Konten dari Pengguna

Dari Desa ke Dunia Digital: Ketika Fintech Jadi Jembatan Inklusi

Arif Perdana
Arif adalah Dosen Digital Strategy & Data Science di Monash University. Dia memiliki pengalaman akademis, industri, dan konsultansi di berbagai negara.
13 Mei 2025 19:19 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arif Perdana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Keuangan Digital. Gambar dibuat dengan ChatGPT 4o
zoom-in-whitePerbesar
Keuangan Digital. Gambar dibuat dengan ChatGPT 4o
ADVERTISEMENT
Transformasi sektor keuangan dan perbankan kini tak bisa dilepaskan dari peran fintech. Dengan menggabungkan teknologi canggih seperti akal imitasi (AI), pemelajaran mesin (machine learning), blockchain, dan Internet of Things (IoT), perusahaan fintech menciptakan model bisnis baru yang lebih adaptif dan efisien. Fokus utamanya adalah menyempurnakan pengalaman pengguna sekaligus menciptakan ruang eksplorasi bagi inovasi digital. Disrupsi fintech mengubah proses keuangan tradisional, mengotomatisasi layanan, mendigitalisasi alur kerja, dan mendekatkan layanan ke konsumen. Tak heran, kehadiran fintech kini semakin terasa di berbagai lapisan masyarakat dan sektor produk.
ADVERTISEMENT
Lebih dari sekadar efisiensi, fintech membuka jalan bagi kelompok-kelompok yang selama ini tersisih dari sistem keuangan konvensional. Di banyak wilayah pedesaan dan komunitas marjinal, lembaga keuangan tradisional kerap absen. Fintech mengisi kekosongan itu dengan menjangkau mereka yang selama ini luput dari perhatian sistem. Layanan keuangan digital juga membantu memperluas peran perempuan dalam aktivitas ekonomi, serta memberikan napas baru bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Secara lebih luas, transformasi ini berkontribusi pada upaya pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang dicanangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Peluang Inklusi Lewat Fintech
Salah satu prasyarat utama agar fintech dapat tumbuh dan memperluas inklusi keuangan adalah digitalisasi identitas penduduk. Identitas digital memungkinkan setiap individu melakukan otentikasi dalam berbagai layanan daring, baik dari lembaga publik maupun swasta. Contohnya, India memperkenalkan sistem identitas biometrik Aadhaar pada 2009. Sistem ini memperkuat proses know your customer (KYC), memperluas akses keuangan, serta memperkuat langkah-langkah antipencucian uang.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) memulai digitalisasi sistem pada 2010–2011 dengan peluncuran KTP elektronik (e-KTP). Teknologi biometrik digunakan untuk mencegah duplikasi identitas dan meningkatkan akurasi data. Bagi banyak warga yang sebelumnya tidak terhubung dengan layanan keuangan, e-KTP menjadi pintu masuk utama ke dunia perbankan dan fintech.
Identitas digital ini menjadi kunci pendaftaran layanan fintech seperti dompet elektronik atau pinjaman mikro. Ditambah dengan penetrasi ponsel yang tinggi, kelompok yang sebelumnya tidak memiliki rekening bank (unbanked) kini lebih mudah mengakses layanan keuangan. Teknologi seluler pun menjadi tulang punggung bagi transaksi mikro di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah.
Pemerintah Indonesia, misalnya, meluncurkan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) pada 2019 untuk memfasilitasi pembayaran digital yang lebih inklusif. Hingga akhir 2024, menurut data Bank Indonesia, pengguna QRIS telah mencapai 54.1 juta jiwa, naik hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Selain mempermudah transaksi, QRIS juga meningkatkan efisiensi fiskal, mempercepat inklusi keuangan, dan membantu menekan risiko penularan COVID-19.
ADVERTISEMENT
Di Taiwan, adopsi teknologi pembayaran digital juga menunjukkan bagaimana pengalaman pengguna dapat ditingkatkan melalui layanan yang dipersonalisasi. Dua contohnya adalah Easy Card dan iPASS LINE Pay Money. Easy Card memanfaatkan chip pintar dan teknologi Near Field Communication (NFC) untuk menghadirkan layanan lintas wilayah. Sementara iPASS LINE Pay Money menawarkan e-wallet yang memberi pengalaman pengguna yang lebih personal melalui penawaran khusus dan sistem loyalitas berbasis data.
Fintech juga membawa peluang baru bagi pelaku usaha kecil. Platform pembiayaan daring menawarkan alternatif pinjaman modal kerja yang lebih cepat dan transparan dibandingkan bank konvensional. Teknologi AI digunakan untuk memperkirakan kelayakan kredit dengan data non-tradisional, termasuk data psikometrik. Sistem algoritmik memungkinkan penilaian risiko yang lebih tepat, termasuk tingkat persetujuan, risiko gagal bayar, dan potensi penolakan yang keliru.
ADVERTISEMENT
Tantangan yang Harus Diantisipasi
Di Asia Tenggara, permintaan akan inklusi keuangan terus tumbuh, termasuk di negara seperti Indonesia, Kamboja, Filipina, Laos, dan Vietnam. Iklim ini memberikan ruang subur bagi pertumbuhan fintech. Namun, integrasi fintech dalam ekosistem keuangan nasional tidak bisa dilakukan secara gegabah. Kolaborasi antara sektor perbankan dan penyedia layanan fintech menjadi syarat mutlak.
Penggunaan teknologi dalam layanan keuangan menyimpan tantangan tersendiri. Salah satu isu utama adalah pengelolaan data. Data adalah bahan bakar utama bagi sistem AI, tetapi jika dikelola secara serampangan, justru bisa menjadi beban. Perusahaan harus memperhatikan siklus data secara menyeluruh, dari pengumpulan, penyimpanan, keamanan, hingga penghapusan.
Masalah etika juga patut menjadi perhatian. Penggunaan sistem algoritmik yang tidak transparan atau bias dapat berujung pada pelanggaran privasi, diskriminasi digital, dan bahkan mengecualikan kelompok tertentu dari akses layanan keuangan. Jika tidak ditangani dengan tepat, inklusi bisa berubah menjadi eksklusi.
ADVERTISEMENT
Upaya mitigasi risiko ini dapat ditempuh lewat pendekatan teknis maupun non-teknis. Secara teknis, perusahaan perlu memastikan sistem algoritmik yang digunakan bebas dari bias, dapat dijelaskan (explainable), dan terbuka untuk audit. Sementara secara non-teknis, diperlukan kerangka regulasi yang responsif terhadap perkembangan teknologi. Perusahaan penyedia layanan fintech perlu menetapkan kebijakan internal yang kuat, dan pemerintah bersama pemangku kepentingan lainnya harus aktif menyesuaikan aturan dengan inovasi yang berkembang.
Meski banyak kemajuan telah dicapai, hambatan lain seperti rendahnya literasi keuangan, ketidakpercayaan terhadap teknologi, dan kekhawatiran soal biaya, masih menjadi tantangan dalam perluasan inklusi keuangan melalui fintech. Di sinilah peran edukasi, transparansi, dan keberpihakan terhadap kelompok rentan menjadi krusial. Tanpa hal-hal tersebut, inklusi keuangan digital hanya akan menjadi slogan kosong di tengah derasnya arus transformasi teknologi.
ADVERTISEMENT