Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.1
3 Ramadhan 1446 HSenin, 03 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Kisah-Kisah Pembunuh Sepi, Tak Ada Akhir yang Bahagia
3 Maret 2025 13:27 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari arif gumantia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pendapat dari Ernest Hemingway bahwa dalam menulis cerpen itu " just write story, don't judge " dalam pengertian berceritalah, jangan menghakimi, sampai sekarang tetap relevan agar cerita pendek ( cerpen ) menjadi memikat saat dibaca. Cerpen yang penulisnya bukan seperti hakim yang menentukan benar, salah, baik, buruk, dan cerpen yang tanpa banyak menggurui. Pengarang lewat cerita yang ditulisnya justru menghujamkan rentetan pertanyaan-pertanyaan yang memaksa pembaca untuk menggali makna yang ada didalamnya, memberikan sebuah ruang yang terbuka untuk kontemplasi pembacanya.
ADVERTISEMENT
Penulis cerpen harus piawai dalam meramu kepadatan, kelugasan, kecermatan, dan deskripsi latar yang tepat . Hal ini agar bisa membuat peristiwa yang tampak biasa menjadi cerpen yang menawan, cerpen yang bisa mengaduk emosi ataupun menyergap pikiran, cerpen-cerpen yang seperti sebuah puisi yang kaya makna. Wina Bojonegoro penulis novel, cerpen, dan puisi dari Surabaya mencoba menggunakan formula-formula tersebut dalam cerpen-cerpennya di buku kumpulan cerpen Kisah-Kisah Pembunuh Sepi.
Dengan berbagai eksperimentasi bentuk dan latar cerita, dari 17 cerpen ( 1 cerpen adalah cerpen berupa tanggapan atas cerpen berjudul waktu, ditulis oleh Metta Mevlana berjudul sumbang ) punya kesamaan yaitu tidak ada akhir yang bahagia ( happy ending ) semua berakhir dengan akhir terbuka ( terbuka terhadap tafsir pembaca ) dan atau akhir yang sedih ( sad ending ).
ADVERTISEMENT
Setelah membaca cerpen-cerpen ini, saya mencoba untuk memberikan catatan-catatan tentang tiga hal yang menarik. Pertama adalah tentang gagasan atau tema yang diambil oleh penulisnya. Di Cerpen Gandhari dan Dusala ( hal. 1 ) dengan latar kisah pewayangan, Wina mencoba mengeksplorasi tentang kesetaraan gender, dalam struktur sosial, sebenarnya di mana posisi perempuan itu? Benarkah perempuan itu harus menerima takdirnya ( termasuk dalam hal ini dijodohkan ) ataukah sebenarnya dia juga punya hak yang sama dengan laki-laki. Kalau dalam Filsafat Jean-Paul Sartre (Eksistensialisme & Kebebasan Radikal),
manusia itu baik laki-laki atau perempuan harusnya bebas menentukan maknanya sendiri, meskipun kebebasan ini juga membawa kecemasan dan kesedihan karena tidak ada "takdir" atau "aturan baku" yang bisa dijadikan pegangan.
ADVERTISEMENT
Pada cerpen Ayah dan Sihir Kata-kata ( Hal. 31) Wina mengangkat tema tentang pencitraan, kemunafikan, dan segala cara yang dilakukan oleh politisi untuk mendapatkan dukungan. Bagaimana politisi melakukan kuasa simbolik ( lewat simbol dan kata-kata ) untuk mengeksploitasi masyarakat dan cilakanya yang dieksploitasi bukan hanya tidak sadar tapi justru dengan senang hati melakukannya.
Tema generation gap ( konflik antar generasi ) ada pada cerpen Jejak ( hal. 58 ), adanya perbedaan view dan value antara generasi X dan generasi Z, dengan cerita perbedaan dalam memberi nama anak, hingga ke selera seni tari, diceritakan dengan historisitas yang menarik, dalam tema kontekstual di saat ini. Gagasan tentang kekuatan massa dalam struktur masyarakat ada pada cerpen Lali Jiwo ( Hal. 86 ), dalam kontruksi cerita tentang desa dengan titik fokus pada buah mangga Lali jiwo, Wina menceritakan bahwa sebuah kelompok massa yang besar bisa merasuk dalam ruang privat sebuah keluarga dan memaksa untuk menebang pohon kesayangan keluarga, mangga Lali Jiwo, sungguh kisah yang menarik.
