Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Hegemoni Media Sosial
14 September 2017 15:02 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
Tulisan dari Arif Ohang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Peradaban sudah kian tergerus zaman, manusia dimuka bumi ini secara komperehensif dan terpendam mulai meninggalkan hal bersifat konvensional dan beralih ke teknologi digital. Memang zaman sudah berubah menjadi generasi Z. Tebaran isu lewat media sosial mengundang pengaruh signifikan. Contoh saja keberhasilan Rodrigo Duterte yang terpilih menjadi Presiden Filipina ke 16.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan Presiden Duterte berkat topangan sosial media facebook milik Margaux Justiano Uson yang menjadi timses Duterte di Pemilu Filipina. Akun facebook milik Uson memiliki 5 juta lebih pengikut. Informasinya, perkembangan pengguna internet di Filipina mencapai 58% penduduk dan rata-rata mereka menghabiskan 4,17 jam perhari untuk bermedia sosial. Maka wajar bila Uson berkampanye lewat media daring (dalam jaringan) begitu efektif.
Memang dini ini keterpautan politik dan media sosial tak mampu dibendung. Bukan hanya fakta sejumlah pakar, tokoh bahkan Presiden Joko Widodo pun mengakui media sosial punya kekuatan besar dalam mempengaruhi kehidupan bermasyarakat. Sebabnya dia berharap para pegiat media sosial mengarahkan ke nuansa positif seperti naluri optimisme bangsa dalam menghadapi persaingan dengan bangsa lain.
ADVERTISEMENT
Media sosial dipastikan sudah menjadi wadah dalam berbagi informasi dan sebagainya. Pelakunya pun beragam, bahkan tak mengenal usia dan tak cuma di Nusantara, juga di seluruh belahan dunia. Contoh saja, Walikota Palembang Harnojoyo yang menuntut pejabat jajarannya aktif di dunia maya seperti Instagram. Ini bisa dibilang solusi memudahkan komunikasi. Harapannya, pimpinan tak hanya terjebak penerapan nyata saja, juga terbuka di dunia dalam jaringan.
Tapi disisi lain, horornya justru kekuasaan negara menjadi lebih menyusut dan ada kesan berkurang daya kontrolnya. Karena pesan lewat Facebook, Twitter, YouTube, dan Internet telah memunculkan reservoir energi politik yang mengemukakan relasi baru antara teknologi dan kehidupan publik. Teknologi digital ternyata cukup “powerfull” untuk dimanfaatkan dalam pembentukan opini di tengah kelompok masyarakat.
ADVERTISEMENT
Lebih lagi terpaan isu intoleransi antar golongan masyarakat justru meningkat tajam. Seorang peneliti dari Wahid Institute menilai tingkatan itu didasari kian maraknya tebaran kebencian antar golongan lewat sosial media. Ujungnya, level intoleran justru terus meningkat ke status radikal. Masyarakat terendus doktrin-doktrin yang disebar pelaku, imbasnya radikal kian nyata bertahap ke terorisme.
Tahapan-tahapan negatif itu harusnya mampu dinetralisir untuk keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Langkahnya adalah penegakan hukum yang tegas dan konsisten. Masyarakat sedianya butuh tindakan pemerintah dan aparat kemanan untuk menegakkan konstitusi.
Juga perlunya upaya untuk merespon ujaran-ujaran provokasi dengan mekanisme yang sejalan dengan hak asasi manusia dan melakukan pembatasan terhadap situs dan akun yang berisi kebencian.
ADVERTISEMENT
Partisipasi masyarakat juga wajib andil, guna melakukan sesuatu untuk menyelamatkan bangsa dari berbagai upaya pecah belah. Teriak dan mengumandangkan slogan-slogan saja tidak cukup, tetapi pengimplementasian dengan tindakan sesuai profesi masing-masing.
Butuh kontribusi nyata, tidak dengan hal-hal besar, tetapi bersikap arif dan bijaksana terhadap lingkungan sekitar dalam bermedia sosial mengingat yang terjadi di nusantara akhir-akhir ini disebabkan propaganda radikalisme dan intoleransi yang hegemoni di media sosial. Apalagi pengguna media sosial di Indonesia terkenal aktif, tetapi tidak memiliki literasi yang memadai untuk konfirmasi dan verifikasi mengenai kebenaran sebuah informasi.
Maka, itu saja tak usai, lagi-lagi benang merahnya untuk memutus pengembangan isu negatif di media sosial adalah konten. Meski tidak mayoritas pengguna internet percaya dengan isi yang disebar, konten masih tetap unjuk gigi terhadap pengaruh yang muncul. Sebabnya sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berhukum, pemerintah perlu meningkatkan penerapan filterisasi atau kontrolisasi sebagai regulator penyampaian isu ke publik.
ADVERTISEMENT
Harus diakui memang, media sosial atau internet menjadi penguasa pada dini ini. Pangsa penggunanya pun melonjak dan beragam. Perkembangan zaman benar-benar sudah tak terbendung, bahkan sebagian sudah menggantung kehidupannya di internet, wajar bila perkembangan dunia maya semakin pesat. Diharapkan para orangtua benar-benar tekun menjadi pengawas bagi generasinya, jika tidak maka secara memungkinkan akan digenggam dan dikendalikan media sosial.