Konten dari Pengguna

Perlu Pendekatan Baru Untuk Menilai Karya Pelajar di Era AI

Arif Perdana
Arif adalah Dosen Digital Strategy & Data Science di Monash University. Dia memiliki pengalaman akademis, industri, dan konsultansi di berbagai negara.
29 Oktober 2024 10:16 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arif Perdana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
AI detector. Gambar dihasilkan oleh Bing Image Creator
zoom-in-whitePerbesar
AI detector. Gambar dihasilkan oleh Bing Image Creator
ADVERTISEMENT
Penggunaan kecerdasan artifisial (AI) yang semakin meluas di kalangan pelajar, terutama dalam bentuk AI generatif, telah memunculkan berbagai isu etika yang perlu kita perhatikan dengan seksama. Salah satu contoh yang paling mencolok adalah penggunaan AI untuk membantu menulis esai, mengembangkan kode pemrograman atau mengerjakan tugas akademik lainnya.
ADVERTISEMENT
Perangkat seperti GitHub Copilot, ChatGPT, atau Claude.ai kini dapat menghasilkan kode pemrograman yang kompleks berdasarkan deskripsi tugas yang diberikan. Meskipun teknologi ini menawarkan potensi untuk meningkatkan produktivitas dan kreativitas, ia juga menimbulkan pertanyaan serius tentang integritas akademik dan kemandirian intelektual pelajar, baik dalam penulisan narasi maupun pemrograman.
Ketika alat pendeteksi AI menciptakan lebih banyak mudharat alih-alih manfaat
Sebagai respon terhadap fenomena ini, banyak institusi pendidikan telah beralih ke penggunaan AI detector, yaitu perangkat lunak yang dirancang untuk mengidentifikasi konten yang dihasilkan oleh AI. Namun, pertanyaan krusial yang muncul adalah: Dapat dipercayakah alat-alat pendeteksi ini? Jawaban atas pertanyaan ini ternyata tidak sesederhana yang kita bayangkan.
Sejumlah penelitian dan laporan menunjukkan bahwa AI detector seringkali tidak akurat dan cenderung menghasilkan hasil positif palsu. Ini berarti bahwa sistem tersebut salah mengidentifikasi tulisan yang sebenarnya dibuat oleh manusia sebagai hasil karya AI. Akibatnya, pelajar yang tidak bersalah bisa saja dituduh melakukan kecurangan akademik, padahal mereka telah menulis karya mereka sendiri dengan jujur. Situasi ini tidak hanya menciptakan ketidakadilan, tetapi juga dapat merusak kepercayaan antara pendidik dan peserta didik, serta menimbulkan stres dan kecemasan yang tidak perlu di kalangan pelajar.
ADVERTISEMENT
Contoh konkret dari masalah ini dapat dilihat dalam kasus Lucy Goetz, seorang pelajar sekolah menengah di California. Esai asli Goetz yang mendapatkan nilai tertinggi, secara mengejutkan ditandai oleh perangkat lunak deteksi AI Turnitin sebagai “100% dihasilkan oleh AI”. Kasus serupa terjadi pada William Quarterman, seorang mahasiswa tingkat akhir di University of California, Davis, yang dituduh menggunakan AI untuk ujian tengah semesternya berdasarkan hasil dari perangkat lunak GPTZero. Kedua kasus ini menggambarkan betapa berbahayanya ketergantungan yang berlebihan pada AI detector tanpa pertimbangan dan pemeriksaan lebih lanjut.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi, bukti-bukti menunjukkan bahwa bahkan para pakar bahasa pun kesulitan untuk membedakan antara konten yang dihasilkan oleh AI dan yang ditulis oleh manusia. Ini menggambarkan betapa canggihnya AI generatif saat ini, sekaligus menyoroti keterbatasan kemampuan manusia dan mesin dalam mendeteksi penggunaan AI.
