Konten dari Pengguna
Worldcoin: Bahaya yang Mengintai di Balik Janji Inklusi Digital
14 Mei 2025 20:36 WIB
·
waktu baca 5 menit
Kiriman Pengguna
Worldcoin: Bahaya yang Mengintai di Balik Janji Inklusi Digital
Worldcoin menjanjikan inklusi digital berbasis iris, namun menuai kritik soal privasi, imperialisme data, dan lemahnya regulasi di Indonesia.Arif Perdana
Tulisan dari Arif Perdana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di tengah laju inovasi teknologi yang kian tak terbendung, Worldcoin hadir bak proyek masa depan: sistem identitas digital global berbasis pemindaian iris mata. Dengan iming-iming imbalan hingga Rp800 ribu dalam bentuk kripto, proyek ini mengklaim menawarkan solusi atas krisis identitas digital di era kecerdasan buatan dan serbuan bot. Di balik narasi “bukti kemanusiaan” dan janji inklusi keuangan, Worldcoin justru menimbulkan kekhawatiran besar soal privasi, keamanan, dan bentuk baru imperialisme data.
ADVERTISEMENT
Diluncurkan pada 2019 oleh Tools for Humanity, perusahaan besutan CEO OpenAI, Sam Altman, Worldcoin bertujuan membangun sistem identitas digital bernama World ID. Dengan perangkat berbentuk bola bernama Orb, proyek ini memindai iris mata pengguna dan mengubahnya menjadi kode unik yang disimpan di blockchain. Mereka yang telah diverifikasi akan menerima token Worldcoin (WLD) melalui aplikasi World App dan dapat menukarkannya menjadi uang tunai.
Janji Inklusi di Balik Perangkap Data Biometrik
Meski digadang sebagai solusi membedakan manusia dari AI dan jalan menuju Universal Basic Income berbasis kripto, daya tarik utama Worldcoin di negara berkembang seperti Indonesia terletak pada insentif finansial instan. Di kota-kota seperti Bekasi dan Depok, antrean panjang terbentuk demi mendapat imbalan tunai. Tak mengherankan, data Bank Dunia menunjukkan bahwa 60 persen warga Indonesia hidup dengan sekitar Rp115 ribu per hari. Dalam kondisi seperti ini, tawaran uang dari Worldcoin sangat menggoda.
ADVERTISEMENT
Namun, yang dipertukarkan bukanlah sembarang data: melainkan data iris, identitas biometrik yang permanen dan tak dapat diubah. Berbeda dengan kata sandi, kebocoran data iris menimbulkan risiko seumur hidup. Amerika Serikat pernah mengalami peretasan besar pada 2015, ketika sidik jari lebih dari lima juta pegawai pemerintah bocor akibat serangan siber.
Worldcoin mengklaim menggunakan teknologi enkripsi mutakhir bernama Secure Multi-Party Computation (SMPC) dan menyatakan bahwa data pengguna disimpan secara lokal. Namun, proyek ini tak menjelaskan detail teknis secara terbuka, tak menyediakan audit independen, serta tak transparan soal durasi penyimpanan data atau mekanisme aksesnya. Perusahaan keamanan digital TrustCloud memperingatkan bahwa data iris bisa saja digunakan untuk iklan tertarget, pelacakan, atau pengawasan.
Imperialisme Data: Wajah Baru Kolonialisme Digital
ADVERTISEMENT
Masalah bukan hanya soal teknis. Pertanyaan yang lebih besar adalah: siapa yang mengontrol data ini dan untuk kepentingan siapa? Praktik implementasi Worldcoin di Indonesia, Kenya, dan India mencerminkan bentuk dominasi baru. Beberapa menyebutnya kolonialisme digital, di mana teknologi dari negara maju mengekstraksi sumber daya baru dari negara berkembang, bukan lagi rempah atau mineral, melainkan data pribadi. Ada juga yang menyebutnya feodalisme digital, ketika rakyat hanya menjadi penyumbang data, sementara kepemilikan dan keuntungan dikuasai segelintir pemilik platform.
