Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Predator Digital: Ketika AI Menjadi Senjata Baru Eksploitasi Anak
3 Mei 2025 17:41 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Arif Perdana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Indonesia menghadapi lonjakan kasus eksploitasi seksual anak di platform digital. Menurut National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC), Indonesia peringkat keempat global dan kedua di ASEAN dalam laporan CSAM, dengan 1,9 juta kasus pada 2023. Laporan Tempo (21/02/2025) menyebutkan tren ini menunjukkan kelemahan perlindungan anak dan meningkatnya ancaman kejahatan siber terhadap anak-anak.
ADVERTISEMENT
Meningkatnya Penyebaran CSAM di Indonesia
Eksploitasi seksual anak dalam jaringan keuangan ilegal menunjukkan pola yang semakin kompleks dan sulit dideteksi. Meskipun indikator transaksi mencurigakan yang teridentifikasi mengalami fluktuasi dalam beberapa tahun terakhir, hal ini tidak serta-merta mencerminkan penurunan kejadian. Justru, pola kejahatan ini semakin tersembunyi dan terorganisir, dengan pemanfaatan platform digital yang memberikan anonimitas lebih besar bagi para pelaku.
Perputaran dana dalam aktivitas ilegal terkait eksploitasi seksual anak terus menunjukkan angka yang signifikan. Ini mengindikasikan keberadaan jaringan terorganisir yang melibatkan berbagai aktor, termasuk pelaku kejahatan siber lintas negara. Modus operandi yang digunakan semakin canggih, dengan pemanfaatan teknologi komunikasi berbasis cloud yang sulit dilacak, sehingga memperumit upaya deteksi dan penegakan hukum.
ADVERTISEMENT
Tren ini menegaskan bahwa eksploitasi seksual anak bukan lagi sekadar tindakan individual, melainkan bagian dari ekosistem kriminal yang lebih luas. Pergeseran aktivitas ke ruang digital semakin menyulitkan intervensi, mengingat anonimitas dan enkripsi yang melindungi komunikasi serta transaksi ilegal. Situasi ini menuntut strategi penegakan hukum yang lebih adaptif, dengan kolaborasi lintas sektor yang mengintegrasikan teknologi, regulasi, dan kerja sama antarnegara untuk mengatasi tantangan yang terus berkembang.
Selain itu, modus operandi kejahatan ini berkembang pesat. Kini, pelaku memanfaatkan metode pembayaran melalui cryptocurrency yang sulit dilacak dan beroperasi di dark web untuk menghindari pemantauan dari aparat hukum. Perkembangan ini menunjukkan bahwa sistem keuangan digital juga berperan dalam meningkatkan aksesibilitas dan anonimitas kejahatan seksual anak.
ADVERTISEMENT
Teknologi Informasi dan AI: Memperparah Produksi dan Penyebaran CSAM
Kemajuan teknologi informasi dan kecerdasan artifisial (AI) membawa manfaat besar, tetapi juga mempercepat produksi eksploitasi seksual anak. AI generatif (GenAI) memungkinkan pelaku menciptakan dan mendistribusikan CSAM secara instan, menghasilkan gambar yang sulit dibedakan dari foto asli, sehingga menyulitkan identifikasi korban. Laporan NCMEC 2023 mencatat lebih dari 36 juta laporan CSAM, meningkat 12%, sebagian besar dipicu oleh GenAI. Meski sintetis, konten ini memperkuat budaya eksploitasi dan dapat memanipulasi anak-anak. Data latih model AI sering mengandung CSAM nyata, memperparah trauma korban dan memperbanyak materi ilegal di internet.
Yang lebih mengkhawatirkan, deepfake memungkinkan pelaku memanipulasi wajah anak dari media sosial, menciptakan eksploitasi tanpa korban fisik. Ini semakin mengaburkan realitas digital dan menyulitkan penegak hukum dalam memberantas kejahatan yang semakin canggih ini.
ADVERTISEMENT
Peran Orang Tua, Pemerintah, dan Komunitas dalam Menangkal CSAM
Menghadapi ancaman serius ini, peran orang tua, pemerintah, dan komunitas menjadi kunci. Orang tua harus lebih proaktif dalam mengawasi aktivitas daring anak-anak. Minimnya literasi digital dan kurangnya pengawasan orang tua membuat anak-anak rentan menjadi korban. Pornografi merupakan bahaya besar bagi pembentukan karakter anak. Dampaknya tidak hanya merusak kesehatan mental, tetapi juga masa depan mereka. Anak-anak yang terpapar pornografi dapat mengalami gejala depresi, sulit berkonsentrasi, dan kehilangan minat berinteraksi dengan orang lain.
