Perihal Estetika Dalam Puisi

arif gumantia
Ketua Majelis Sastra Madiun
Konten dari Pengguna
15 Desember 2021 10:16 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari arif gumantia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Salah satu hal yang sering diperbincangkan dan diperdebatkan dalam puisi adalah tentang estetika. Estetika berasal dari bahasa Yunani aisthetikos, yang berarti "keindahan, sensitivitas, kesadaran, berkaitan dengan persepsi sensorik, yang mana merupakan turunan dari aisthanomai, yang berarti "saya melihat, meraba, merasakan. Pertama kali digunakan oleh filsuf Alexander Gottlieb Baumgarten pada 1735 untuk pengertian ilmu tentang hal yang bisa dirasakan lewat perasaan.
ADVERTISEMENT
Dari sinilah timbul pertanyaan, siapakah yang pada awalnya sebuah puisi mempunyai nilai estetika dalam diksi-diksinya ? Pada awalnya tentu yang menentukan adalah para penulis puisi atau penyairnya saat pertama-tama dituliskan di zaman dulu, dan penulisnya pada saat itu adalah filsuf, kaisar, raja, kaum intelektual, dll. Jika kita tinjau dari perspektif Pierre Bourdieu tentang Arena Produksi Kultural, maka dalam hal estetika puisi ini telah terjadi kuasa simbolik. Kuasa simbolik adalah kuasa untuk mengubah dan menciptakan realitas, yakni mengubah dan menciptakannya sebagai sesuatu yang diakui, dikenali, dan juga sah.
Seiring perubahan zaman, terjadilah kontestasi-kontestasi simbolik untuk menentukan puisi yang memenuhi nilai estetika, dan menurut Bourdieu yang menentukan adalah para agen sastra ( sastrawan yang telah terlegitimasi), media massa, penerbit, dan lembaga-lembaga pemberi legitimasi yang sering mengadakan lomba-lomba penulisan puisi, baik lembaga pemerintah maupun non pemerintah.
ADVERTISEMENT
Setelah terjadi kontestasi simbolik ini, dapat kita lihat bahwa pemenangnya menjadikan sebuah kuasa simbolik bahwa estetika itu universal, keindahan yang berlaku untuk semua. Padahal, menurut Arief Budiman, estetika itu sangat tergantung pada konteks ruang dan waktu. Dan menurut saya pernyataan Arief Budiman ini benar; suatu estetika puisi di sebuah daerah yang kental dengan tradisi Melayu, dengan gaya bahasa arkaik Melayu, belum tentu juga bisa dirasakan keindahannya oleh mereka yang berasal dari kebudayaan Jawa.
Atau, puisi-puisi lirisnya Sapardi Djoko Damono misalnya, belum tentu juga terasa keindahannya bagi masyarakat kelas rakyat jelata seperti buruh dan petani. Oleh karena itu estetika itu terikat oleh konteks ruang dan waktu, sekaligus kondisi sosial masyarakatnya. Keindahan pantai Ancol, misalnya dituliskan dalam puisi, belum tentu bisa dinikmati keindahannya sama anak-anak di daerah pegunungan Papua. Begitu pun estetika bisa tergantung konteks waktu, mungkin saja di era medsos ini hal-hal tentang senja bisa marak menjadi estetika, tetapi kita tidak tahu apakah masih tetap menjadi estetika 30 tahun kemudian.
ADVERTISEMENT
Lalu kenapa di dalam puisi kita ini, khususnya puisi-puisi yang marak dipelajari dan akhirnya dituliskan adalah jenis-jenis puisi yang mengusung estetika konsep "humanisme universal", dengan estetika yang seragam? Sebagai pemenang kontestasi tentu karya-karyanya menguasai media massa, festival sastra, pengajaran-pengajaran di pendidikan formal maupun informal tentang sastra. Hal inilah yang menurut Arief Budiman membuat adanya dominasi pemikiran dalam kesusastraan Indonesia. Hal ini mengakibatkan perkembangan sastra Indonesia tidak sehat.
Kuasa simbolik menjalankan dom
foto dari : id.lovepik.com
inasinya melalui doksa sastra universal. Sastra universal menurut Ariel Heryanto adalah sastra yang berasal dari batin, dan bukan dari kehidupan sosial. Menurut Pierre Bourdieu doksa adalah seperangkat kepercayaan fundamental yang bahkan dirasa tidak perlu dieksplisitkan, seakan suatu dogma. Dengan kata lain doksa adalah pandangan penguasa atau yang dominan yang dianggap sebagai pandangan seluruh masyarakat.Pada saat itu doksa yang berlaku adalah seseorang penulis belum dianggap sebagai sastrawan apabila belum mampu mendapat pengakuan dari lembaga, festival, dan penulis senior.
ADVERTISEMENT
Ketika estetika dimonopoli apresiasinya, maka estetika dalam puisi yang diciptakan dari metafora-metafora kondisi sosial masyarakat seperti kemiskinan, penindasan, dan eksploitasi milai-nilai kemanusiaan jarang kita temui dalam puisi-puisi masa kini. Dulu masih bisa kita temukan dalam karya-karya Rendra dan Wiji Thukul.
Selain itu terlihat bahwa sastra universal mendapat "restu" dari pemerintah dengan memberi penghargaan lewat festival-festival, legitimasi-legitimasi spesifik para sastrawannya, dan juga dimasukkan dalam contoh di buku-buku pengajaran sastra di sekolah. Dengan demikian estetika telah menjadi seragam yang bisa dikatakan telah menjadi doktrin, yang mengakibatkan mandeknya kreatifitas karena keseragaman estetika ini.
Dalam kondisi seperti ini harusnya semua konsep tentang estetika tetap diberi porsi yang sama untuk terus tumbuh dan berkembang, agar kreativitas penciptaan puisi lewat estetika metaforanya menjadi kian beragam, baik sastra universal maupun kontekstual. Sehingga bisa menjadikan puisi sesuai dengan artinya yaitu mencipta dan atau menemukan yang signifikan dengan kehidupan, tidak terasing dengan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Arif Gumantia
Ketua Majelis Sastra Madiun