Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.1
Konten dari Pengguna
AI Bukan Obat Sapu Jagat
23 April 2025 18:04 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Arif Perdana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Akal imitasi (AI) tengah menjadi kata kunci yang menghiasi hampir setiap diskusi teknologi, kebijakan, dan masa depan dunia kerja. Dari ucapan pejabat negara, rapat kabinet, hingga obrolan warung kopi, terminologi ini seolah menjadi mantra sakti yang siap menyelesaikan segala persoalan bangsa. Namun, apakah benar demikian?
ADVERTISEMENT
Dalam euforia revolusi digital, kita menyaksikan bagaimana AI sering dikumandangkan sebagai solusi universal. Para pejabat dengan mudah menyelipkan jargon AI dalam pernyataan publik, seakan teknologi ini mampu menyulap persoalan kemacetan, polusi, kemiskinan, atau korupsi menjadi lenyap secara instan. Pada titik ini, AI tidak lagi dipandang sebagai alat, melainkan obat mujarab yang dapat menyembuhkan segala penyakit sosial.
Tak sedikit kementerian berlomba mencantumkan istilah AI dalam program kerja, bahkan ketika kesiapan data, infrastruktur, dan kompetensi manusia belum memadai. Forum-forum kebijakan pun ramai dengan istilah “machine learning” dan “neural network” yang kerap dilontarkan tanpa pemahaman kontekstual. Yang terjadi adalah simplifikasi berlebihan terhadap masalah yang sejatinya sangat kompleks dan multidimensi.
Sebaliknya, di sisi lain spektrum, muncul kelompok skeptis yang memandang AI sebagai ancaman eksistensial. Kekhawatiran ini makin tajam sejak munculnya AI generatif seperti DALL-E, Midjourney, dan ChatGPT. Narasi bahwa “robot akan mengambil alih pekerjaan manusia” membayangi sektor kreatif. Festival seni mulai menolak karya berbasis AI, dan komunitas seniman menyerukan boikot terhadap penggunaan teknologi tersebut dalam proses artistik. Kekhawatiran ini sering muncul dari pemahaman yang belum utuh, dan cenderung menempatkan AI sebagai entitas otonom yang bertindak tanpa kendali manusia.
ADVERTISEMENT
Padahal dua kutub ini, antara pemuja dan penolak AI, berakar pada kekeliruan yang sama, yaitu ilusi tentang kemampuan AI yang dilebih-lebihkan, atau ketakutan yang dilandasi asumsi salah kaprah. Seperti diungkap di buku AI Snake Oil (2024), istilah “snake oil” merujuk pada teknologi AI yang dipasarkan secara berlebihan tetapi sebenarnya tidak mampu memenuhi klaim-klaimnya. Ada beberapa produk AI yang gagal total saat diterapkan di dunia nyata, misalnya sistem prediksi sepsis dari Epic yang terbukti tak lebih akurat dari melempar koin.
Banyak AI justru memperburuk masalah di institusi yang sudah bermasalah karena hanya mengamplifikasi bias yang ada. Misalnya, alih-alih menyelesaikan ketidakadilan, algoritma perekrutan Amazon (dihentikan 2018) mendiskriminasi wanita karena dilatih dengan resume pria yang lebih dominan, dan sistem penilaian kredit di AS (laporan ProPublica, 2016) memberikan skor rendah pada minoritas meski profil keuangan serupa. AI semacam ini hanya memperdalam ketidakadilan yang sudah tertanam dalam sistem.
ADVERTISEMENT
Memahami AI dengan Kacamata Realistis
Untuk keluar dari jebakan ilusi, kita harus memandang AI secara lebih realistis. Pertama, AI memang sedang mengubah ekosistem kerja dan relasi sosial. Tapi, dampaknya tidaklah seragam. World Economic Forum (2023) memperkirakan bahwa sekitar 23% pekerjaan global akan terdampak disrupsi akibat otomatisasi dan teknologi dalam periode 2023-2027, dengan potensi penurunan bersih 14 juta pekerjaan. Namun, pekerjaan berbasis empati, kreativitas, dan penilaian moral tetap menjadi domain manusia.
AI adalah alat statistik canggih yang mengenali pola berdasarkan data historis. Ia tidak memiliki kesadaran, intuisi, atau nilai. Ia dapat mengolah citra radiologi lebih cepat daripada manusia, tetapi tetap memerlukan dokter untuk memahami kondisi pasien secara menyeluruh. AI dapat menyortir ribuan dokumen hukum, namun tak mampu merumuskan keadilan. Bahkan dalam seni, AI bisa “melukis”, tapi tidak bisa merasakan cinta, kemarahan, atau keindahan secara eksistensial.
ADVERTISEMENT
Penting bagi kita membedakan antara AI generatif, seperti ChatGPT, dengan AI prediktif yang digunakan untuk memutuskan siapa layak menerima kredit, siapa yang mendapat jaminan kesehatan, hingga siapa yang dibebaskan dengan jaminan penjara. Di sinilah masalah serius muncul, yaitu AI prediktif sering kali dipakai untuk mengambil keputusan besar, tanpa transparansi, dan berdasarkan data yang penuh bias.
