Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
SOLO TRAVELING: Esensi Perjalanan Adalah Pulang dengan Hati yang Baru
13 Januari 2018 21:51 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
Tulisan dari Arif Budiwinarto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menyelami Cerita Lama di Yogyakarta
Ada yang pernah mengatakan "Sebuah perjalanan bisa bermula dari sebuah rasa kecewa. Ada yang berjalan begitu jauh membawa luka hanya untuk menemu", entah kenapa kalimat-kalimat tersebut begitu mengena di pikiran saya. Awalnya, ragu apa saya harus benar-benar berani untuk kembali melakukan sebuah perjalanan, sementara waktu menghilang dari pikuk suara-suara sumbang yang terus membuat hati mengerang.
ADVERTISEMENT
Saya terbiasa melakukan perjalanan keluar Jakarta menyambangi tempat-tempat menarik di Indonesia, sayang sepenuhnya tak bisa saya nikmati karena dibarengi dengan pekerjaan yang sebenarnya adalah utamanya. Sampai di satu waktu, Tuhan menghendaki saya untuk menempuh sebuah perjalanan, ya... perjalanan yang sama sekali berbeda dan akhirnya memberikan saya sebuah perspektif dalam memandang hidup dan mengelola intuisi.
Sempat dilanda kecewa mendalam setelah kisah cinta saya harus usai, saya memutuskan untuk melakukan solo traveling yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Tak banyak rencana yang saya siapkan untuk perjalanan seorang diri pertama ini, paling utama adalah kesehatan fisik dan tentunya mengambil cuti panjang agar tidak terlalu dikejar waktu.
Saya putuskan destinasi pertama yang akan saya kunjungi adalah Yogyakarta, dan transportasi yang saya pilih ada kereta api. Saya senang menempuh perjalanan jauh dengan moda transportasi ini karena di sepanjang perjalanan bisa melintasi tempat-tempat indah, dan tentunya bertemu dengan orang-orang baru yang kebetulan duduk dengan saya. Dari pembicaraan ringan sampai urusan negara, semuanya bisa memperkaya pemahaman saya bagaimana setiap manusia memandang hidup.
ADVERTISEMENT
Tiba di Yogyakarta, saya seperti menyelami cerita lama. Di kota ini, saya banyak menyimpan cerita bersama teman-teman kuliah sampai seseorang spesial. Ada satu hal yang membuat saya sempat was-was, saya datang tepat di akhir pekan awal bulan Desember, waktu dimana banyak wisatawan memadati kota pelajar ini. Saat itu yang terpikirkan oleh saya adalah apa masih bisa dapat tempat menginap?
Mendatangi satu per satu penginapan tentu memakan waktu lama, saya pun terpikir untuk mencari penginapan low budget dengan fasilitas tak mengecewakan menggunakan aplikasi Tiket.com. Dengan fitur smart filter, saya bisa menentukan kisaran harga dan fasilitas penginapan yang saya kehendaki. Hasil pencarian merekomendasikan Edu Hostel di kawasan Ngampilan.
Rencana saya hanya dua hari satu malam di Yogya, saya rasa sudah cukup untuk menikmati sunset di Candi Ijo, dan menikmati hidangan malam angkringan khas Yogya di sepanjang jalan Pangeran Mangkubumi. Tak lupa juga merasakan romantisme Jalan Malioboro selepas hujan. Akhirnya, saya benar-benar membuktikan bahwa kota ini menghadirkan suasana damai, penuh keramahan, dan tentunya menyisakan kerinduan berkunjung kembali.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, saya akan kemana? Ya, inilah yang terus saya pikirkan. Karena, sebelum memulai solo traveling ini saya memang tidak menentukan destinasi pasti. Bukankah seharusnnya seorang traveler tak terikat destinasi? Baiklah, sambil menikmati susu jahe hangat ditemani hujan yang tinggal menyisakan rintik-rintik, saya mencari inspirasi dengan mencari di mesin pencari Google.
Belajar Bersyukur di Kawah Ijen
Ketertarikan saya tertuju pada fenomena menakjubkan si api biru yang hanya ada dua di dunia yaitu di Indonesia dan Islandia. Saya punya kesempatan mengunjunginya karena letaknya masih di Pulau Jawa tepatnya di Banyuwangi, Jawa Timur. Naluri saya pun cepat menggiring jari saya untuk mencari tahu soal transportasi yang bisa membawa saya kesana. Hasil penelusuran menunjukkan ada kereta ekonomi dari Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta, menuju Stasiun Banyuwangi.
