Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Catatan Tentang Lagu "Nothing Else Matters"
2 Mei 2025 10:37 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari arif gumantia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sering kali kita jumpai polarisasi yang terjadi di media sosial semakin hari semakin marak. Dari mulai hal-hal serius tentang politik, kepemimpinan, lingkungan sampai ke hal kuliner sehari-hari, misal : makan bubur ayam, diaduk atau dipisah. Polarisasi ada sejak dulu, tapi menurut saya hal ini makin marak dan meningkat eskalasinya sejak pilpres dipilih secara langsung tahun 2004, dan semakin menguat saat 2014, hingga ada istilah kelompok cebong dan kampret.
ADVERTISEMENT
Hal ini berbarengan dengan mulai adanya media sosial yang algoritmanya mengelompokkan kecenderungan preferensi ( minat, pilihan politik, selera, dll ) dari para pengguna media sosial tersebut. Dan hal ini dijadikan acuan para konsultan politik dan ekonomi untuk membuat branding para kandidat atau produk ekonomi yang ingin dipasarkannya.
Memang secara substansial dan evolusi otak manusia cenderung terdesain untuk merespon situasi pro dan kontra. Ini ada kaitannya dengan cara kerja otak kita dalam memproses informasi dan bertahan hidup.
Secara insting Kognitif, otak kita secara alami suka menyederhanakan dunia menjadi "benar/salah", "baik/buruk", atau "setuju/tidak setuju". Ini disebut "pemikiran dikotomis". Dulu, dalam lingkungan berbahaya, kemampuan cepat membedakan ancaman dan teman sangat penting untuk bertahan hidup.
ADVERTISEMENT
Sedang secara identitas Sosial, manusia adalah makhluk sosial. Kita membentuk identitas berdasarkan kelompok (in-group) dan secara alami cenderung membandingkan atau bahkan berlawanan dengan kelompok lain (out-group). Ini membuat kita rentan terhadap pro-kontra dalam banyak hal, termasuk ideologi, budaya, dan preferensi.
Selain itu dalam otak kita sering melepaskan dopamin (hormon kesenangan) saat kita merasa "benar" atau saat "memenangkan" perdebatan. Ini membuat diskusi atau bahkan konflik ide menjadi sesuatu yang secara emosional "menggiurkan" bagi sebagian orang.
Akan tetapi tentu kalau ini terjadi terus menerus maka akan kontraproduktif dengan perlunya manusia saling bekerja sama untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan bersama. Untuk meminimalkan polarisasi ini, kita harus membuat habitus manusia menjadi individu yang saling menghormati pendapat orang lain, bisa berfikir dengan berbagai sudut pandang, dan punya empati.
ADVERTISEMENT
Menurut Pierre Bourdieu Habitus itu adalah proses internalisasi nilai-nilai yang ada di luar diri ( keluarga, lingkungan masyarakat, sekolah, bacaan, tontonan yang kita lihat, media sosial, dll ) secara konsisten terus menerus dalam jangka yang lama yang akhirnya membentuk karakter manusia. Proses pembentukan karakter ini harus dimulai sejak anak-anak, tidak hanya diberi teori dan dihafalkan, tapi harus dilatih secara praktek sejak dini. Misal : menaati aturan seperti buang sampah, mengikuti rambu lalu lintas, selalu membaca petunjuk, tidak mengambil barang yang bukan miliknya, dan lain-lainnya.
Selain itu juga dilatih "Cognitive Flexibility", kemampuan untuk berpindah perspektif. Misalnya, setiap kali kita punya opini kuat, cobalah bertanya:
"Bagaimana kalau saya salah?"
ADVERTISEMENT
atau
"Apa alasan orang yang tidak setuju dengan saya?"
Ini bisa melatih otak untuk tidak kaku.
Membiasakan mencari sumber yang Beragam
Jangan hanya baca/tonton berita atau konten yang memperkuat pendapat kita. Sadar atau tidak, algoritma internet suka mengurung kita dalam bubble. Secara sengaja cari sudut pandang berbeda, bahkan dari pihak yang mungkin tidak kita setujui.
Melatih empati kognitif,
Coba bayangkan berada di posisi orang lain secara intelektual, bukan hanya emosional. Apa yang mereka lihat, rasakan, pikirkan? Kemudian berlatih menunda reaksi emosional,
Ketika merasa marah, tersinggung, atau tergoda untuk "menyerang balik", latih diri untuk pause sebentar. Emosi sering mempercepat polarisasi. Dengan melatih respon, bukan reaksi, kita jadi lebih objektif.
ADVERTISEMENT
Tentang berfikir dengan berbagai sudut pandang ini, saya jadi teringat lagu dari Metallica, grup heavy metal legendaris yang berjudul "Nothing Else Matters". Dengan iringan gitar Kirk Hammet yang melodius, hentakan drum ciri khas Lars Ulrich dan perpaduan suara gahar James Hetfield, Metallica mengajak kita untuk "open mind for a different view" dan merenungkan bahwa tidak ada kebenaran yang absolut di dunia ini, karena kebenaran baru akan merobohkan kebenaran lama, begitu terus siklusnya hingga segala sesuatu itu pada hakikatnya adalah nothing else matters...
So close, no matter how far
Couldn't be much more from the heart
Forever trusting who we are
And nothing else matters
Never opened myself this way
ADVERTISEMENT
Life is ours, we live it our way
All these words, I don't just say
And nothing else matters
Trust I seek and I find in you
Every day for us something new
Open mind for a different view
And nothing else matters
Arif Gumantia
Ketua Majelis Sastra Madiun