Konten dari Pengguna

Revolusi Keuangan Digital: Janji, Tantangan, dan Masa Depan yang Kita Pilih

Arif Perdana
Arif adalah Dosen Digital Strategy & Data Science di Monash University. Dia memiliki pengalaman akademis, industri, dan konsultansi di berbagai negara.
26 November 2024 17:19 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arif Perdana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Revolusi Keuangan Digital: Gambar dibuat dengan Bing Image Creator
zoom-in-whitePerbesar
Revolusi Keuangan Digital: Gambar dibuat dengan Bing Image Creator
ADVERTISEMENT
Saat kita menjelajahi berbagai kota dan desa di Indonesia pedagang kaki lima dan penjual pasar tradisional kini menerima pembayaran melalui QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard). Di saat yang sama, aplikasi fintech mempermudah kita untuk menyimpan uang di smartphone, membeli saham, atau reksa dana. Revolusi keuangan digital telah mengubah cara kita bertransaksi: cepat, mudah, dan tanpa hambatan. Uang kini hanya menjadi angka yang berpindah dari satu layar ke layar lain, dan semakin sedikit transaksi menggunakan uang fisik.
ADVERTISEMENT
Menurut survei Bank Dunia, 76 persen populasi global kini memiliki akses ke layanan keuangan digital. Janji utamanya adalah inklusi keuangan, mimpi di mana semua orang memiliki akses ke layanan keuangan yang sebelumnya sulit dijangkau. Tak perlu lagi antre panjang di bank. Segalanya tersedia hanya dengan beberapa sentuhan di layar ponsel Anda.
Cerita-cerita seperti ini menunjukkan bahwa dunia keuangan sedang menuju keadilan yang lebih merata. Namun, di balik gemerlap keberhasilan ini, ada sisi gelap yang jarang dibahas, namun sangat penting untuk kita pahami. Kemudahan yang kita dapati, inovasi yang kita nikmati tentunya memiliki konsekuensi.
Kita tidak perlu khawatir dengan mudharat yang dibawa teknologi, tetapi kita harus mengantisipasi dan memitigasi potensi risiko yang ada dan mungkin muncul. Dengan begitu, peradaban manusia bisa maju. Kita sudah menyaksikannya dari kereta api hingga komputer.
ADVERTISEMENT
Biaya Tersembunyi dari Inovasi Keuangan
Transformasi digital memang membawa manfaat, tetapi juga menyisakan tantangan besar. Salah satunya adalah kejahatan keuangan digital. Menurut Global Coalition to Fight Financial Crime, kerugian global akibat penipuan diperkirakan mencapai USD 50 hingga 177 miliar setiap tahun. Rata-rata kerugian per korban bahkan mencapai USD 12.000. Inovasi digital membuka pintu bagi penjahat untuk memanfaatkan celah keamanan di sistem baru ini.
Selain itu, muncul fenomena diskriminasi digital. Meski belum banyak dibahas di media Indonesia, kasus ini sudah terjadi di negara lain seperti Amerika Serikat. Sebagai contoh, kartu kredit Apple Card pernah menuai kontroversi karena algoritmanya memberikan limit kredit lebih rendah kepada perempuan dibandingkan laki-laki dengan profil keuangan yang sama, bahkan lebih baik. Algoritma tersebut tidak secara eksplisit mendiskriminasi berdasarkan gender, tetapi menggunakan data lain yang secara tidak langsung mencerminkan bias gender, seperti riwayat pekerjaan dan pendapatan.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini menunjukkan bahwa setiap keputusan algoritmik mengandung nilai-nilai tertentu. Jika nilai-nilai ini tidak diawasi, algoritma dapat memperkuat ketidaksetaraan sosial yang sudah ada, mengubah bias menjadi kerugian struktural.
Inklusi Keuangan atau Jebakan Utang?
Aplikasi keuangan digital sering kali dirancang dengan teknologi canggih dan prinsip psikologi perilaku. Tujuannya bukan hanya membantu pengguna mengelola keuangan, tetapi juga mendorong perilaku tertentu yang menguntungkan perusahaan di balik aplikasi tersebut. Fitur seperti Beli Sekarang, Bayar Nanti (Buy Now, Pay Later) merupakan pinjaman instan tampak menggoda, tetapi di balik kemudahan itu ada risiko besar: jebakan utang.
