Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Barat vs China: Siapa Menang di Medan Teknologi dan Ideologi?
6 Mei 2025 10:51 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Arif Perdana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Bayangkan Anda memiliki mobil tercepat di dunia. Mesinnya menderu, teknologinya mutakhir, tampilannya mencolok. Tapi sang sopir kebingungan, tak tahu arah, tak punya tujuan. Mobil itu hanya akan berputar-putar, atau lebih buruk, menabrak jurang. Inilah metafora yang digunakan Alexander C. Karp dan Nicholas W. Zamiska dalam The Technological Republic: Hard Power, Soft Belief, and the Future of the West untuk menggambarkan krisis mendalam yang tengah melanda dunia Barat.
ADVERTISEMENT
Buku ini bukan sekadar catatan reflektif tentang kemajuan teknologi, tetapi juga kritik tajam terhadap kemunduran nilai dan kepemimpinan di era digital. Karp, pendiri perusahaan intelijen data Palantir, dan Zamiska, mantan jurnalis Wall Street Journal, menyusun narasi yang menggugah: bahwa tanpa keyakinan bersama dan arah yang jelas, semua kecanggihan teknologi Barat tak lebih dari kekuatan yang kehilangan jiwa.
Teknologi Tanpa Jiwa
Silicon Valley pernah menjadi simbol ambisi mulia Amerika Serikat, yaitu pusat inovasi yang lahir dari kolaborasi erat antara pemerintah, militer, dan ilmuwan. Visi besar itu yang melahirkan internet, GPS, bahkan proyek luar angkasa. Tapi kini, pusat teknologi itu terjebak dalam siklus konsumerisme dangkal.
Para insinyur brilian lebih sibuk merancang algoritma media sosial, aplikasi pengiriman makanan, atau sistem periklanan digital daripada teknologi yang menjawab tantangan eksistensial umat manusia: keamanan nasional, perubahan iklim, atau pandemi.
ADVERTISEMENT
Contohnya, raksasa teknologi seperti Google, Amazon, dan Meta menghabiskan miliaran dolar untuk mengembangkan aplikasi berbagi foto, platform iklan, atau game seperti FarmVille dari Zynga, yang sempat bernilai 7 miliar dolar pada 2011 tetapi kini nyaris tidak relevan. Sementara itu, tantangan besar seperti pengembangan senjata berbasis AI, sistem kesehatan berbasis data, atau teknologi untuk keamanan nasional dibiarkan terbengkalai.
Generasi insinyur terbaik, yang seharusnya merancang drone swarm untuk medan perang masa depan atau alat prediksi penempatan bom pinggir jalan seperti yang dilakukan Palantir di Afghanistan, malah disibukkan oleh aplikasi pengiriman makanan atau filter Instagram.
Karp dan Zamiska menyebutnya sebagai “inovasi yang akan dilupakan sebelum dekade ini berakhir.” Generasi jenius hari ini, kata mereka, telah dijauhkan dari cita-cita besar yang pernah memandu para pendahulunya. Dulu, perusahaan seperti Fairchild Camera membangun alat pengintai untuk militer US. Kini, banyak raksasa teknologi justru menghindari kerja sama dengan negara, takut citra buruk atau gugatan publik. Tanpa narasi kolektif, inovasi menjadi dangkal. Kecanggihan berubah jadi pelarian. Teknologi kehilangan jiwa karena tercerabut dari nilai.
ADVERTISEMENT
China: Kecepatan dengan Arah
Sementara Barat kehilangan peta moral, China melaju kencang dengan koordinasi yang mencengangkan. Pemerintah, sektor swasta, dan ideologi negara berjalan seiring dalam ambisi jangka panjang. Buku ini tidak memuji otoritarianisme, tetapi mengakui efisiensinya. Di saat Barat berdebat soal etika pengenalan wajah atau regulasi AI, China membangun sistem pengawasan massal berbasis teknologi canggih melalui perusahaan seperti CloudWalk.
Perusahaan ini menjadi tulang punggung sistem pengawasan massal China dengan teknologi pengenalan wajah. Sistem ini, yang digunakan untuk memantau jutaan warga, menunjukkan bagaimana China tidak hanya meniru teknologi Barat tetapi mulai mendikte arahnya, terutama dalam aplikasi AI untuk keamanan dan kontrol sosial.
China bukan hanya meniru, tetapi sudah mulai mendikte arah masa depan. Presiden Xi Jinping memadukan nasionalisme, teknologi, dan narasi kolektif. Dalam satu generasi, China melompat dari negara manufaktur murah menjadi laboratorium kekuatan digital. Kontras dengan Barat yang terjebak dalam skeptisisme terhadap proyek nasional dan identitas, China justru memanfaatkan keduanya sebagai penggerak utama. Di sinilah letak keunggulan mereka saat ini: kecepatan dengan arah.
