Konten dari Pengguna

Bisakah Kita Kaya dengan Menjadi Pemilik Klub Sepak Bola?

Arif Utama
we all gonna die (hopefully soon)
11 Oktober 2017 1:20 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arif Utama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bisakah Kita Kaya dengan Menjadi Pemilik Klub Sepak Bola?
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Untuk menjawab pertanyaan di judul, sebenarnya, tidak. Anda mungkin bergeming bahwa uang penjualan kostum orisinil dan penjualan tiket serta sponsorship hingga hak siar atau hadiah-hadiah lainnya akan membuat pemilik klub menjadi kaya raya. Tapi coba diingat: jersey misalnya, klub paling hanya menerima sekitar 10-15 persen dari hasil penjualan. Sementara pemasukan lainnya tidak sebanding dengan biaya transfer yang harus dikeluarkan setiap musimnya.
ADVERTISEMENT
Penggemar klub sepak bola manapun selalu menghendaki klubnya untuk belanja. Stagnansi memang dibenci, terutama di Liga top Eropa yang memang kompetitif. Tak belanja berarti membiarkan diri disalip. Kata Florentino Perez, si tajir pemilik Real Madrid itu, “kamu investasi (di sepak bola) persis seperti kamu berinvestasi di perusahaan besar.” Bedanya, tentu saja, bisnis di sepak bola seakan selalu lebih besar pasak daripada tiang. Terutama dengan harga transfer pemain yang makin gila-gilaan.
Hal ini selaras dengan apa yang disebutkan oleh Simon Kuper. Si penulis buku 'Why England Lose' itu pernah bilang, “Sepak bola itu didorong dengan emosi dan harapan yang terlewat tinggi.” Lalu Simon menambahkan, “Lalu Perez datang (ke Real Madrid) dan berkata: ‘Saya akan membawa masa-masa kejayaan dan membawa pemain-pemain yang menjanjikan.’ Meski di periode pertama kepemimpinannya gagal, itu tetap janji yang seduktif.” Itu yang bikin owner yang niatnya ingin kaya dari sepak bola selalu kelimpungan pada akhirnya perihal bagaimana mencari untung. Atau dibenci oleh fans-nya sendiri.
ADVERTISEMENT
Sehingga ya, mau tidak mau, pemilik klub sepak bola harus tampak seperti Sinterklas yang mengabulkan permohonan anak-anak baik di muka bumi ini. Makin top klubnya, maka makin besar pengeluaran dananya.
Lalu, kalau tidak bikin untung, apa yang bikin banyak orang tajir seperti Perez, Syekh Mansour, Nasser Al-Khelaifi, Roman Abramovic, dan masih banyak lagi, memilih sepak bola? Simon Kuper, dalam pengantar buku Soccernomics, menyatakan begini, “bagi kebanyakan pemilik klub sepak bola, mereka mengincar kemenangan daripada profit. Mengakuisisi sebuah klub sepak bola persis seperti membeli lukisan Picasso. Ya takkan untung. Tapi bisnis ini akan membuat anda terlihat keren di mata teman-teman anda. Kalau anda ingin jual juga, selama anda urusnya benar, anda masih bisa untung.”
ADVERTISEMENT
Kalau anda menyaksikan fakta dari pemilik klub di berbagai tim top Eropa, hal ini akan membuat anda dapat mengafirmatif apa yang dikatakan Simon sendiri. Berinvestasi di sepak bola memang lebih ke kepuasan batin daripada laba. Seorang pemilik klub seakan berlomba dengan pemilik klub lainnya agar dihormati karena menjadi pemilik klub tersukses di kolong langit ini.
Misalnya Galactico-nya Milan. Mulai di Era 80-an yang diisi bakat-bakat macam Ruud Gullit, Marco van Basten, dan kawan-kawan. Hingga di era 2000-an yang diisi bakat macam Dida, Cafu, Maldini, Nesta, Gatusso, Pirlo, Kaka, Shevchenko, Inzaghi, dan sebagainya. Di masa itu, semua orang rasanya tak hanya menaruh rasa takzim kepada AC Milan. Namun semua orang juga akan menaruh hormat kepada Silvio Berlusconi. Berlusconi, yang menjadi penguasa politik dan media serta memiliki bisnis properti kemudian mendapatkan hormat orang banyak. Ia lagipula, merupakan orang pertama yang memperlihatkan bahwa sepak bola merupakan komoditas yang – meski tak menguntungkan – tapi menarik.
ADVERTISEMENT
Florentino Perez. (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Florentino Perez. (Foto: Reuters)
Hal yang sama juga terjadi pada Florentino Perez. Dua periode Galactico ini digalakkan, dua periode pula dunia selalu menyukainya. Pemilik perusahaan konstruksi ACS – yang disebut The Local untung hingga 32 triliun Euro tahun lalu - tak segan mengeluarkan uang banyak demi membesarkan Real Madrid. Perez tentu saja tak hanya berani membayar mahal para pemainnya, namun juga tahu manajer mana yang cocok. Sehingga di tangan Perez-lah, Real bisa mencapai 12 trofi Liga Champions.
Mari kita menyeberang ke London. Kembali pada tahun 2013, Forbes menyebutkan bahwa manusia macam Roman Abramovic, dalam satu dekade belakangan, telah buang uang sebesar 2.97 milyar untuk bikin Chelsea menjadi klub Elite. Dan anda tahu, Roman jelas menikmati jabatannya dalam membangun Roman Empire di Stamford Bridge: ia bebas memecat siapapun. Roman membuat klub kelas pekerja ini kini menjadi perbincangan, atau bahkan, idola bagi kelas menengah di London sana.
ADVERTISEMENT
Serta jangan lupakan klub macam Manchester City dan PSG. Syekh Mansour sudi mengeluarkan uang keluarganya di Qatar dalam membawa tim ini menjadi tim elite. Dengan memboyong pemain-pemain yang akan meningkatkan publisitas media. Memperbaiki manajemen, dan tentu saja, membayar gaji manajer elite. Hingga merenovasi stadion.
Data dari Telegraph pada tahun 2012 menyebutkan City sudah habis hampir satu milyar poundsterling. Angkanya jelas akan jauh sekarang – mengingat transfer City, dan tentu saja, renovasi besar-besaran training ground yang digadang-gadangkan terbaik di dunia itu. Hal yang tak jauh beda juga berlaku pada PSG – mengingat cara keduanya membesarkan klub dapat dikatakan similar.
Maka dari itu, jika anda bermimpi untuk kaya dari memboyong klub sepak bola, coba anda pikir lagi. Karena tentu saja, selain untung tak seberapa dan pengeluaran sebesar Pegunungan Himalaya, anda juga harus siap jiwa lebih kuat dari baja. Karena jangan berpikir baiknya saja -- nama anda dielu-elukan oleh fans, klub anda menang banyak trofi. Jangan sampai nama anda disuruh out dari klub yang sudah keluarin duit banyak!
ADVERTISEMENT