ADVERTISEMENT
Menghadapi realitas ini, beberapa institusi pendidikan telah mulai mengambil sikap hati-hati terhadap penggunaan AI detector. University of Michigan-Dearborn, misalnya, mengungkapkan kekhawatirannya tentang bagaimana hasil positif palsu dapat menyebabkan investigasi integritas akademik yang tidak berdasar.
Strategi inovatif untuk pengajar dan institusi dalam menilai karya pelajar.
Lantas, apa yang perlu dilakukan oleh pengajar untuk memastikan proses pembelajaran berjalan dengan baik, sambil tetap menjaga kualitas dan meningkatkan kreativitas pelajar? Berikut beberapa strategi yang dapat diterapkan:
1. Menciptakan lingkungan belajar yang mendorong penggunaan AI secara etis dan bertanggung jawab.
Penggunaan AI dalam pendidikan tidak bisa dihindari, namun hal ini tidak berarti AI harus dilarang secara total. Alih-alih, pengajar dapat membantu pelajar memahami bagaimana memanfaatkan AI sebagai alat bantu untuk meningkatkan pembelajaran. Dengan mengajarkan etika penggunaan AI, pelajar dibimbing bagaimana menggunakan teknologi ini tanpa mengorbankan integritas akademik mereka. Misalnya, pengajar dapat menyusun pelatihan yang membahas kapan penggunaan AI dapat dianggap membantu dan kapan dianggap sebagai bentuk kecurangan. Selain itu, pelajar juga perlu memahami bagaimana mengutip atau mengakui bantuan AI dalam pekerjaan akademis mereka. Dialog terbuka tentang AI dan etika akademik dapat membantu membangun budaya kejujuran di antara pelajar. Hal ini penting karena memungkinkan pelajar memahami bahwa proses belajar jauh lebih penting daripada hasil akhir yang dihasilkan oleh AI.
ADVERTISEMENT
Pengajar juga bisa mendorong penggunaan AI secara kolaboratif. Dalam konteks pemrograman, misalnya, pelajar dapat diminta untuk mengevaluasi kode yang dihasilkan oleh AI dan mengidentifikasi kesalahan atau cara memperbaikinya. Pendekatan seperti ini dapat membantu pelajar tidak hanya meningkatkan keterampilan teknis mereka, tetapi juga mempertahankan kemampuan berpikir kritis. Integrasi AI yang baik dalam kurikulum juga dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan bagi pelajar untuk menguji hasil yang dihasilkan oleh AI dan memperbaikinya sesuai konteks.
Institusi pendidikan juga harus terus memperbarui kebijakan terkait penggunaan AI. Kebijakan ini perlu cukup fleksibel untuk mengakomodasi perkembangan teknologi, sambil tetap menjaga standar integritas akademik yang tinggi. Hal ini termasuk bekerja sama dengan pengembang teknologi AI untuk menciptakan solusi yang lebih baik dalam mendeteksi dan mencegah penyalahgunaan teknologi di lingkungan akademik.
ADVERTISEMENT
2. Merancang tugas dan penilaian yang tidak mudah diselesaikan dengan mengandalkan AI semata.
Merancang tugas yang melibatkan AI tetapi tetap mendorong kreativitas dan pemikiran kritis sangat penting untuk menghindari ketergantungan pelajar pada teknologi ini. Proyek-proyek yang membutuhkan refleksi pribadi, aplikasi pengetahuan dalam konteks unik, atau pengalaman langsung dapat membuat tugas lebih sulit untuk diselesaikan hanya dengan mengandalkan AI. Sebagai contoh, dalam konteks pemrograman dan desain database, tugas yang menuntut mahasiswa untuk merancang model database atau mengoptimalkan kode pemrograman untuk kasus spesifik yang tidak umum akan memaksa mereka berpikir kritis, karena solusi yang dihasilkan oleh AI mungkin tidak dapat disesuaikan dengan kebutuhan spesifik yang dihadapi.