ADVERTISEMENT
Sementara Barat terjebak dalam debat tentang privasi, etika AI, atau keberpihakan politik, China bergerak tanpa hambatan. Buku ini mencatat bagaimana perusahaan seperti Huawei dan DJI tidak hanya bersaing di pasar global tetapi juga mendukung agenda nasional China, dari pengembangan 5G hingga drone militer.
Ini kontras dengan Barat, yang menurut penulis, menderita “hollowing out of the American mind”, kehilangan keyakinan pada identitas dan tujuan nasional. China memanfaatkan narasi kolektif yang kuat, seperti kebanggaan atas kebangkitan nasional, untuk mendorong inovasi. Hasilnya adalah kecepatan dengan arah, sesuatu yang saat ini sulit ditandingi Barat.
Krisis Kepemimpinan
Namun, sebagaimana ditunjukkan Karp dan Zamiska, ini bukan hanya persoalan sistem. Ini juga soal siapa yang memimpinnya. Barat, meskipun demokratis, kini dikuasai oleh pemimpin yang lebih nyaman menjadi manajer daripada negarawan. Mereka menghindari risiko, takut kontroversi, dan cenderung tunduk pada tekanan media sosial.
ADVERTISEMENT
Kepemimpinan semacam itu tidak cukup di zaman yang penuh ketidakpastian. Dunia tidak butuh “manajer yang disukai,” tapi pemimpin yang berani berkata: ini jalan yang akan kita ambil. Bahkan jika jalan itu penuh tantangan.
Penulis mengutip sindiran John Mulaney: “Likability is a jail.” Upaya untuk terus disukai justru membelenggu visi. Dan ini berlaku bukan hanya untuk politisi, tapi juga pemimpin teknologi. Banyak CEO raksasa digital bersikeras bahwa teknologi mereka netral. Padahal, setiap algoritma membawa konsekuensi moral dan politik.
Sebaliknya, pemimpin-pemimpin seperti Lee Kuan Yew, yang disebut dalam buku ini, menjadi contoh keberanian teknokratis. Ia tidak hanya membangun sistem yang efisien, tetapi juga memandu bangsanya dengan arah dan visi jangka panjang. Inilah tipe kepemimpinan yang dibutuhkan dunia Barat hari ini.
ADVERTISEMENT
Geopolitik: Pertarungan Sistem dan Makna
Geopolitik dunia juga berubah. Kini bukan lagi tentang wilayah atau perjanjian dagang, tetapi pertarungan ideologi. China menawarkan model stabilitas melalui kendali terpusat, narasi nasionalisme, dan teknologi sebagai alat ketertiban. Banyak negara, terutama di Global South, mulai melirik model ini sebagai alternatif terhadap kekacauan demokrasi liberal.
Barat masih unggul dalam militer dan ekonomi, tapi mulai goyah dalam hal yang paling penting: makna. Soft power yang dulu menjadi senjata utama, nilai kebebasan, demokrasi, hak asasi, perlahan pudar. Bahkan universitas-universitas besar di AS kini enggan mengajarkan sejarah peradaban Barat, takut dituduh elitis atau tidak inklusif. Dalam semangat dekonstruksi, mereka justru menghancurkan pilar yang membuat Barat pernah unggul.
Menurut buku ini, ketika Barat sendiri tak lagi percaya pada identitas dan nilai-nilainya, bagaimana mungkin ia bisa meyakinkan dunia untuk ikut percaya?
ADVERTISEMENT
Masa Depan: Teknologi dan Keyakinan
Karp dan Zamiska tidak menawarkan resep instan. Tapi mereka memberi satu kesimpulan tegas: masa depan akan dimenangkan oleh mereka yang bisa menyatukan teknologi canggih dengan keyakinan yang jelas. Ini bukan soal siapa yang paling pintar, tetapi siapa yang paling yakin dengan jalan yang mereka pilih.
Barat perlu bangun dari kelengahan. Kolaborasi antara negara dan sektor teknologi harus dipulihkan. Silicon Valley harus berhenti berpura-pura netral. Negara-negara demokrasi harus kembali berani percaya pada diri mereka sendiri, bukan dengan meniru otoritarianisme, tapi dengan merevitalisasi nilai-nilai yang membuat mereka kuat sejak awal: kebebasan, solidaritas, dan tanggung jawab bersama.
Sementara itu, China juga tak kebal dari tantangan. Sistem yang terlalu tertutup bisa menghambat inovasi jangka panjang. Tanpa ruang untuk dissent, kreativitas akan melambat. Namun, untuk saat ini, mereka punya arah.
ADVERTISEMENT
Arah atau Arah-Arahan
The Technological Republic adalah alarm yang dibunyikan di tengah kegaduhan dunia digital. Bukan karena teknologi terlalu cepat, tapi karena kompas moral kita terlalu lambat. Ini adalah ajakan untuk berhenti sejenak, menengok peta, dan bertanya: ke mana sebenarnya kita melaju?
Karena pada akhirnya, seperti diingatkan buku ini, teknologi hanyalah kendaraan. Yang paling menentukan bukan seberapa cepat ia melaju, tapi apakah sang pengemudi tahu arah yang ingin dituju.