Konten dari Pengguna
Mengembalikan Kedaulatan Data di Era Algoritma
18 Mei 2025 9:04 WIB
·
waktu baca 6 menit
Kiriman Pengguna
Mengembalikan Kedaulatan Data di Era Algoritma
Feudalisme digital mengancam kedaulatan data. Artikel ini mengulas kapitalisme pengawasan dan solusi demokratis untuk mengembalikan kendali atas data pribadi kita di era algoritma.Arif Perdana
Tulisan dari Arif Perdana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Setiap ketukan jari di layar ponsel, setiap penelusuran di mesin pencari, bahkan setiap langkah yang terekam di aplikasi kebugaran, tanpa kita sadari telah merajut sebuah tapestri digital yang rumit. Di balik kemudahan dan kenyamanan yang ditawarkan teknologi modern, tersembunyi sebuah sistem feodal baru yang menjadikan data pribadi kita sebagai "lahan" yang diperebutkan. Kita, para pengguna teknologi, tanpa sadar telah menjadi "petani digital" yang menggarap lahan-lahan virtual, menghasilkan panen data yang melimpah bagi para "tuan tanah" teknologi raksasa. Inilah wajah baru kapitalisme di era digital yang kini mengepung kita dari segala penjuru.
ADVERTISEMENT
Bagaimana Data Menjadi Mata Uang Baru
Perjalanan menuju feudalisme digital dimulai dari apa yang disebut Shoshana Zuboff sebagai "kapitalisme pengawasan". Pada awal milenium baru, perusahaan-perusahaan teknologi seperti Google menemukan potensi besar dalam mengolah "sisa-sisa data" pengguna untuk memprediksi perilaku konsumen. Penemuan ini membuka pintu bagi terciptanya pasar prediksi yang sangat menguntungkan, mengubah lanskap ekonomi digital secara fundamental.
Namun, seiring waktu, model ini berevolusi menjadi sesuatu yang jauh lebih invasif dan menguasai. Krisis kesehatan global akibat pandemi COVID-19 menjadi katalis yang mempercepat peleburan kehidupan nyata dan virtual, memaksa digitalisasi hampir seluruh aspek kehidupan sosial dan pekerjaan kita. Dalam sekejap, kita menemukan diri kita terjebak dalam jaringan platform digital yang saling terhubung, di mana setiap interaksi kita direkam, dianalisis, dan dimonetisasi.
ADVERTISEMENT
Dalam lanskap baru ini, perusahaan teknologi besar tidak lagi sekadar mengawasi, tetapi telah menciptakan "kerajaan digital" yang mencakup hampir seluruh aktivitas manusia modern. Dari komunikasi hingga transportasi, dari hiburan hingga kesehatan, hampir tidak ada aspek kehidupan yang luput dari jangkauan mereka. Kita, para penggunanya, telah bermetamorfosis menjadi "hamba digital" yang menghasilkan aliran data konstan melalui setiap gerakan dan aktivitas dalam platform-platform ini.
Inilah esensi dari feudalisme digital - sebuah sistem di mana kekuasaan ekonomi dan politik terkonsentrasi di tangan segelintir perusahaan teknologi raksasa yang menguasai infrastruktur digital kita. Mereka tidak hanya mengontrol arus informasi, tetapi juga memiliki kemampuan untuk membentuk persepsi, mempengaruhi keputusan, dan bahkan memanipulasi perilaku masyarakat luas.
Dalam sistem feodal digital ini, perusahaan teknologi besar menggunakan mekanisme canggih untuk mengekstraksi nilai dari data pribadi kita. Mereka mengembangkan algoritma yang mampu menganalisis pola perilaku, preferensi, bahkan emosi kita dengan tingkat akurasi yang mencengangkan. Data ini kemudian digunakan untuk membuat prediksi yang sangat bernilai bagi pengiklan dan pihak-pihak lain yang tertarik untuk mempengaruhi perilaku kita.
ADVERTISEMENT
Yang lebih mengkhawatirkan, perusahaan-perusahaan ini kemudian mengklaim kepemilikan atas data yang mereka kumpulkan, seolah-olah itu adalah hasil panen dari lahan mereka sendiri. Padahal, data tersebut adalah cerminan dari kehidupan pribadi dan pengalaman kita sehari-hari. Ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang kepemilikan data dan hak individu atas informasi pribadinya.
Praktik ini menimbulkan kekhawatiran etis yang mendalam. Apakah adil dan etis untuk mengkomodifikasi perilaku dan pengalaman pribadi manusia? Bagaimana dengan hak privasi dan otonomi individu? Lebih jauh lagi, manipulasi perilaku berbasis data ini berpotensi mengancam proses demokrasi dan kebebasan berpikir kita. Kita mungkin merasa bebas, tetapi pilihan-pilihan kita semakin dibentuk oleh algoritma yang tak terlihat, menciptakan ilusi pilihan sambil diam-diam mengarahkan kita ke arah tertentu.