ADVERTISEMENT
Tak mau melewatkan kesempatan ini, saya segera memesankan tiket untuk keberangkatan melalui aplikasi Tiket.com, ini memudahkan saya tanpa harus datang memesan di loket tiket stasiun. Ahh, rasanya tak sabar segera meneruskan perjalanan ke salah satu fenomena indah di ujung pulau ini.
Saat yang ditunggu tiba, meninggalkan Yogyakarta dengan perasaan sedikit haru, pasti nanti saya kembali lagi kesini dengan cerita yang berbeda. Kereta Mutiara Timur membawa saya menjauh dari kota yang kata orang terbuat dari 99 % rindu. Perjalanan yang akan saya tempuh sampai Banyuwangi adalah 14 jam, wow!
Jika kita melakukan perjalanan pagi hari, maka jangan lewatkan pemandangan sawah menguning diterpa sinar surya yang baru muncul. Mendekati daerah Madiun, di kejauhan kita bisa menyaksikan Gunung Lawu dan Gunung Wilis yang terkadang tersembunyi di balik kabut.
ADVERTISEMENT
10 jam saya lewati dengan penuh ketidaksabaran, saya mengusir kebosanan dengan mengajak ngobrol seorang bapak yang baru naik dari Stadiun Jember. Kebetulannya, si bapak menuju Banyuwangi, saya pikir ini kesempatan bagus untuk mencari tahu soal pendakian ke Kawah Ijen. Benar pepatah yang bilang, malu bertanya sesat di jalan. Saya hampir saja 'tersesat' jika tidak dari tadi mengajak bicara si bapak.
Si bapak menyarankan saya turun di Stasiun Karangasem, bukan di Stasiun Banyuwangi Baru jika ingin ke Kawah Ijen. Singkat cerita, saya tiba di Stasiun Karangasem pukul 21:10 WIB. Berbekal informasi dari tukang parkir, saya menyewa motor untuk langsung menuju Desa Licin, desa terakhir sebelum menuju Ijen. Saya terpaksa menempuh perjalanan seorang diri malam hari melintasi jalan di tengah hutan Ijen, ini saya lakukan karena cuaca sedang bagus dan berpeluang bisa menyaksikan api biru dalam kondisi benar-benar menarik.
ADVERTISEMENT
Satu jam perjalanan mendebarkan berlalu, wajar saja, jika motor saya ada kerusakan maka konsekuensinya adalah menunggu sampai pagi atau mendorong motor sampai ketemu rumah warga paling dekat. Setibanya di pintu masuk pendakian, saya menunggu di warung makan milik warga sambil beristirahat menanti waktu pendakian dibuka pukul 02:00 WIB.
Waktu pendakian dimulai, setelah membayar tiket masuk seharga Rp. 7.500 sudah termasuk asuransi, saya melangkahkan kaki dengan penerangan seadanya menggunakan senter kecil yang saya pinjam dari penjaga warung. Satu jam saya mendaki, subhanallah....untuk pertama kalinya saya bisa melihat gugusan galaksi Bima Sakti dengan sangat jelas, serta lampu kota Banyuwangi di kejauhan.
Trek pendakian Ijen cukup bersahabat bagi pemula, tak banyak tanjakan curam dan jalurnya sudah jelas jadi tak perlu takut tersesat. Dua jam berlalu, saya tiba tepat di tepi Kawah Ijen. Untuk menyaksikan api biru, saya harus menuruni kawah dengan batu-batu besar. Harap berhati-hati karena batu-batu kapur tersebut licin dan berikan jalan kepada para penambang belerang yang hendak naik membawa beban hingga 70 kg dalam sekali angkut.
Saya tak henti berdecak kagum menyaksikan fenomena alam nan luar biasa di depan mata saya, meski diselimuti asap belerang yang cukup tebal, tapi saya tetap bersyukur bisa berada di tempat luar biasa ini. Pukul 06:00 WIB saya putuskan untuk naik ke atas kawah, dan bersiap melakukan perjalanan turun gunung.
ADVERTISEMENT
Ada yang begitu menyita perhatian saya dengan hilir mudik para penambang belerang, saya memberanikan untuk mengajak ngobrol salah satu dari mereka sekaligus membeli souvenir belarang yang mereka jajakan. Saya terharu mendengar cerita seorang penambang belerang, perjuangannya untuk menghidupi keluarganya dilakukan dengan tulus. Hampir setiap hari dari tengah malam sampai menjelang siang, dia naik-turun kawah Ijen membawa bongkahan belerang padat untuk dijual. Bayaran yang didapat tidak sebanding dengan tenaga dan resiko yang harus ditanggungnya, satu kilo belerang padat hanya dihargai Rp. 1.500.
