Konten dari Pengguna
Ratusan Miliar Dolar untuk AI: Inovasi atau Ilusi?
1 Juni 2025 15:50 WIB
·
waktu baca 5 menit
Kiriman Pengguna
Ratusan Miliar Dolar untuk AI: Inovasi atau Ilusi?
Krisis AI 2027: Daron Acemoglu peringatkan euforia AI bisa picu ketimpangan, dislokasi sosial, dan krisis global jika tak diarahkan dengan regulasi dan visi jangka panjang.Arif Perdana
Tulisan dari Arif Perdana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di tengah laju pesat perkembangan teknologi, dunia tampak bergegas menuju masa depan yang dijanjikan efisien, otomatis, dan tanpa batas. Namun, di balik hiruk-pikuk euforia akal imitasi (AI), muncul pertanyaan mendasar: apakah percepatan ini didorong oleh kebutuhan nyata, atau hanya oleh ketakutan kolektif untuk tidak ketinggalan (FOMO)?
ADVERTISEMENT
Ekonom MIT dan peraih Nobel Ekonomi 2024, Daron Acemoglu, menyuarakan peringatan. Menurutnya, ratusan miliar dolar yang digelontorkan untuk membangun ekosistem AI global bisa jadi berakhir sebagai investasi sia-sia. Pembangunan pusat data dan pengembangan model bahasa raksasa dinilai lebih bersifat simbolik ketimbang transformatif.
Acemoglu memaparkan bahwa hanya sekitar lima persen pekerjaan yang akan terdampak signifikan oleh AI dalam satu dekade mendatang. “Anda tidak akan mendapatkan revolusi ekonomi dari lima persen itu,” ujarnya. Alih-alih memperkuat kapasitas manusia, AI saat ini justru diarahkan untuk menggantikan pekerja dalam tugas-tugas spesifik, demi efisiensi jangka pendek. Pertanyaannya: apakah otomatisasi yang menekan biaya sambil memperdalam ketimpangan layak disebut kemajuan? Atau justru, ini pertanda kita sedang mengulang kegagalan lama dengan baju baru bernama teknologi?
ADVERTISEMENT
Janji yang Menggoda, Risiko yang Membayangi
Fenomena euforia AI tidak muncul dalam ruang hampa. Ia tumbuh dari lanskap global yang, menurut Daron Acemoglu, tengah dilanda "stagnasi yang membusuk", satu kondisi di mana kemajuan teknologi tidak diiringi transformasi struktural yang adil dan berkelanjutan. Inovasi bergerak cepat, namun fondasi sosial-ekonomi justru semakin rapuh, yang merefleksikan kekayaan dan kekuasaan terkonsentrasi di tangan segelintir elite.
Di negara-negara maju, populasi menua, ketimpangan sosial melebar, dan daya beli kelas menengah stagnan. Meski demikian, narasi optimisme digital tetap dikibarkan. AI dijual sebagai obat mujarab solusi segala masalah, mulai dari kekurangan tenaga kerja, inefisiensi birokrasi, hingga stagnasi ekonomi. Tapi, apakah narasi ini lahir dari analisis yang rasional, atau justru bentuk pelarian dari krisis struktural yang enggan dihadapi?
ADVERTISEMENT
Kapitalisme global kini berpusat pada kendali atas teknologi dan data. Perusahaan raksasa seperti Google, Amazon, dan Meta menguasai infrastruktur digital dunia, sementara sistem perpajakan dan regulasi tertinggal jauh. Sejak krisis 2008, kebijakan penyelamatan justru memperkuat kapitalisme rentenir. Kini, euforia AI berisiko menjadi “steroid” baru yang memperbesar ketimpangan dan memperkuat dominasi ekonomi digital tanpa akuntabilitas yang memadai.
Krisis yang Tak Pernah Benar-Benar Usai
Sejarah, jika kita bersedia menyimaknya, memberikan pelajaran berharga tentang bahaya euforia terhadap teknologi. Pada awal abad ke-21, dunia menyaksikan meledaknya gelembung dot-com. Ribuan perusahaan teknologi yang dijanjikan akan mengubah dunia dalam semalam justru berguguran, meninggalkan pasar dalam kekacauan. Beberapa janji teknologi itu memang akhirnya terwujud, tetapi tidak dalam waktu cepat dan tidak oleh pelaku yang sama. Prosesnya berlangsung bertahun-tahun, menyakitkan, dan penuh koreksi.
ADVERTISEMENT
Tahun 2008, krisis finansial global kembali mengguncang. Kali ini, pemicunya adalah inovasi keuangan yang terlalu kompleks, tidak transparan, dan tidak diimbangi pengawasan memadai. Dunia belajar, atau tampaknya belajar, bahwa teknologi tanpa regulasi hanya akan melahirkan bencana. Namun pelajaran itu cepat dilupakan.