Pemerintah perlu memperkuat UU ITE dan UU TPKS agar lebih efektif dalam menanggulangi eksploitasi seksual anak (CSAM) di platform digital. Regulasi global bervariasi, dari NetzDG Jerman (hapus dalam 24 jam, denda €50 juta) hingga DSA Uni Eropa (hapus segera, denda 6% omzet). Inggris, Australia, dan Prancis menerapkan pendekatan serupa, sementara AS dan India lebih fleksibel. Indonesia harus menyeimbangkan penegakan ketat dengan perlindungan kebebasan berekspresi, melalui definisi konten yang jelas, sistem deteksi AI, mekanisme banding, serta sanksi bertingkat. Ini mencegah regulasi menjadi “pisau bermata dua” yang menghambat akses informasi sah.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pemerintah perlu bekerja sama dengan perusahaan teknologi untuk mengembangkan sistem deteksi canggih yang dapat mengidentifikasi dan memblokir CSAM. Di Kanada, teknologi seperti Project Arachnid yang dikembangkan oleh Canadian Centre for Child Protection telah berhasil mendeteksi dan menghapus konten CSAM secara otomatis. Indonesia dapat mengadopsi teknologi serupa dan bekerja sama dengan perusahaan teknologi untuk mengembangkan sistem deteksi yang efektif.
Kerjasama internasional juga menjadi kunci penting. Uni Eropa, melalui European Union Agency for Law Enforcement Cooperation (Europol), telah membangun kerjasama lintas batas untuk memerangi CSAM. Indonesia dapat meningkatkan kerjasama dengan Interpol dan organisasi internasional lainnya untuk memerangi CSAM secara global. Selain regulasi, pemerintah perlu mempercepat kerja sama internasional untuk mempersempit ruang gerak pelaku. Pembuatan standar global dalam menangani CSAM, termasuk perjanjian ekstradisi bagi pelaku yang melarikan diri ke luar negeri, dapat menjadi solusi yang lebih efektif dalam menangani kejahatan lintas batas ini.
ADVERTISEMENT
Komunitas juga tidak boleh tinggal diam. Edukasi tentang bahaya CSAM dan penggunaan AI harus ditingkatkan. Australia, melalui program ThinkUKnow, telah memberikan pendidikan kepada anak-anak, orang tua, dan pendidik tentang bahaya CSAM dan cara melindungi diri. Indonesia dapat mengembangkan program serupa untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Organisasi seperti End Child Prostitution in Asian Tourism (ECPAT) yang memiliki jejaring di Indonesia telah menyerukan perlunya intervensi terhadap korban, termasuk identifikasi, pemulihan, dan rehabilitasi. Saat ini, upaya penanganan kasus pornografi anak masih terfokus pada penindakan pelaku, sementara korban seringkali terlupakan. Padahal, pemulihan psikologis dan rehabilitasi bagi korban adalah langkah penting untuk memutus rantai trauma yang berkepanjangan.
Regulasi yang Belum Cukup dan Langkah ke Depan
ADVERTISEMENT
Meskipun Indonesia memiliki beberapa kerangka hukum untuk mengatasi CSAM, seperti UU ITE, UU TPKS, dan UU Perlindungan Anak, regulasi ini belum sepenuhnya efektif. UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik), misalnya, menjatuhkan hukuman maksimal enam tahun penjara atau denda hingga Rp 1 miliar bagi pelaku distribusi konten pornografi berdasarkan Pasal 27 ayat (1). Sementara itu, UU TPKS (Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual) memberikan hukuman hingga empat tahun penjara untuk tindakan kekerasan seksual yang dilakukan melalui sarana elektronik. Meskipun kedua undang-undang ini telah memberikan kerangka hukum untuk menangani kejahatan berbasis elektronik, keduanya belum sepenuhnya mampu mengatasi kompleksitas kejahatan daring yang melibatkan AI.
Misalnya, kasus seperti deepfake pornografi, eksploitasi seksual berbasis AI, atau manipulasi konten digital dengan teknologi AI belum diatur secara spesifik dalam UU ITE maupun UU TPKS. Perkembangan teknologi yang pesat menuntut pembaruan regulasi atau bahkan undang-undang khusus yang dapat mengantisipasi dan menangani kejahatan daring yang semakin canggih, termasuk yang melibatkan AI. Dengan demikian, diperlukan upaya untuk memperkuat kerangka hukum yang ada agar dapat merespons tantangan baru di era digital ini.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, persimpangan antara AI dan CSAM menghadirkan tantangan yang signifikan dan mendesak. Potensi AI untuk menghasilkan dan mendistribusikan konten eksplisit memerlukan tindakan segera dan tegas dari semua pihak. Hanya dengan kerja sama yang erat antara pemerintah, perusahaan teknologi, dan masyarakat, kita dapat melindungi anak-anak Indonesia dari ancaman kejahatan seksual di era digital.