Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Nasib yang Ditunggangi Nestapa dalam Nestapa
5 Juli 2022 16:33 WIB
Tulisan dari Arif Budiman Al Fariz tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
“Bagaimana keadaan aku di masa mendatang? Apakah aku akan sukses? Apakah aku akan kaya raya? Atau apakah aku akan sengsara? Apakah aku akan bersamanya?”
ADVERTISEMENT
Berjuta pertanyaan terus masuk menghantam pikiranku. Pertanyaan seputar tuntutan kepastian kehidupan masa mendatang. Lagi, sepanjang hariku selalu dihiasi dengan pertanyaan itu. Pikiranku layaknya mandala yuda yang sengit. Pertarungan realitas masa kini dengan tuntutan kecemasan masa depan. Siang anxiety kalau malam overthinking. Sebuah kombinasi yang paripurna. Layaknya Misaki dan Tsubasa di kesebelasan Nankatsu. Saling melengkapi dan membuat lawan menciut.
Memang, setiap manusia kepingin sebuah kepastian dalam hidupnya. Tak ada yang mau hidup dalam ke tidak jelasan nasib. Seperti dalam beberapa buku yang aku lahap, manusia cenderung memilih kepastian mendapatkan untung walau pun itu sedikit. Ketimbang mereka memilih perjudian nasib, walau bisa dapat untung banyak. Itulah tabiatnya. Kenyamanan kognitif dan pikiran selalu dinomor wahidkan.***
ADVERTISEMENT
“Pak mohon maaf, apakah tugas yang saya lampirkan di email sudah sesuai?”
Sontak aku kembali ditarik dari lamunan panjang kehidupan masa laluku, kira-kira saat beranjak usia 27 tahun.
“Baik, nanti akan saya cek dulu dan akan saya kabari kembali nanti” Jawabku singkat.
Setelah dipikir-pikir, dulu ketika usiaku 27 tahun aku selalu mengeluhkan masa depan. Bagaimana nantinya aku akan hidup. Memangnya masa depan itu kapan? Bukannya saat ini juga masa depan bagi diriku yang berusia 18 tahun, atau 20 tahun. Entah.
Sekarang bisa dikata sudah ada di masa depan, setidaknya di usia saat ini sekarang, aku mengeluh keadaan sekarang. Kenapa masih mengeluh terkait kondisi saat ini. Kenapa tidak begini, begitu dan begitu. Terus saja serasa kurang. Sampai lupa kapan terakhir bersyukur bisa bertahan hidup sampai sekarang.
ADVERTISEMENT
Memang manusia. Selalu merasa tidak cukup dengan keadaan. Atau memang kebutuhan? Entah juga. Keduanya sama saja melelahkan kalau menjadi bahan overthinking.
Ketika serangan kufur nikmat ini menyerang, aku selalu teringat momen saat usiaku menginjak 27 tahun, lebih sih tapi kurang lebih begitu. Momen itu selalu aku jadikan patokan untuk terus bersyukur. Bersyukur aku bisa hidup sampai sekarang. Menjalani dengan penuh keceriaan dan kegembiraan. Serta berbagi senyum untuk orang sekitar merupakan amalan yang bisa aku lakukan untuk mensyukuri hidup ini.***
Kala itu keadaan cukup muram, bahkan mungkin kalut. Berbagai cobaan datang menawarkan jasanya kepadaku, tapi cenderung memaksa. Awalnya terjadi kecelakaan yang membuat kakiku mengalami luka yang cukup mendalam. Tidak sampai di situ, kabar bahwa perusahaan memutus hubungan kerja karena aku tak kunjung sembuh. Sungguh memancing diri membuat persepsi hidup terasa tidak adil. Memang tidak adil sih, tapi aku berusaha denial. Aku harus menari dalam ketidakadilan ini.
ADVERTISEMENT
Istilah habis jatuh tertimpa tangga pula, mungkin belum bisa menggambarkan kemalangan nasibku. Setelah aku jatuh dan tertimpa tangga, masih juga tertimpa robohan atap. Kemalangan datang lagi. Aku gagal mendapatkan beasiswa kuliah S2. Pahit, gelap dan menyebalkan. Aku ingin unsubscribe nestapa ini. Tapi tak ada tombol subscribe di kehidupan ini.
