Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Ilusi Kemajuan Ilmiah di Era AI?
2 Mei 2025 14:15 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Arif Perdana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Akal Imitasi (AI) telah merevolusi cara ilmu pengetahuan diproduksi. Dari curah pendapat hingga penganalisisan data, AI mampu mempercepat proses penelitian. Namun, pertanyaan yang lebih mendasar adalah: apakah peningkatan kecepatan produksi penelitian ini benar-benar mempercepat kemajuan ilmiah? Jika ditelusuri lebih dalam, ada indikasi kuat bahwa kita sedang mengalami paradoks di mana semakin banyak publikasi yang dihasilkan, semakin lambat laju penemuan yang benar-benar memiliki dampak besar. AI bukan hanya mempercepat produksi ilmu pengetahuan, tetapi juga menyoroti masalah mendasar dalam sistem akademik yang semakin terjebak dalam metrik produktivitas berbasis kuantitas.
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa dekade terakhir, jumlah publikasi ilmiah telah meningkat secara eksponensial. Namun, studi dalam bidang science of science menunjukkan bahwa pertumbuhan ini tidak berbanding lurus dengan peningkatan inovasi atau penemuan revolusioner. Jika dibandingkan dengan era sebelumnya, misalnya abad ke-20 yang melahirkan teori relativitas, revolusi komputasi, hingga penemuan DNA, perkembangan mutakhir tampak lebih bersifat inkremental dibandingkan transformatif.
Ini mengarah pada dugaan bahwa produksi akademik telah mengalami inflasi pengetahuan, di mana semakin banyak informasi yang dihasilkan, tetapi kontribusinya terhadap kemajuan ilmu tidak signifikan. AI, dengan kemampuannya dalam membantu analisis data, hanya mempercepat fenomena ini tanpa memberikan jaminan terhadap kualitas atau dampaknya dalam ranah nyata.
Salah satu alasan utama mengapa fenomena ini terjadi adalah sistem akademik yang menempatkan publikasi sebagai mata uang utama bagi keberhasilan seorang peneliti. Dalam dunia akademik modern, jumlah publikasi menjadi tolok ukur utama dalam mendapatkan pendanaan, promosi jabatan, hingga reputasi ilmiah. Akibatnya, fokus utama akademisi bukan lagi pada eksplorasi intelektual yang mendalam, melainkan pada memenuhi standar kuantitatif yang ditetapkan oleh institusi dan jurnal ilmiah. AI semakin mempercepat tren ini dengan menyediakan alat otomatisasi. Namun, jika semua ilmuwan memiliki akses ke alat yang sama, maka kompetisi bukan lagi terletak pada kecerdasan atau kreativitas, melainkan pada kecepatan produksi.
ADVERTISEMENT
Implikasi dari fenomena ini adalah semakin banyaknya publikasi dengan nilai akademik rendah yang hanya berfungsi sebagai "pengisi ruang" dalam sistem akademik. Fenomena seperti salami slicing, di mana satu penelitian yang seharusnya bisa diterbitkan dalam satu makalah utuh malah dipecah menjadi beberapa publikasi kecil demi meningkatkan jumlah publikasi, semakin marak terjadi. Ini bukan hanya menciptakan beban tambahan bagi komunitas ilmiah dalam memilah informasi yang benar-benar bernilai, tetapi juga membuat pencarian literatur semakin sulit. AI, yang awalnya diharapkan bisa membantu menyaring informasi, justru berisiko menjadi bagian dari masalah dengan memperbanyak produksi makalah yang secara substansial tidak membawa nilai tambah.