Kini, Daron Acemoglu dan sejumlah pengamat meyakini bahwa dunia kembali berada di jalur berbahaya. Acemoglu menawarkan tiga skenario tentang masa depan AI: pertama, euforia AI perlahan mereda dan teknologi diintegrasikan secara wajar; kedua, gelembung AI meledak seperti dot-com dulu, memicu kehancuran pasar; dan ketiga, skenario distopia di mana otomatisasi terjadi tanpa arah strategis, menyebabkan pengangguran massal dan kekecewaan sosial.
Acemoglu menyoroti lemahnya tata kelola. Audit AI kini ditangani oleh firma konsultansi besar, tetapi efektivitasnya diragukan. Banyak perusahaan teknologi menggunakan kontrak kerahasiaan ketat, membungkam kritik dari dalam. Tanpa regulasi yang kuat dan independen, audit berisiko menjadi “pengawasan yang semu” semata, formalitas yang tampak sah, namun minim pengaruh. Ketika korporasi yang diaudit juga menjadi penyokong keuangan auditor, konflik kepentingan menjadi keniscayaan. Dalam ekosistem seperti ini, kita tak hanya menghadapi risiko ekonomi, tapi juga ancaman terhadap kepercayaan publik dan stabilitas sosial.
ADVERTISEMENT
AI dan Arah yang Keliru
Masalah mendasar lain yang disorot Daron Acemoglu adalah arah pengembangan AI yang saat ini lebih didorong logika pasar jangka pendek: efisiensi biaya, otomatisasi tenaga kerja, dan produk yang memicu konsumsi. AI jarang dikembangkan untuk memperkuat kapasitas manusia atau memperluas akses terhadap pengetahuan dan layanan publik.
Padahal, AI memiliki potensi besar sebagai alat bantu yang meningkatkan produktivitas manusia. Bayangkan AI yang mendukung guru merancang pembelajaran personal, membantu dokter mendiagnosis penyakit langka, atau mempercepat riset perubahan iklim. Namun, potensi ini tidak akan muncul dengan sendirinya.
Tanpa intervensi kebijakan publik yang tegas, industri akan terus memilih jalur komersial yang sempit. Pemerintah perlu hadir bukan sekadar sebagai pengatur pasif, melainkan sebagai arsitek visi jangka panjang, mendorong insentif yang tepat, menetapkan standar etika, dan memastikan bahwa teknologi tetap berpihak pada kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Indonesia: Antara Adopsi Cepat dan Risiko Ketergantungan Kronis
Bagi Indonesia dan negara berkembang lainnya, tantangan dalam menghadapi gelombang AI memiliki kompleksitas tersendiri. Posisi kita lebih sering sebagai konsumen ketimbang produsen teknologi. Ini membuat risiko ketergantungan pada infrastruktur, model bisnis, dan talenta asing menjadi nyata. Jika tidak diantisipasi, AI justru dapat memperlebar jurang digital dan memperkuat ketimpangan sosial di dalam negeri.
Adopsi AI dalam sektor strategis seperti pendidikan, kesehatan, dan layanan publik harus dijalankan dengan kehati-hatian, partisipasi masyarakat, dan pemahaman mendalam atas konteks lokal. Meniru solusi generik dari luar tanpa adaptasi hanya akan memperburuk masalah.
Pemerintah perlu mendorong inovasi AI lokal, memperkuat pendidikan digital, dan merancang strategi nasional yang visioner dan inklusif. Tujuannya bukan sekadar efisiensi, tetapi memastikan bahwa AI menjadi alat pemberdayaan, bukan alat eksklusi, dalam membangun masa depan Indonesia yang adil dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Menuju Jalan yang Lebih Bijak
Peringatan Daron Acemoglu bukan seruan untuk menolak teknologi, melainkan ajakan untuk berpikir lebih jernih dan bertanggung jawab. Dalam dunia yang bergerak cepat, kita butuh keberanian untuk melambat sejenak, melakukan jeda reflektif, mengajukan pertanyaan mendasar, dan mengevaluasi arah perkembangan AI. Inovasi seharusnya tidak semata mengejar efisiensi atau keuntungan jangka pendek, melainkan diarahkan pada kemajuan yang adil, inklusif, dan berkelanjutan.
Jika kita gagal melakukan koreksi arah, dan terus terbuai oleh janji kosong tanpa memperhitungkan dampak sosial dan risiko sistemik, bukan tidak mungkin krisis AI bisa menjadi kenyataan. Bukan sekadar kegagalan teknologi, tetapi kegagalan moral kolektif untuk belajar dari sejarah. Masa depan AI bukanlah takdir yang tak terelakkan. Ia adalah ruang pilihan, dan tugas kitalah untuk memastikan bahwa pilihan itu tidak merugikan manusia dan planet ini dalam jangka panjang.
ADVERTISEMENT

