Konten dari Pengguna
Robot Humanoid: Revolusi Industri Tiongkok yang Bisa Mengguncang Dunia Kerja
25 Mei 2025 13:13 WIB
·
waktu baca 4 menit
Kiriman Pengguna
Robot Humanoid: Revolusi Industri Tiongkok yang Bisa Mengguncang Dunia Kerja
Tiongkok mendorong revolusi robot humanoid untuk mengatasi krisis demografi dan unggul secara global. Namun, tanpa kebijakan inklusif, ketimpangan dan disrupsi sosial bisa meluas.Arif Perdana
Tulisan dari Arif Perdana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di sebuah gudang futuristik di pinggiran Shanghai, deretan robot humanoid tampak cekatan melipat baju, merakit makanan, atau sekadar membuka pintu. Mereka bekerja bukan semata menggantikan manusia, melainkan melatih diri untuk menjadi cerdas, otonom, dan ekonomis, cita-cita besar Tiongkok dalam mengubah lanskap manufakturnya. Di balik gerakan-gerakan presisi itu, tersimpan misi nasional, yaitu membangun mesin-mesin yang mampu menopang perekonomian, menghadapi krisis demografis, dan memantapkan posisi Tiongkok dalam perlombaan teknologi global.
ADVERTISEMENT
Dengan suntikan dana publik yang fantastis, lebih dari 20 miliar dolar AS dalam setahun dan komitmen hingga satu triliun yuan untuk ekosistem AI dan robotika, Beijing menunjukkan bahwa robot humanoid bukan sekadar pameran teknologi, melainkan strategi geopolitik dan ekonomi. Presiden Xi Jinping sendiri hadir di fasilitas AgiBot, mempertegas bahwa masa depan industri Tiongkok tidak lagi hanya mengandalkan buruh murah, melainkan otak algoritma dan lengan baja robot.
Namun di tengah euforia inovasi, muncul kegelisahan yang tak bisa ditepis. Revolusi ini membawa risiko sosial besar. Ini berpotensi menggusur jutaan pekerja sektor manufaktur, memperlebar kesenjangan keterampilan, dan mengguncang kontrak sosial yang selama ini menopang stabilitas sosial-ekonomi. Tiongkok sedang menulis ulang fondasi industrinya, tapi apakah masyarakat siap menanggung harga transisinya?
ADVERTISEMENT
Keunggulan Sistemik dan Ketimpangan Baru
Tiongkok memulai revolusi ini dengan keunggulan sistemik yang sulit ditandingi. Kemampuan untuk memproduksi 90% komponen robot di dalam negeri menjadikan biaya produksi jauh lebih rendah dibanding pesaing seperti Amerika Serikat. Jika robot Tesla Optimus dihargai 20.000-30.000 dolar AS, robot buatan Tiongkok diperkirakan bisa turun hingga 17.000 dolar AS pada 2030.
Tak hanya di ranah perangkat keras, Tiongkok juga agresif mengembangkan “otak” bagi para robotnya. Model-model AI seperti DeepSeek, Qwen (Alibaba), dan Doubao (ByteDance) bukan hanya meniru kecerdasan buatan dari Barat, tapi juga menawarkan solusi open-source dengan biaya dan akses lebih terjangkau. Yang menarik, pendekatan Tiongkok dalam melatih AI humanoid berbeda, bukan dari teks dan gambar internet seperti LLM, tapi dari data fisik dan perilaku di dunia nyata, mengangkat galon, menaruh paket, memindahkan lansia.
ADVERTISEMENT
Pusat-pusat data seperti milik AgiBot di Shanghai, tempat ratusan robot dan manusia berinteraksi setiap hari, menciptakan ekosistem pelatihan embodied AI yang unik. Data ini menjadi bahan bakar revolusi berikutnya, robot yang tidak hanya bergerak, tetapi juga mengerti konteks, belajar secara otonom, dan pada akhirnya, menggantikan manusia dalam tugas-tugas kompleks.