Perubahan yang dibawa AI bukan hanya soal hilangnya pekerjaan, melainkan soal pergeseran nilai, keterampilan, dan struktur sosial. AI tidak menggantikan manusia secara langsung, melainkan mengubah cara manusia bekerja dan menilai pekerjaan itu sendiri.
Menjawab Tantangan Transformasi Digital
Jika AI bukan obat segalanya, lalu bagaimana kita menghadapinya?
Pertama, literasi digital perlu dipahami secara mendalam. Bukan hanya kemampuan mengoperasikan gawai, tetapi memahami prinsip kerja AI, bias data, dan implikasi etisnya. Pendidikan kita harus melampaui logika hapalan. Kita perlu membekali generasi muda dengan keterampilan berpikir kritis dan analitis agar mereka mampu menilai teknologi dengan tajam, bukan sekadar mengaguminya.
ADVERTISEMENT
Kedua, kita perlu memperkuat keterampilan yang sulit diotomatisasi. Empati, kecerdasan emosional, penalaran etis, kreativitas lintas-disiplin, dan kemampuan kerja sama, semua itu merupakan modal penting untuk menghadapi era digital. Model pembelajaran sepanjang hayat (lifelong learning) perlu diinstitusikan sebagai budaya, bukan sekadar jargon.
Ketiga, dunia usaha dan kebijakan publik perlu beranjak dari euforia menuju desain sistem yang adil dan berkelanjutan. Regulasi harus hadir untuk menjaga keseimbangan antara inovasi dan perlindungan. Perlindungan hak cipta, transparansi algoritma, serta kebijakan reskilling pekerja terdampak bukan lagi wacana, tetapi kebutuhan nyata.
AI kerap dijadikan solusi palsu untuk masalah yang seharusnya ditangani secara struktural. Ketika sebuah sistem sosial gagal, misalnya sistem pendidikan yang tidak adaptif atau sistem hukum yang diskriminatif, AI sering dijadikan pelarian. Padahal, AI jika diterapkan di sistem yang tidak efisien dan adil, hanya akan mengamplifikasi ketidakefisienan dan memperkuat struktur yang sudah tidak adil.
ADVERTISEMENT
Kita bisa belajar dari negara-negara yang telah lebih dahulu menerapkan ekosistem AI secara bertanggung jawab. Finlandia, misalnya, telah mengintegrasikan edukasi AI dalam kurikulum dasar. Singapura melalui SkillsFuture memberikan insentif pelatihan ulang kepada pekerja lintas sektor. Indonesia pun perlu merumuskan strategi nasional yang berpijak pada konteks lokal, bukan hanya meniru presentasi teknologi dari luar negeri.
AI: Refleksi Kemanusiaan di Era Digital
Yang menarik, diskusi tentang AI sesungguhnya membawa kita pada pertanyaan yang lebih filosofis: Apa yang membuat kita manusia? Di tengah gempuran kecanggihan teknologi yang mampu meniru fungsi kognitif manusia, nilai-nilai seperti kasih sayang, kebijaksanaan, dan keadilan justru menjadi semakin relevan.
AI bukan sekadar alat untuk mempercepat proses, tetapi juga cermin yang memperlihatkan kontradiksi sosial kita sendiri. Ia menyoroti kesenjangan digital, bias sosial yang tersembunyi dalam data, dan lemahnya infrastruktur kebijakan. Ia memaksa kita untuk lebih jujur: apakah kita sungguh siap hidup berdampingan dengan teknologi cerdas, atau kita hanya sedang menumpang nama untuk menutupi kegagapan birokrasi dan minimnya imajinasi kebijakan?
ADVERTISEMENT
Kita membutuhkan AI yang berorientasi pada nilai, bukan sekadar fungsi. AI yang memperkuat partisipasi warga, bukan menggantikannya. AI yang mendukung kesejahteraan bersama, bukan memperdalam kesenjangan. Untuk itu, diskusi tentang AI harus melibatkan lebih dari sekadar teknologi dan ekonom, tetapi juga seniman, filsuf, pendidik, dan warga biasa.
Mungkin ironi terbesar dari era digital adalah bahwa semakin canggih teknologi yang kita ciptakan, semakin kita diingatkan akan pentingnya dimensi kemanusiaan. Di saat chatbot dapat menjawab lebih cepat, manusia merindukan percakapan yang tulus. Di saat AI mampu membuat puisi, manusia justru mencari makna yang otentik.
Teknologi terbaik adalah yang tidak menghapus, melainkan memperdalam kemanusiaan kita. AI yang ideal bukanlah yang membuat kita pasif dan bergantung, tetapi yang mendorong kita menjadi lebih aktif, kritis, dan reflektif. Bukan sebagai pengganti, melainkan pelengkap. Bukan sebagai tuhan, melainkan alat.
ADVERTISEMENT
Masalah sebenarnya bukanlah AI itu sendiri, melainkan siapa yang memegang kendali atasnya, dan untuk tujuan apa. AI bisa memperkuat demokrasi dan keadilan, tapi hanya jika masyarakat sipil dilibatkan sejak awal, dan tidak menyerahkan arah masa depan hanya kepada raksasa teknologi. Dalam dunia yang semakin terotomatisasi, menjadi manusia justru menjadi keahlian paling langka dan penting.