Bagaimana mungkin aku punya pikiran bahwa hidupku akan baik-baik saja, sedang aku hanya berbaring di rumah sakit. Tak berdaya dan tak mampu lakukan apa-apa. Hanya tidur, kerennya rebahan. Tapi tak ada keren-kerennya. Sementara orang lain terus memperbaiki diri, menjadi manusia keranjingan dikejar waktu. Aku selalu termenung sendirian.
Bahkan setelah keluar dari sana pun aku selalu termenung dalam lubang kesepian. Pikiran untuk mengakhiri hidup acap kali menyelinap masuk ke dalam alam pikirku. Ia menawarkan solusi dari nestapa dan kemusykilan nasib yang diderita diri. Sungguh ia menawarkan sembari menertawakan lemahnya diriku. Pernah di satu waktu aku hampir mengikuti ajakannya, namun kebusukannya tercium akal warasku. Itu juga dibantu seorang teman. Meski begitu, ia tak pernah hilang dari pikiranku. Begitu bebal, keras kepala namun cerdik. Ia menyerang di saat berada di titik terlemah. Tak pernah ia datang saat dirundung kegembiraan. Curang memang.
ADVERTISEMENT
“Halo kak, bagaimana kabarnya hari ini?” dengan emoticon penuh keceriaan dan kegembiraan. Itu adalah isi pesan di kolom chat Whatsapp dari seorang gadis setelah berusia hampir satu tahun tak jumpa.
Dulu, Ia selalu membuat dadaku berdegup saat bercakapan. Ketika bertukar Whatsapp, selalu saja ada keceriaan dari cerita yang Ia bagikan. Penuh makna dan sukar dipercaya ada orang yang memiliki segudang ragam cerita dan keceriaan. Ia juga bisa menjadi pendengar yang baik di kala aku dirundung kegelisahan atas hidup. Memberikan perhatian kecil dan antusias mendengarkan cerita juga berbagi rasa. Sikapnya itu yang selalu menjadikan hatiku terasa hangat.
Sempat juga aku memperhatikan saat dia di hadapan anak kecil, Ia seperti super hero yang menjadi tempat berbagi bersama anak-anak. Di hadapan mereka pula Ia selalu memberikan berbagai cerita. Ringan, ceria dan penuh pelajaran. Menunjukkan kedalaman pengalaman yang Ia lalui. Lewat cerita dan sikapnya, Ia selalu punya celah berbagi bersama orang. Hal seperti yang selalu membuatku termotivasi untuk terus dekat dengannya. Notifikasi chat kembali menghentikan selancar ingatanku.
ADVERTISEMENT
“Sudah cukup lama ya kita tidak saling bertukar pesan kak, hehe” tulisnya.
“Tidak lebih baik semenjak kita tidak saling bertemu.” Jawabku ketus. Tapi aku buru-buru menghapus chat itu.
“Baik, seperti biasa. Sudah cukup lama ya mungkin hampir setahun. Kabarmu bagaimana?”
“Alhamdulillah baik, tak kurang suatu apa pun kak”
“Sebenarnya aku mau mengabari suatu hal kak, tapi aku sungkan.” Sambungnya.
Kata-kata itu membuat ingatanku kembali mereka ulang kejadian setahun yang lalu. Aku seperti dipertontonkan lagi pada rasa sakit kala itu. Tentu ini menjadi pertunjukan traumatis.
Ceritanya kala itu, kita telah berjanji akan mengadakan pertemuan di rumahnya. Tapi tepat sebelum hari janji itu tiba, Ia berucap hal yang sama. Ia hendak mengutarakan sesuatu. Tapi tak tuntas dan tidak menjelaskan apa pun. Hingga hilang tak dapat dihubungi dengan jalur apa pun.
ADVERTISEMENT
Aku mendatangi rumahnya juga tidak ada tanda kehidupan. Tepatnya ke daerah tempat tinggalnya karena aku tidak tahu persis di mana Ia tinggal. Mencari kabar ke mana pun sia-sia. Bagai lenyap ditelan ufuk horizon di ujung sana. Tanpa kabar dan tidak tahu menahu ke mana Ia pergi. Aku berusaha mencari di setiap akun media sosial yang Ia punya, tapi nihil tak berjejak.