Tugas yang menekankan pada proses pembelajaran juga bisa mengurangi ketergantungan pada AI. Misalnya, dalam tugas menulis, AI bisa diperbolehkan, tetapi pengajar bisa meminta pelajar untuk melaporkan prompt apa yang digunakan untuk menghasilkan tulisan, dan memberikan analisis kritis tentang hasil yang diberikan AI. Dengan demikian, fokus pada proses kreatif dan berpikir kritis dapat diutamakan.
ADVERTISEMENT
Penting juga bagi pengajar untuk mengembangkan metode penilaian yang lebih mengutamakan pemahaman daripada hasil akhir. Sebagai contoh, dalam evaluasi tugas berbasis proyek atau esai, pengajar bisa mengadakan sesi wawancara singkat untuk memverifikasi pemahaman pelajar tentang karya mereka. Pengajar bisa meminta pelajar menjelaskan logika di balik alur dan baris pemrograman mereka atau memodifikasi kode secara langsung. Ini untuk memastikan bahwa mereka benar-benar menguasai materi, bukan hanya mengandalkan AI.
3. Menerapkan evaluasi formatif untuk memahami kemampuan dan perkembangan pelajar.
Salah satu cara efektif untuk mencegah penyalahgunaan AI adalah dengan menerapkan evaluasi formatif yang berkelanjutan. Melalui evaluasi ini, pengajar dapat memberikan umpan balik secara berkala kepada pelajar sehingga mereka tidak tergoda untuk menggunakan AI secara tidak semestinya. Evaluasi formatif memungkinkan pengajar untuk memantau perkembangan pelajar dan mengidentifikasi situasi yang mencurigakan, seperti hasil tugas yang terlalu bagus untuk menjadi kenyataan.
ADVERTISEMENT
Evaluasi formatif juga memungkinkan pengajar untuk memberikan penilaian yang lebih adil dan terarah, terutama dalam konteks pemrograman atau tugas yang bersifat teknis. Pengajar bisa melakukan evaluasi secara bertahap dengan meminta pelajar menyerahkan draf awal, melakukan perbaikan berdasarkan umpan balik, dan kemudian menyerahkan versi akhir. Dalam proses ini, pengajar dapat lebih mudah melihat apakah hasil kerja pelajar mencerminkan kemampuan dan pemahaman yang sebenarnya, atau jika ada indikasi penggunaan AI yang tidak sesuai.
Selain itu, untuk tugas yang melibatkan pemrograman atau esai, pengajar dapat meminta pelajar untuk melakukan presentasi tatap muka atau menjelaskan proses yang mereka lalui. Pendekatan ini membantu mengidentifikasi apakah pelajar benar-benar memahami materi yang diberikan atau hanya menggunakan AI untuk menyelesaikan tugas. Dengan cara ini, pengajar dapat menciptakan lingkungan belajar yang mendorong keaslian, integritas, dan pengembangan keterampilan secara menyeluruh.
ADVERTISEMENT
Kombinasi antara menciptakan lingkungan yang mendorong penggunaan AI secara etis, merancang tugas yang mendorong kreativitas, dan melakukan evaluasi formatif dapat membantu pendidikan tetap relevan dan bermakna di era AI. Dalam menghadapi tantangan ini, kita perlu ingat bahwa tujuan utama pendidikan bukanlah sekadar menghasilkan karya tulis atau menyelesaikan tugas, melainkan mengembangkan pemikiran kritis, kreativitas, dan kemampuan belajar seumur hidup pada pelajar.
Dengan pendekatan yang tepat, AI dapat menjadi perangkat yang berharga dalam mencapai tujuan ini, bukan ancaman terhadap manusia. Kita harus terus beradaptasi, belajar, dan berkembang bersama teknologi ini, sambil tetap menjunjung tinggi nilai-nilai fundamental yang menjadi inti dari proses pembelajaran dan pengembangan intelektual.