ADVERTISEMENT
Dalam malaikat yang menyembunyikan sayap, Wina mengangkat tema tentang takdir ( Hal. 155 ). Di cerita ini adanya 2 sosok malaikat Tareq dan Izrael membuat cerita jadi hidup, selain itu bisa membuat pembaca bertanya-tanya tentang misteri takdir, terutama berkaitan dengan kematian.
Catatan yang kedua dari kumcer ini adalah gaya bercerita penulis yang telah lama malang melintang di dunia kepenulisan ini tampak piawai menuliskan cerita dengan gaya mengalir linier, flash back, atau melakukan penggalan-penggalan antar waktu dan tokoh. Wina berhasil membuat cerpen yang “Menjadi” (meminjam istilah Chairil Anwar ), sebuah cerita yang benar-benar pendek, ringkas tidak bertele-tele tapi berhasil mengganggu pembacanya untuk berimajinasi lewat tokoh dan cerita yang diciptakannya, kemudian merenungkan apa isi yang tersirat dalam kisah-kisah pendek tersebut. Cerita- ceritanya menarik untuk dibaca karena ditulis secara cermat, selain kharakter para tokohnya juga latar belakang tempat para tokoh yang diciptakannya berada. Selain itu juga jeli dalam menyelipkan kalimat-kalimat puitis, sinisme, ironi dan bahkan sarkasme pada nuansa kalimat-klaimat yang disusunnya. Dalam gaya penceritaan ini yang juga menarik adalah bagaimana mengakhiri ceritanya atau pada ending cerita.
ADVERTISEMENT
Catatan yang ketiga adalah makna apa yang bisa direnungkan oleh para pembaca setelah membaca cerpen-cerpen ini. Nilai-nilai kehidupan apa yang sebenarnya hendak disampaikan di dalam tiap cerita. Bukan sebagai bagian dari pencarian benar dan salah, tetapi lebih kepada menguak apa yang sebenarnya hendak di sampaikan penulis.
Dalam hal inilah pembaca karya sastra juga dituntut untuk cerdas dalam membaca. Menurut saya, dalam cerpen-cerpen di buku ini, Wina lebih memilih menyampaikan realitas yang ada di kehidupan ini sesuai dengan realitas yang sering ditemuinya dan berjalin kelindan dengan sifat-sifat yang ada pada manusia , sifat yang menjadi dasar dalam tingkah lakunya, dan memberikan konsekuensi-konsekuensi logis yang harus diterima oleh para tokoh yang ada diceritanya dan bagaimana harus menghadapinya.
ADVERTISEMENT
Dari pembacaan saya terhadap tema-tema di kumcer ini sebenarnya ada benang merah yang bisa kita dapatkan, sebagaimana ada dalam filosofi Jawanya Ki Ageng Suryo Mentaraman, yaitu pentingnya pengendalian diri dan keselarasan antara manusia dengan sesama manusia dan alam agar bisa mencapai ketenangan jiwa.
Orhan Pamuk, penulis pemenang nobel dari Turki mengatakan membaca itu ada 3 tingkatan, yang pertama adalah membaca hingga kita larut dengan kisahnya, yang kedua adalah selain kita larut dengan kisahnya, kita juga mengerti apa makna yang tersembunyi dalam kisah kisah tersebut. Dan yang ketiga adalah mencakup dua hal di atas dan ditambah dengan menjadikan apa yang kita baca menjadi inspirasi inspirasi hingga kita bisa menuliskannya dalam bentuk yang lain.
ADVERTISEMENT
Masih banyak tema-tema yang bisa dieksplorasi oleh Wina Bojonegoro, seperti feminisme, kesetaraan, permasalahan-permasalahan urban, ketimpangan sosial, kemiskinan struktural karena sistem yang korup, industrialisasi di desa, dan sebagainya, semoga itu semua ada di karya berikutnya.
Arif Gumantia
Ketua Majelis Sastra Madiun
Judul buku : Kisah-kisah Pembunuh Sepi
Penulis : Wina Bojonegoro
Metta Mevlana
Halaman : X + 174
Cetakan : Pertama, Oktober 2020
Penerbit : Padmedia
Garuda Regency M60
ADVERTISEMENT
Rewwin -Waru -Sidoarjo
Telp : 031-8554004 / 081217237313