Batasan AI dan Krisis Sistem Akademik
Meskipun AI mampu mempercepat banyak aspek dalam penelitian, ada batasan fundamental yang sulit ditembus. Dalam banyak disiplin ilmu, sains tidak hanya tentang pemrosesan informasi, tetapi juga tentang eksperimen di dunia nyata. Ilmu kedokteran, misalnya, tetap membutuhkan uji klinis yang kompleks dan panjang untuk menguji efektivitas suatu obat. Ilmu lingkungan memerlukan observasi langsung terhadap ekosistem, sementara bidang teknik dan sains material mengandalkan eksperimen fisik untuk menguji ketahanan suatu inovasi. AI mungkin dapat membantu dalam aspek teroris atau simulasi, tetapi eksperimen di dunia nyata tetap menjadi hambatan besar dalam percepatan ilmiah.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, AI juga dapat menjadi katalis dalam merombak sistem akademik yang sudah lama dianggap "bermasalah." Pada titik tertentu, akademisi dan institusi perlu mendefinisikan ulang cara menilai kontribusi ilmiah seorang ilmuwan. Kita mungkin perlu beralih dari sekadar menghitung jumlah publikasi menjadi mengukur dampak nyata dari sebuah penelitian.
Pendekatan baru ini bisa mencakup beberapa aspek. Pertama, kita harus mulai menilai penelitian berdasarkan dampaknya terhadap masyarakat dan dunia industri, bukan sekadar jumlah sitasi. Apakah penelitian tersebut benar-benar menghasilkan inovasi yang diterapkan di dunia nyata? Apakah ia berkontribusi dalam kebijakan publik, solusi industri, atau perbaikan sosial?
Kedua, akademisi perlu didorong untuk berkolaborasi lintas disiplin, karena tantangan besar di era modern sering kali membutuhkan pendekatan multidimensional. Penelitian yang menghubungkan berbagai bidang ilmu akan memiliki nilai lebih dibandingkan dengan penelitian yang hanya memperdalam satu aspek kecil dari suatu bidang.
ADVERTISEMENT
Ketiga, keterbukaan akses terhadap ilmu pengetahuan harus semakin ditingkatkan. Saat ini, banyak penelitian hanya dapat diakses oleh segelintir orang yang memiliki keanggotaan di jurnal-jurnal berbayar, sehingga manfaatnya terbatas. Dengan memprioritaskan publikasi terbuka (open-access), ilmu pengetahuan bisa menjadi lebih inklusif dan bermanfaat bagi lebih banyak orang, termasuk praktisi di dunia nyata yang dapat mengimplementasikan hasil riset secara langsung.
Terakhir, penting bagi dunia akademik untuk mengubah paradigma tentang bagaimana mereka memandang produktivitas ilmiah. Saat ini, banyak akademisi terjebak dalam tekanan untuk terus menerbitkan penelitian, tanpa ada insentif nyata untuk fokus pada penelitian yang benar-benar berdampak jangka panjang. Jika AI semakin mempercepat produksi makalah tanpa meningkatkan kualitasnya, maka sistem akademik harus menemukan cara untuk menilai kontribusi berdasarkan kualitas pemikiran, bukan sekadar jumlah publikasi.
ADVERTISEMENT
Ironisnya, AI mungkin akan berperan dalam menghancurkan sistem akademik berbasis kuantitas ini sebelum benar-benar bisa mempercepat inovasi. Dengan semakin majunya kemampuan AI dalam menulis makalah yang sulit dibedakan dari karya manusia, kita mungkin akan dipaksa untuk mengevaluasi kembali standar ilmiah yang selama ini kita anut. Jika kita tidak ingin terjebak dalam dunia di mana publikasi menjadi sekadar formalitas tanpa makna, maka kita harus mulai memikirkan metrik baru yang benar-benar bisa mencerminkan nilai intelektual dalam ilmu pengetahuan.
Kesimpulannya, AI bukanlah solusi instan untuk mempercepat kemajuan ilmiah, tetapi lebih merupakan cermin yang memperlihatkan kelemahan sistem akademik kita saat ini. Jika kita tidak segera beradaptasi, AI hanya akan mempercepat produksi tanpa meningkatkan nilai inovasi. Namun, di sisi lain, AI juga bisa menjadi pemicu bagi revolusi dalam cara kita memahami dan menilai ilmu pengetahuan. Pergeseran dari paradigma "jumlah publikasi" ke "dampak nyata" akan menjadi tantangan besar bagi komunitas akademik di masa depan.
ADVERTISEMENT