Sistem ini juga memanfaatkan data perilaku pengguna untuk menyesuaikan penawaran. Misalnya, algoritma bisa menentukan tingkat bunga berdasarkan pola belanja Anda, aktivitas online, bahkan unggahan media sosial. Anda mungkin tidak menyadari bahwa setiap transaksi kecil, seperti membeli kopi di pagi hari, di mana Anda membelinya dan berapa uang yang Anda habiskan, menjadi bagian dari potret digital Anda yang digunakan untuk memprediksi dan memengaruhi keputusan keuangan Anda.
ADVERTISEMENT
Di beberapa negara seperti China, data ini digunakan untuk menentukan skor kredit sosial yang memengaruhi akses ke pinjaman, perjalanan, bahkan pendidikan anak. Sementara di Amerika Serikat, skor kredit dapat menentukan peluang kerja Anda di institusi keuangan. Algoritma ini diam-diam menulis "cerita hidup" Anda, berdasarkan asumsi dan pola yang belum tentu akurat.
Ironisnya, sementara sebagian masyarakat merasa kewalahan oleh layanan digital ini, kelompok lain justru tertinggal. Generasi tua, masyarakat pedesaan, dan kelompok minoritas sering kali kesulitan mengikuti perubahan ini. Tanpa akses ke teknologi atau literasi digital yang memadai, mereka menjadi korban baru eksklusi finansial. Sistem ini menciptakan jurang baru antara mereka yang melek digital dan yang tidak.
Kaum lanjut usia, misalnya, rentan terhadap penipuan karena keterbatasan literasi digital dan kehilangan akses ke layanan perbankan konvensional. Penutupan cabang bank fisik semakin memperparah situasi ini, memaksa mereka menghadapi proses online yang rumit dan membingungkan.
ADVERTISEMENT
Membangun Masa Depan Keuangan yang Lebih Etis
Meski tantangan ini nyata, kita masih memiliki peluang untuk membentuk masa depan keuangan digital yang lebih manusiawi. Berikut adalah tiga langkah penting yang dapat kita ambil:
Prinsip Desain Etis: Setiap aplikasi keuangan harus dirancang dengan prinsip etis yang melindungi pengguna. Bayangkan jika aplikasi perdagangan saham memberikan peringatan saat pasar sedang volatil, atau aplikasi pembayaran memberi jeda 30 detik sebelum transaksi besar diproses. Fitur ini membantu pengguna untuk menghindari psikologi takut ketinggalan (fear of missing out), dan memfasilitasi pengambilan keputusan yang lebih bijaksana. Transparansi juga harus ditingkatkan, mulai dari penyajian syarat dan ketentuan yang mudah dipahami hingga pengungkapan biaya yang jelas.
Regulasi yang Adaptif: Regulasi keuangan saat ini sebagian besar dirancang untuk dunia perbankan tradisional. Kita membutuhkan kerangka hukum baru yang responsif terhadap inovasi digital. Contohnya adalah audit berkala terhadap teknologi AI, panduan jelas untuk penggunaan data konsumen, dan mekanisme akuntabilitas atas keputusan AI. Pengguna juga harus memiliki hak untuk memahami dan mengajukan keberatan terhadap keputusan yang dibuat oleh algoritma, seperti penolakan pinjaman.
ADVERTISEMENT
Literasi Keuangan Digital: Edukasi adalah perlindungan terbaik melawan eksploitasi. Literasi keuangan harus mencakup pemahaman tentang algoritma keuangan, keamanan digital, dan praktik predatoris. Edukasi ini harus menjangkau seluruh lapisan masyarakat, termasuk generasi tua dan komunitas pedesaan. Perpustakaan atau pusat komunitas dapat menjadi pusat literasi keuangan digital, menyediakan pelatihan gratis dan bantuan satu-satu.
Teknologi telah memberikan akses yang belum pernah ada sebelumnya ke dunia keuangan, tetapi kita berada di persimpangan penting. Apakah kita akan memilih kenyamanan dengan segala risikonya, atau menciptakan inovasi yang etis dan bermanfaat bagi semua?
Setiap kali Anda menggunakan aplikasi keuangan, Anda sebenarnya sedang berpartisipasi dalam menentukan masa depan. Akankah kita membiarkan algoritma mendikte hidup kita, atau kita akan mengambil kendali dan menulis cerita keuangan kita sendiri? Pilihannya ada di tangan kita. Mari kita pastikan teknologi melayani kebutuhan manusia, bukan sebaliknya.
ADVERTISEMENT