Hatiku gelisah, meraung penuh lara atas perubahan keadaan yang serba mendadak. Bagaimana tidak, aku bersamanya menjalin hubungan kurang lebih satu tahun. Setiap hari selalu ada saja kabar, cerita dan keceriaan yang Ia bagikan. Hatiku bertaut padanya sangat dalam. Tetapi tiba-tiba dicabut paksa menerima keadaan baru. Tanpanya. Namun hati dan pikiranku tetap denial. Ia mungkin pergi untuk sementara waktu. Nanti akan ada kabar tiba-tiba seperti yang Ia lakukan dulu ketika mengejutkanku di kala ulang tahunku.
ADVERTISEMENT
Beberapa bulan kemudian hal yang ditunggu tak kunjung juga tiba. Daun di sekitar rumah sudah mulai menguning, menggugurkan dirinya. Butuh waktu beberapa bulan bagiku untuk pulih dari luka ini.
Aku terbangun lagi dari tontonan bioskop ingatanku oleh kiriman pesannya.
“Aku sekarang tinggal di kota lain kak. Keluargaku pindah tiba-tiba karena alasan yang sangat mendadak. Aku tidak berani memberimu kabar, karena itu pasti menyakitkan bagimu. Aku memutuskan untuk merelakan segala yang sudah direncanakan, karena itu suatu hal yang tidak mungkin lagi untuk digapai.”
“Aku butuh waktu untuk berani lagi menghubungimu. Karena itu juga menyakitkan bagiku. Keadaan yang memang memaksa kita seperti ini. Tetapi hari ini, aku harus memberimu kabar. Setidaknya mungkin ini akan jadi obat bagimu untuk tidak ragu lagi melangkah.” Sambungnya.
ADVERTISEMENT
“Di bulan depan, aku akan mengadakan pernikahan. Ada senior yang datang kepadaku dan mengutarakan maksud baiknya. Ia juga yang menyelamatkanku dari jurang keputusasaan melawan keadaan. Maafkan aku, tetapi memang takdir memilihku untuk seperti ini. Mungkin ini akan menyakitimu, tapi aku harus mengabari ini semua. Sekali lagi aku minta maaf selama ini dan terima kasih atas segala yang kamu lakukan. Aku harap kamu bisa melangkah maju dan melupakanku” Tutupnya.
Setelah tertimpa atap, langit seakan runtuh menimpa diri ini. Seluruh luka yang sudah aku menangkan dengan damai tiba-tiba memaksa masuk ke alam sadarku kembali. Lagi, tiba-tiba aku harus menerima jalan takdir yang begitu terjal dan penuh duri. Ia seakan tidak mau aku lewati dengan tanpa pesakitan.
ADVERTISEMENT
“Oh baik, selamat ya. Aku turut senang dengan kebahagiaanmu. Semoga kebahagiaan dan keceriaan selalu menyertaimu.”
Tidak ada lagi obrolan dalam aplikasi berwarna hijau itu. Semuanya begitu hening dan terjadi sangat cepat. Aku bingung harus merespons seperti apa lagi kemalangan ini. Aku tak lagi mempertanyakan kenapa selalu nestapa menghampiri hidup ini. Bahkan mungkin diriku ini adalah nestapa sendiri. Dadaku pilu. Tak lagi memiliki rasa. Hambar dan begitu pengap. Aku tak lagi mengenali ekspresi wajahku, merana, gundah atau lara. Entah lah. Tetapi ada sesuatu yang membuat dada ini terus pengap hingga akhirnya segalanya menjadi gelap tak ada sedikit cahaya pun.***
Ternyata aku terbangun dari mimpi buruk itu. Dan menceritakan kepada kekasihku, istriku, betapa kejamnya kamu di universe lain. Istriku memelukku dan aku mencium keningnya. Tapi tepat sebelum sampai pada keningnya, tiba-tiba gedoran pintu begitu kencang masuk ke dalam telingaku.
ADVERTISEMENT
Dan aku terbangun dari mimpi yang panjang, aku tersadar ternyata aku belum menikah. Hanya seorang pemalas yang tidur di siang bolong.