ADVERTISEMENT
Membangun Masa Depan Digital yang Demokratis
Meski Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi merupakan langkah penting, kita memerlukan pendekatan yang jauh lebih komprehensif dan berani untuk menghadapi tantangan feudalisme digital. Pertama, kita perlu mempertimbangkan pembentukan badan pengawas independen yang khusus menangani isu-isu terkait data dan kecerdasan buatan. Badan ini harus memiliki kewenangan untuk memeriksa algoritma dan praktik pengolahan data perusahaan teknologi besar, serta kemampuan untuk menjatuhkan sanksi yang berarti jika terjadi pelanggaran.
Kedua, kita perlu mendorong pengembangan infrastruktur digital alternatif yang lebih terbuka dan demokratis. Ini bisa termasuk platform media sosial berbasis komunitas atau sistem penyimpanan data terdesentralisasi yang memberikan kontrol lebih besar kepada pengguna. Inisiatif semacam ini bisa membantu menciptakan ekosistem digital yang lebih beragam dan mengurangi ketergantungan kita pada segelintir perusahaan besar.
ADVERTISEMENT
Ketiga, perlu ada investasi besar-besaran dalam literasi digital dan kritis di semua tingkat pendidikan. Masyarakat perlu memahami cara kerja teknologi digital dan implikasinya agar dapat membuat keputusan yang lebih informasi tentang penggunaan teknologi. Ini termasuk pemahaman tentang bagaimana data mereka dikumpulkan dan digunakan, serta dampak potensial dari algoritma pada kehidupan mereka.
Keempat, kita perlu mempertimbangkan kebijakan yang mendorong "pembagian keuntungan data" di mana perusahaan yang mengambil untung dari data pengguna wajib membagikan sebagian keuntungannya kembali ke masyarakat. Ini bisa dalam bentuk dana inovasi sosial, dividen universal, atau investasi dalam infrastruktur publik. Kebijakan semacam ini bisa membantu mendistribusikan kembali sebagian dari kekayaan yang dihasilkan oleh ekonomi data.
Untuk memastikan perkembangan akal imitasi (AI) dan penggunaan data yang etis, kita perlu mengembangkan kerangka kerja yang berpusat pada manusia. Prinsip utamanya harus mencakup transparansi, persetujuan yang bermakna, dan kendali pengguna yang substansial.
ADVERTISEMENT
Transparansi berarti perusahaan harus menjelaskan dengan bahasa yang mudah dipahami bagaimana mereka mengumpulkan, mengolah, dan menggunakan data. Mereka juga harus membuka algoritma mereka untuk audit independen. Ini akan membantu menciptakan akuntabilitas dan memungkinkan masyarakat untuk memahami bagaimana keputusan yang mempengaruhi mereka dibuat.
Persetujuan yang bermakna melibatkan lebih dari sekadar mencentang kotak persetujuan. Pengguna harus diberi pemahaman yang jelas tentang implikasi dari berbagi data mereka dan pilihan yang nyata untuk menolak tanpa kehilangan akses ke layanan penting. Ini mungkin memerlukan perubahan dalam model bisnis beberapa perusahaan, tetapi ini penting untuk memastikan bahwa individu memiliki kontrol yang sebenarnya atas data mereka.
Kendali pengguna berarti memberikan alat yang mudah digunakan bagi individu untuk mengelola data mereka, termasuk hak untuk menghapus data atau membatasi penggunaannya. Ini juga bisa mencakup opsi untuk menggunakan layanan tanpa pelacakan atau personalisasi. Perusahaan harus menghormati pilihan pengguna dan tidak menghukum mereka yang memilih untuk membatasi pengumpulan data.
ADVERTISEMENT
Kerangka ini juga harus mencakup prinsip keadilan algoritmik, memastikan bahwa sistem AI tidak memperkuat bias atau diskriminasi yang ada. Ini memerlukan pengawasan ketat terhadap data pelatihan yang digunakan untuk mengembangkan sistem AI dan evaluasi berkelanjutan terhadap dampak sistem tersebut.
Menghadapi tantangan feudalisme digital bukanlah tugas yang mudah. Ini membutuhkan kerjasama antara pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta. Ini juga memerlukan kesadaran dan partisipasi aktif dari setiap warga digital. Namun, ini adalah perjuangan yang harus kita menangkan.
Masa depan kita bergantung pada kemampuan kita untuk mengendalikan narasi digital kita sendiri, untuk memastikan bahwa teknologi melayani kepentingan bersama, bukan sebaliknya. Dengan langkah-langkah yang tepat, kita dapat mengubah lanskap digital dari sistem feodal menjadi ruang yang benar-benar demokratis dan memberdayakan. Inilah saatnya untuk mengambil kembali kendali atas data kita, atas narasi kita, dan pada akhirnya, atas masa depan kita sendiri di era digital.
ADVERTISEMENT