Kedua istilah ini bernaung di bawah satu payung besar: imperialisme data. Sebuah konsep kekuasaan global berbasis data, di mana korporasi atau negara maju mengendalikan seluruh siklus hidup data, dari pengumpulan hingga monetisasi. Sementara individu yang menyumbangkan data nyaris tak punya kuasa untuk menolak atau menegosiasikan penggunaannya.
ADVERTISEMENT
Kasus Worldcoin menggambarkan hal ini dengan jelas: data biometrik bernilai tinggi ditukar dengan uang yang jumlahnya relatif kecil. Warga miskin di negara berkembang menukarkan iris matanya untuk imbalan tunai, sementara perusahaan teknologi mengubahnya menjadi aset strategis dalam sistem digital global. Ini bukan cerita baru, hanya saja sekarang yang dijadikan komoditas adalah data, dan siapa yang menguasainya akan memegang masa depan.
Kedaulatan Digital dan Tanggung Jawab Negara
Di Indonesia, dua perusahaan lokal, PT Terang Bulan Abadi dan PT Sandina Abadi Nusantara, menyediakan layanan Worldcoin. Namun, hanya satu yang terdaftar resmi sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE). Ketidakjelasan ini menunjukkan lemahnya pengawasan regulasi, dengan Worldcoin beroperasi di wilayah abu-abu hukum. Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) baru merespons setelah isu ini ramai diperbincangkan publik, dan fokusnya pun lebih pada aspek administratif ketimbang perlindungan data.
ADVERTISEMENT
Agar tak menjadi ladang penambangan data asing, Indonesia perlu memperkuat regulasi, meningkatkan literasi digital masyarakat, dan mendorong teknologi yang beretika. Uni Eropa lewat aturan General Data Protection Regulation (GDPR) memaksa Worldcoin menghentikan operasinya di Spanyol dan menghapus data yang telah dikumpulkan. Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) sejak 2022 yang mengklasifikasikan data biometrik sebagai data pribadi sensitif. Tapi sampai saat ini belum ada aturan teknis yang secara spesifik mengatur pengolahan data iris oleh perusahaan asing. Celah ini bisa dimanfaatkan oleh aktor global.
Transparansi harus menjadi syarat mutlak. Perusahaan seperti Worldcoin wajib menjelaskan bagaimana mereka mengumpulkan, menyimpan, menggunakan, dan memusnahkan data, serta membuka diri untuk diaudit oleh pihak independen. Tanpa langkah-langkah ini, klaim keamanan mereka tak lebih dari janji kosong.
ADVERTISEMENT
Kesenjangan pengetahuan publik juga harus ditutup. Banyak orang menyerahkan data biometrik hanya demi sejumlah uang tanpa memahami risiko jangka panjangnya. Dalam negara dengan pendapatan harian rendah, godaan insentif instan mudah dipahami, walau nilai sesungguhnya dari data yang dilepas jauh lebih besar dari yang didapat.
Sayangnya, sikap pemerintah selama ini cenderung reaktif. Komdigi baru menghentikan operasi Worldcoin setelah muncul tekanan publik. Ke depan, Indonesia harus menjadikan kedaulatan data sebagai bagian dari kedaulatan nasional. Warga harus diakui sebagai pemilik sah atas data mereka, bukan sekadar objek percobaan digital global.
Worldcoin dijual sebagai solusi krisis identitas digital di era AI, namun yang diciptakan justru serangkaian risiko baru: dari eksploitasi data biometrik hingga kontrol korporasi atas infrastruktur digital dunia. Pendirinya, Sam Altman, juga merupakan sosok penting di balik ledakan AI global. Apakah ini bentuk tanggung jawab moral, atau justru mekanisme kontrol baru, masih belum jelas.
ADVERTISEMENT
Indonesia harus bersikap tegas. Kita perlu membangun sistem perlindungan data yang kuat, mendidik warganya, dan memastikan rakyat tak menjadi peserta pasif dalam eksperimen teknologi global. Yang dipertaruhkan bukan cuma privasi, tapi juga kedaulatan digital dan masa depan kemanusiaan bangsa.