Namun keunggulan ini juga menyimpan paradoks. Semakin murah dan canggih robot humanoid, semakin cepat pula mereka menggantikan pekerjaan manusia. Ratusan ribu pekerja terancam terdampak. Sektor manufaktur tentu saja bisa terkena imbas. Maka tak heran jika muncul wacana kebijakan seperti “asuransi pengangguran AI”, indikasi bahwa bahkan elit teknologi Tiongkok pun menyadari potensi disrupsi yang serius.
Jalan Terjal Menuju Masa Depan Inklusif
ADVERTISEMENT
Optimisme pemerintah bahwa robot akan mengambil alih pekerjaan-pekerjaan monoton atau berbahaya, dan bukan pekerjaan bernilai tinggi, memang valid, tetapi tidak utuh. Studi global menunjukkan hubungan berbentuk U antara AI dan ketenagakerjaan, yaitu kehilangan besar di awal, lalu stabilisasi melalui penciptaan pekerjaan baru di sektor lain. Tapi efeknya tidak merata. Sektor pertanian, manufaktur, dan pekerjaan berupah rendah cenderung terdampak lebih parah, sementara sektor digital, teknologi, dan layanan kesehatan justru berkembang.
Oleh karena itu, investasi pada pendidikan science, technology, engineering, and mathematics (STEM), pelatihan ulang, dan kebijakan perlindungan sosial yang komprehensif menjadi syarat mutlak. Tanpa intervensi tersebut, revolusi robot ini hanya akan memperparah ketimpangan: antara yang mampu menguasai teknologi dan yang tertinggal oleh automasi.
ADVERTISEMENT
Tiongkok sebenarnya telah mengantisipasi sebagian masalah ini. Robot humanoid diarahkan ke sektor-sektor yang mengalami kekurangan tenaga kerja, seperti perawatan lansia. Rencana nasional Desember lalu bahkan mendorong penggunaan robot di panti jompo, mereka akan membersihkan kamar, mengangkat pasien, hingga menemani interaksi sosial. Tapi seberapa jauh kita nyaman menyerahkan perawatan yang memerlukan empati kepada mesin?
Geopolitik juga menjadi batu sandungan. Ketergantungan pada chip canggih membuat Tiongkok rentan terhadap embargo AS. Pembatasan ekspor semikonduktor dan pengenaan tarif tinggi dapat memperlambat ambisi Tiongkok. Di sisi lain, Amerika unggul dalam software dan riset AI, menciptakan ketergantungan dua arah yang kini mulai retak.
Bagi Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya, pelajaran dari Tiongkok jelas, kita jangan menunggu. Kita harus menyiapkan kerangka kebijakan, pendidikan, dan infrastruktur agar tidak hanya menjadi pasar teknologi impor, tetapi juga mampu merespons disrupsi dengan kesiapan nasional.
ADVERTISEMENT
Bukan Soal Teknologi, Tapi Pilihan Sosial
Robot humanoid bukan sekadar mesin yang dilengkapi sensor dan servo. Mereka adalah simbol dari dilema besar, efisiensi versus keadilan sosial, kemajuan versus ketercerabutan. Di tangan negara seperti Tiongkok, mereka bisa menjadi alat untuk mempertahankan dominasi industri global. Namun bagi masyarakat global, revolusi ini menuntut refleksi: bagaimana kita memastikan teknologi tidak hanya memajukan industri, tetapi juga menjunjung martabat manusia?
Revolusi robot ini tidak bisa dihindari. Tapi arah dan dampaknya bisa dikendalikan, jika ada kemauan politik, keberanian etis, dan visi jangka panjang. Karena pada akhirnya, yang menentukan bukanlah seberapa canggih robot yang kita buat, tapi seberapa bijak kita menggunakannya untuk membangun masa depan bersama.
ADVERTISEMENT

