritas sebagai kambing hitam. Ketiga, dengan berulangnya kekerasan rasis, aparat negara memeras pihak korban agar menambah “dana keamanan” untuk beaya perlindungan tambahan dari ancaman “amuk massa” (yang sudah direkayasa negara).
Semua itu berjalan lancar, setidaknya dalam 20 tahun pertama pemerintahan Orde Baru. Ironisnya, berkat keberhasilan pertumbuhan ekonomi Orde Baru, masyarakat Indonesia berubah dan semakin sulit dikendalikan. Sejak pertengahan 1980an, tampak gejala awal pertumbuhan bibit-bibit kelas burjuasi dengan sosok ideologi dan solidaritas kelas mereka.
BURJUASI
Pertumbuhan ekonomi Orde Baru berkembang jauh lebih besar dan luas dari yang dibayangkan siapa pun. Sejak 1980an ruang publik dibanjiri diskusi tentang “kelas menengah” dan “konglomerat”.
ADVERTISEMENT
Meledaknya jumlah orang kaya tidak terbatas di kalangan orang asing (ex-patriat) di Indonesia dan WNI “keturunan non-pribumi”. Tetapi juga putra-putri perwira tinggi, teknokrat dan pegawai tinggi. Ditambah menantu dan para ipar mereka. Bersama-sama mereka bersekolah, berlibur dan belanja menglobal di Eropa, Amerika dan Australia.
Berangsur-angsur kaum “non-pribumi” dan ekspatriat tidak lagi menjadi sosok “lain”, asing dan mengancam. Berbeda dari beberapa generasi sebelumnya, para pengusaha besar dan elit “pribumi” tidak lagi iri secara ekonomi pada mitra-kerja dan mitra-bersantai yang “non-pribumi” atau manca-negara. Solidaritas kelas burjuasi lintas-ras mulai terbentuk walau dalam tahap awal.
Tentara dan pengusaha mulai berceramah tentang globalisasi, agama, musik, atau fasyon. Di tahun 1990an lebih dari sekali pejabat tinggi negara (termasuk presiden, menteri kabinet), perwira tinggi militer serta pengusaha besar Tionghoa tampil bersama dalam acara baca puisi di pusat kesenian TIM.
ADVERTISEMENT
Sejak itu Indonesia menjadi salah satu pusat pertumbuhan pertokoan (mal) dan bisnis properti dunia. Buku, majalah dan diskusi tentang gaya hidup marak. Busana Muslim menjadi industri global dan gaya hidup kelas atas. Pentas musik tenar dunia dan teater domestik laris walau dijual dengan harga “selangit”.
Bersamaan dengan itu tumbuhnya kelas burjuasi ini, membengkak pula jumlah kaum miskin kota. Juga demonstrasi buruh.
Dengan latar belakang demikian, dapatlah dimaklumi betapa terpukul harga diri kelas menengah “pribumi” ketika terjadi kekerasan anti-Tionghoa Mei 1998. Peristiwa itu tak dapat masuk akal mereka. Kekerasan terorganisir itu merupakan sisa-sisa siasat politik Orde Baru yang sudah kedaluwarsa.
Bukan berarti rasisme sudah lenyap. Bukan berarti sampah Orde Baru habis dimakan waktu. Kini dinamika politik dan ekonomi sudah berubah. Tapi yang mungkin belum berubah adalah kebutuhan akan sosok “kambing-hitam” baru. Sebagai ganti “non-pribumi”. Belum tersedia.
ADVERTISEMENT
Untuk kita masa kini, dibutuhkan segera koreksi atas berbagai salah-kaprah tentang politik Orde Baru. Juga tentang Mei 1998.
MASA DEPAN
Banyak yang keliru memahami kebijakan politik Orde Baru. Orde Baru tidak bersungguh-sungguh “anti-Tionghoa”. Di masa Orde Baru, rasisme hanyalah siasat berpolitik. Dan siasat itu bisa diganti, bila kondisi berubah. Bila tersedia alat dan siasat lain.
Orde Baru menggunakan dua jurus politik yang seakan-akan saling bertentangan, tetapi sesungguhnya saling melengkapi. Di satu pihak pengusaha elit Tionghoa dianak-emaskan. Di waktu bersamaan hak-hak sipil komunitas Tionghoa secara umum ditindas habis-habisan.
Hal serupa dilakukan terhadap berbagai kelompok “preman” atau golongan agama “radikal”. Masyarakat yang tidak paham kebijakan negara semacam itu bingung. Kadang-kadang pemerintah bertindak tegas pada pelaku pelanggaran hukum. Kadang-kadang tampak mesra atau tunduk pada mereka. Karena terbukti jitu, siasat itu menggoda untuk diteruskan pada masa pasca-Orde Baru.
ADVERTISEMENT
Mei 1998 juga banyak disalah-pahami berbagai pihak. Peristiwa itu bukan “huru-hara” atau “kerusuhan massa” akibat kebencian rasial dari satu kelompok warga terhadap warga sebangsa. Mei 1998 adalah teror dengan modal, peralatan ledak, organisasi, dan perencanaan operasi yang hanya mampu dimiliki aparat negara. Mei 1998 lebih tepat disebut sebagai “teror-negara” bercorak rasis.
Kemakmuran kelas menengah dari tahun 1980an membentuk solidaritas lintas-etnis kelas burjuis baru. Secara batin dan akal, mereka tidak siap menelan terjadinya kekerasan Mei 1998 di tanah air.
Mereka juga menderita amensia (lupa kolektif) atas sejarah panjang kekerasan serupa. Bahkan di kalangan aktivis muda Tionghoa banyak yang tidak tahu Mei 1998 bukan kekerasan anti-Tionghoa yang pertama atau terparah sejak Indonesia merdeka.
ADVERTISEMENT
Alpa, amnesia atau gagal memahami apa yang sudah terjadi punya risiko berat di masa selanjutnya.
Bencana serupa bisa meledak lagi dengan nama, gaya, dan korban yang tidak persis sama. Dan kelas menengahnya tidak siap lagi. Hanya terkaget-kaget, marah, sedih atau frustrasi.