Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Gelar Seminar PPKS, STABN Sriwijaya Ciptakan Kampus Bebas dari Kekerasan Seksual
9 September 2023 14:36 WIB
Tulisan dari Arif Budiwinarto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
TANGERANG - Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri (STABN) Sriwijaya Tangerang Banten menyelenggarakan seminar pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS) di lingkungan institusi pendidikan. Melalui seminar ini, STABN Sriwijaya berupaya memastikan kampus aman dan bebas dari kekerasan seksual.
ADVERTISEMENT
Seminar bertajuk Mewujudkan Kawasan Bebas Kekerasan Seksual di Institusi Pendidikan berlangsung di Aula Lantai 3 Gedung STABN Sriwijaya Tangerang, Jumat (8/9/2023), diawali dengan pembukaan secara resmi dan ice breaking yang diikuti oleh seluruh sivitas akademika STABN Sriwijaya Tangerang Banten. Kegiatan seminar ini merupakan rangkaian acara dalam rangka DIes Natalis XXI STABN Sriwijaya Tangerang.
Disampaikan oleh Ketua Satgas (Satuan Tugas) PPKS, Iin Sumarni, M.Pd.B bahwa pemerintah sangat konsen menyelesaikan kasus kekerasan seksual pada institusi pendidikan tinggi. Hal ini terlihat dengan diterbitkannya dasar hukum terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yakni Permendikbudristek Nomor 30 tahun 2021, kemudian Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 tahun 2022, Kepdirjen Bimas Buddha Nomor 82 tahun 2023 Tentang Petunjuk Teknis PPKS kemudian ditindaklanjuti oleh STABN Sriwijaya Tangerang dengan membentuk Satgas PPKS.
ADVERTISEMENT
Dalam sambutan pembuka, Wakil Ketua I STABN Sriwijaya Tangerang, Dr. Li. Edi Ramawijaya, M.Pd., mengapresiasi inisiatif Satgas PPKS STABAN Sriwijaya mengadakan seminar PPKS. Dr. Edi menyebut kekerasaan seksual sebagai ancaman laten yang berpotensi mengganggu proses pembelajaran.
“Sekarang kita punya produk undang-undang yang mengatur tindak kekerasaan seksual. Artinya kalau sudah (berbentuk) undang-undang mengatur semua (warga negara). Ini penting agar Indonesia menghargai perbedaan gender, menghargai hak-hak perempuan,” ucap Dr. Edi.
“Marilah sivitas akademika STABN Sriwijaya Tangerang, melalui seminar ini kita ambil knowledge, pemahaman mengenai literasi penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di lingkungan akademik,” lanjutnya menambahkan.
Hadir sebagai pembicara, Komisioner Komnas Perempuan, Prof. Alimatul Qibtiyah, S.Ag., M.Si., Ph.D., memaparkan sejumlah data kekerasan berbasis gender (KBG) yang pernah tercatat selama 25 tahun Komnas Perempuan berdiri. Dalam rentang 2001 sampai 2021, jumlah kekerasan berbasis gender (KBG) melonjak dari 3.000 kasus menjadi lebih dari 330 ribu kasus. Perempuan menjadi kelompok paling rentan mengalami kekerasan seksual.
ADVERTISEMENT
“Selama 25 tahun Komnas Perempuan berdiri terdapat 2,5 juta laporan di ranah personal, kekerasan terhadap istri paling banyak dilaporkan, di ranah publik termasuk di sekolah/lembaga pendidikan. Di dunia siber meningkat 300% sejak pandemi, literasi digital terhadap perilaku berisiko itu sangat penting untuk disosialisasikan,” paparnya.
Perempuan kelompok rentan kekerasan seksual
Selama lebih dari dua dekade, kasus perkosaan lebih banyak dilaporkan daripada pelecehan. Namun, pada tahun 2022, pelecehan lebih banyak dilaporkan. Menurut Prof. Alimatul, kasus pelecehan seksual di masyarakat bisa lebih besar angkanya, hal ini disebabkan masyarakat masih lekat dengan anggapan tradisional mengenai tubuh perempuan.
“Kenapa gak mau lapor? Karena mitos keperawanan di masyarakat kita masih kuat. Jadi yang dimasalahkan perempuan saja gitu, masyarakat tidak peduli tidak perawan itu karena olahraga, jatuh atau sebagainya. Inilah yang menyebabkan banyak korban memilih tidak melaporkan karena persoalan itu,” ia melanjutkan.
Berdasarkan data pengaduan Komnas Perempuan dalam rentang 2015-2021, secara spesifik dalam lingkup pendidikan, kekerasan berbasis gender terhadap perempuan paling banyak terjadi di perguruan tinggi yakni sebesar 35%. Kemudian disusul kekerasan seksual di sekolah berasrama sebesar 16% dan SMA/SMK sebesar 15%.
ADVERTISEMENT
“Kekerasan seksual bukan hanya terjadi di tempat umum, tetapi juga yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, seperti di media kreatif, sekolah, dan lembaga pendidikan lainnya,” tutur perempuan yang juga berprofesi sebagai dosen di UIN Sunan Kalijaga.
Lebih lanjut, Dr. Alimatul mendorong peran serta semua sivitas akademika dalam membentuk sebuah lingkungan yang aman dari potensi tindakan kekerasan seksual. Ia juga menekankan pentingnya dukungan pada korban kekerasan.
“Jadi kita harus whistleblowing system di kampus untuk menciptakan budaya yang nyaman untuk semua. Tapi kalau kita diam saja, keburukan akan tumbuh subur.”
“Saya berharap setelah acara ini, para hadirin tidak menyalahkan korban jika terjadi tindakan kekerasan seksual. Memang perlu kita hati-hati, gimana biar gak jadi potensi korban dan pelaku,” pungkasnya.
ADVERTISEMENT
Seminar ditutup dengan penandatanganan komitmen bersama sivitas akademika STABN Sriwijaya Tangerang yang hadir sebagai bentuk kesamaan tujuan untuk menciptakan STABN Sriwijaya kawasan bebas kekerasan seksual.