Menyudahi pembicaraan, saya sempat terdiam dan termenung melihat si penambang belerang menjauh hilang di balik kabut. Betapa saya harus bersyukur dengan hidup yang saya miliki ini, mereka saja yang kekurangan berusaha tidak mengeluh lalu apa alasan saya juga harus mempertanyakan pada Tuhan tentang apa yang saya miliki hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Pantai Wediombo: Kehilangan Adalah Energi Hidup
Perjalanan saya di ujung timur Pulau Jawa berlanjut ke Taman Nasional Baluran di Situbondo. Menempuh dua jam perjalanan menggunakan kendaraan beroda dua. Jalan yang saya lalui sangat lebar dan mulus, tetapi perlu waspada karena banyak truk-truk besar melintas. Sepanjang perjalanan saya menyusuri pinggir pantai dengan suguhan laut biru Selat Bali.
Akibat salah memprediksi waktu, saya tiba terlalu sore di pintu masuk Taman Nasional Baluran, pukul 16:12 WIB. Saya hanya punya waktu efektif satu jam sebelum malam tiba, karena perjalanan masuk dari depan pintu masuk hingga Savana Bekol memakan waktu satu jam dengan kondisi jalan rusak berbatu melewati hutan Evergreen.
Fantastis! Inilah kata yang pertama kali saya ucap saat tiba di Savana Bekol. Padang rumput menghijau bak bentangan karpet alam diramaikan kawanan Kerbau liar dan kijang yang saling berkejaran. Latar belakang pamandangan dilengkapi Gunung Baluran berwarna keemasan ditembak sinar matahari sore jelang tenggelam.
Setelah mendokumentasikan Savana Bekol dan sekelilingnya, saya harus merelakan tak bisa mengunjungi Pantai Bama yang masih berjarak 7 Km dari Savana. Hari pun mulai gelap, saya bergegas meninggalkan area taman nasional. Di tengah perjalanan, saya kembali diliputi kekhawatiran karena sendirian menembus gelapnya hutan evergreen yang berubah jadi hitam pekat. Puji syukur, saya bisa keluar dari Taman Nasional Baluran dengan selamat walau beberapa kali roda motor yang saya tumpangi terpleset batu-batu krikil.
ADVERTISEMENT
Perjalanan pulang ke lokasi penginapan saya di dekat Stasiun Karangasem tak kalah menakjubkannya. Saya menyempatkan diri berhenti tepat di tepi Pantai Watudodol. Pantai ini ditandai dengan patung Penari Gandrung, ya Tari Gandrung merupakan kesenian tradisional Banyuwangi.
Sambil menyaksikan bulan purnama di atas Laut Bali yang luar biasa, saya mengisi perut dengan memesan kuliner Soto Rujak. Ada satu momen yang begitu membekas di ingatan saya, saat si penjual Soto Rujak bercerita bagaimana dia hijrah ke Banyuwangi setelah istrinya meninggal dunia. Sebuah kehilangan yang amat sangat memberinya energi untuk melanjutkan hidup dengan apa yang dia miliki sekarang.
Pagi setelahnya, saya meninggalkan Banyuwangi menggunakan kereta yang saya reservasi menggunakan Tiket.com menuju Surabaya untuk kemudian melanjutkan kepulangan menuju Jakarta menggunakan penerbangan yang juga saya pesan melalui Tiket.com.
ADVERTISEMENT
Solo traveling pertama saya begitu banyak menyisakan kenangan dan pelajaran bagaimana mensyukuri hidup dan belajar dari sebuah kehilangan. Dari sinilah saya memahami bahwa esensi dari perjalanan adalah pulang dengan hati yang baru.
Sebuah pengalaman tak ternilai berani melangkah sendirian ke tempat jauh, menentukan sendiri langkah, ada intuisi yang hidup dan semuanya terbungkus dalam sebuah bingkai perjalanan. Saya meyakini ini bukan pertama dan terakhir solo traveling, di hari mendatang akan selalu ada alasan untuk kembali melakukannya dengan bantuan tiket.com bisa mendapatkan #TiketKemanapun langkah dan intuisi akan menggerakkan saya.