Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Mudik: Tentang Meraih Makna Pulang dan Perayaan
9 Mei 2021 13:22 WIB
Tulisan dari Arif Budiwinarto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Bunyi klakson bus terdengar bersahut-sahutan, menyadarkan saya dari lamunan. Sejak memasuki perbatasan kota, dan langit gelap, saya cuma bisa memandangi sekelebat lampu sorot kendaraan yang lalu lalang dari depan melaju ke belakang dan sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Banyak yang terlintas di kepala saat itu, mulai dari mas-mas perantau yang antusias bercerita mengenai kegagalan usahanya di Jakarta, seorang bapak umur 50 tahunan yang dengan bangga menceritakan kisah suksesnya sampai teringat keseruan beberapa tahun lalu melintasi jalan antar provinsi bersama bapak saya menaiki motor.
Sopir mulai menepikan bus, rem diinjak, roda-roda pun terhenti berputar. Lampu kabin yang tadinya dinyalakan remang-remang mirip nuansa ruang diskotek, kini dinyalakan semua. Meski sudah lama tak berpergian jauh menggunakan bus, saya tak norak-norak benar. Ini tanda bus sudah sampai pada tujuan akhirnya.
Setapak kaki saya menginjak tanah di timur Pulau Jawa ini, langit mulai menitikkan airnya. Saya disambut oleh hujan, layaknya seremoni water salute pada pesawat yang baru saja tiba membawa tamu istimewa.
ADVERTISEMENT
Harus saya akui, perjalanan kali ini memang istimewa. Walau seringkali menempuh jarak jauh seorang diri, momen pulang kali ini lebih emosional. Menemui kembali mereka yang pernah saya kenal. Mengunjungi kembali tanah leluhur, tempat di mana awal cerita keluarga besar saya berawal.
********
Prolog di atas merupakan penggalan cerita mudik saya di awal April lalu, sebelum pemerintah mengumumkan melarang mudik Lebaran 2021 sebagai upaya pencegahan penyebaran Covid-19. Sudah dua kali pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut sejak pandemi Covid-19 menghinggapi Indonesia yang sampai sekarang belum menunjukkan tanda-tanda kapan akan berakhir.
Lahir dan besar di Jakarta, saya tak ada bedanya dengan ribuan orang yang masih berusaha mudik pada hari ini meski sudah tahu risiko apa yang menanti mereka. Segala akal-akalan, kengototan, sampai rela merogoh kocek lebih dalam hanya untuk sementara melupakan perantauan mereka lakoni. Tak peduli sanksi apa yang menanti, itu urusan belakangan. Terpenting usaha bagaimana caranya mudik.
ADVERTISEMENT
Memandang mudik sebagai dinamika kontemplasi manusia, maka inilah momen emosional di mana setiap perjalanan yang ditempuh seseorang membawa motif masing-masing. Mudik dalam KBBI berarti pulang ke kampung. Ada makna pulang dalam setiap mudik. Mudik adalah kembali ke rumah pertama tempat tumbuh hingga akhirnya cerita hidup terus terkenang. Seperti yang pernah ditulis Henry Anatole Grunwald,
Saya merenungi kembali momen pulang belum lama ini, mengingat kembali apa yang pernah saya temui, alami, dengar, rasakan. Pulang bukan hanya tentang kehadiran fisik, pulang bukan hanya tentang kembali, pulang bukan tentang keberhasilan, kegagalan. Tapi, pulang adalah sebuah perayaan! Perayaan atas sebuah perjuangan. Persis seperti tertulis pada prolog.
Meski keberhasilan sering kali jadi tolok ukur sebuah perjuangan, percayalah masih ada kearifan dan kehangatan untuk menerima kegagalan, mengobati kekecewaan, serta memeluk kesedihan. Saya jadi teringat tulisan di salah satu barang pemudik jelang Idul Fitri tahun 2017 isinya seperti ini "pulang lah nak, berhasil atau gagal. Orang tua butuh kamu pulang."
ADVERTISEMENT
Orang tua adalah sosok terakhir yang setia menanti kepulangan anak turunnya tak peduli seberapa gemilang atau hancurnya hidup mu. Selama hayat masih melekat di tubuh, orang tua yang akan membuat hidup mu terasa cukup. Meski fisiknya telah renta dimakan usia, orang tua tetaplah sosok yang sama mengiringi mu tumbuh.
Mendekati pamungkas hidupnya, orang tua ingin terakhir kali mewakafkan diri sebagai orang paling bertanggung jawab atas hidup anak turunnya. Menyeka air mata yang turun, membelai kepala saat tertidur pulas, menertawakan setiap kebodohan, menyiapkan makanan, menepuk pundak sebagai apresiasi, serta mendoakan sebagai bekal saat kita memutuskan untuk pergi lagi.
Setelah lama pergi, jauhnya jarak yang ditempuh, pikuknya hidup maka sudah seharusnya pulang adalah momen paling menyenangkan. Bila orang tua melepas kepergian mu adalah bentuk keikhlasan, maka pulang adalah pengabdian.
ADVERTISEMENT
*******
Menghabiskan tiga hari di kampung halaman saya, Magetan—sebuah kabupaten di Jawa Timur, menambah kaya hikmah dalam setiap kepergian dan kepulangan saya. Bahwa terkadang kita sedikit lupa, ada orang-orang yang begitu kuat, teguh dan jujur, dialah orang tua.
Dari nenek saya belajar bagaimana kesetiaan, tinggal sendirian di rumah yang dulu membesarkan bapak saya. Sederhana memang; berlantai tanah, rangka kayu, tanpa perabotan memenuhi ruangan yang cukup luas untuk menyimpan hasil panen.
Namun rumah inilah yang akan jadi tempat nenek menunggu anak turunnya pulang, menjenguk kembali nilai-nilai luhur yang mungkin perlahan luntur digerus hiruk-pikuknya dunia. Suasana sahaja yang akan jadi bisikan di tengah lelahnya perjuangan, untuk menengok kembali pada apa yang masih ada dan tersisa dari masa lalu.
ADVERTISEMENT
Dengan pulang saya belajar menerima segalanya dengan kata sederhana; cukup. Dengan pulang saya memahami bahwa sesekali bahkan lebih, kita perlu kembali ke melihat, mendengar serta merasakan kembali nilai hidup yang pernah orang tua tanamkan sebelum melepas anaknya untuk berjuang.