Konten dari Pengguna

Hikayat Rasisme Lazio

Arif Utama
we all gonna die (hopefully soon)
24 Oktober 2017 23:57 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arif Utama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Hikayat Rasisme Lazio
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Presiden Lazio saat ini, Claudio Lotito, bukannya tak ada upaya dalam menunahkan rasisme dari tubuh Lazio. Namun Lotito perlu lebih dari niat untuk mengenyahkan rasisme dari tubuh Lazio. Meminjam judul salah satu artikel di Washington Post, melawan rasisme tak hanya melawan kata-kata. Di sana perlu jalan berliku dan terjal untuk menggugurkan nilai-nilai yang salah tapi kadung dianut. Melawan rasisme adalah melawan chauvinisme yang telah diturunkan turun-temurun. Mengakar dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya.
ADVERTISEMENT
Dan Lotito, pada akhirnya, menyadari hal itu. Pasca laga Lazio kontra Cagliari dinihari lalu (23/10), Lazio terancam sanksi. Lotito mungkin akan lupa fakta bahwa Simone Inzaghi berhasil membuat Lazio menang 3-0 atas Cagliari. Federasi sepak bola Italia akan menghukum Lazio untuk bertanding tanpa penonton. Di Curva North, “ultra” Lazio, sebagaimana dilansir di ESPN, dikatakan telah menempelkan stiker Anne Frank, dengan baju AS Roma, di Stadio Olimpico.
Tentu saja, ini bermaksud negatif. “Ini bukan curva, ini bukan sepak bola, ini bukan olahraga. Tolong enyahkan anti-semit dari stadion,” jelas Ruth Dureghello, Presiden dari Komunitas Yahudi Roma. Pun Menteri Luar Negeri Italia, Angelino Alfano, mengutarakan kegeramannya. “Anne Frank tak hanya merepresentasikan sekelompok orang atau etnik tertentu. Kita semua Anne Frank ketika berhadapan dengan kengerian,” dikutip dari Statesman.
Hikayat Rasisme Lazio (1)
zoom-in-whitePerbesar
Lalu, mengapa Anne Frank? Anne Frank adalah saksi nyata sekaligus korban dari dosa terbesar Jerman –Holocaust. Ia adalah korban Holocaust yang paling banyak didiskusikan. Sebabnya? Adalah catatan-catatan, yang kemudian dibukukan itu, berhasil membuka mata dunia betapa kejinya kamp Auschwitz. Auschwitz adalah tempat di mana para Yahudi yang tertangkap disiksa. Lalu dibunuh. Catatan yang ia tulis dalam rasa takut itu menjadi inspirasi, sekaligus pengingat, mengapa rasisme itu nyata.
ADVERTISEMENT
Bagi mereka yang percaya Yahudi licik – dan stereotipe lainnya, tentu saja, membaca catatan ngeri Anne Frank ini adalah hiburan. Mereka akan membela aksi Adolf Hitler dengan menyebut bahwa Yahudi kini menguasai dunia – dengan segala teori konspirasi yang ada di internet. Benang merahnya dengan aksi Laziale, klub ini adalah klub kesayangan Benito Mussolini. Dan bagi mereka yang berpaham fasisme, kebanyakan mendukung klub ini.
Ini tentu saja bukan kejadian pertama. Lazio kerapkali menyamakan kebencian mereka terhadap Yahudi dan AS Roma. Berdasarkan laporan ESPN, memang mereka tak kapok menjadi biang kerok. Mereka mengintimidasi pemain Sparta Prague dengan nyanyian rasisme. Salah satu pemain mereka disebutkan merupakan eks-pemain AS Roma, dua musim lalu. Mereka lalu dihukum di laga Europa League berikutnya kala Lazio bersua wakil Belgia, Zulte Waregem dengan pertandingan tanpa penonton. Ini gambaran awal saja betapa akutnya rasisme di Lazio.
Hikayat Rasisme Lazio (2)
zoom-in-whitePerbesar
Mari kita mulai ke hal yang lebih brutal. Di tahun 1998, Lazio juga pernah membentangkan sebuah spanduk yang diarahkan kepada supporter Roma. Mungkin Christian Vieri masih ingat, atau Pavel Nedved, atau Dejan Stankovic, atau Roberto Mancini – dan mungkin pula mereka kaget. Mungkin mereka setuju, mungkin mereka melawan. Tak ada yang tak tahu. Adapun yang pasti, penggemar Roma langsung naik pitam melihatnya. Spanduk itu bertuliskan, “Auschwitz adalah tanah airmu; Oven adalah rumahmu.”
ADVERTISEMENT
Lalu, pada tahun 2005, Lazio juga pernah tertangkap basah kala membentangkan spanduk ini di Stadio Olimpico, “Tim Kulit Hitam, Masyarakat Yahudi.” Masih untuk penggemar AS Roma juga? Masih. Kemudian Paolo Di Canio melakukan Nazi Salute di depan Laziale. Mereka berpesta pora. Idola mereka, Di Canio dihukum. Didenda serta dihukum dengan larangan bermain oleh FIGC. Di Canio, sebagaimana dilansir di Telegraph, menganggap ini persoalan remeh temeh. “Aku tidak rasis, hanya fasis,” jelasnya dengan seronok.
Dan ya, kalau anda berpikir bahwa Laziale juga membenci kulit hitam, kala mereka membentangkan spanduk tersebut pada 2005, itu juga ditujukan untuk pemain kulit hitam yang dimiliki AS Roma. Pun pada musim ini, kala Lazio membantai Sassuolo 6-1 pada awal Oktober lalu, kebencian tersebut masih bisa tercium aromanya. Stadion announcer sampai memberi peringatan bahwa pertandingan akan dihentikan jika chants rasis tetap berkumandang. Sebagaimana dilansir dari ESPN, adalah Claud Adjapong, youngsters Italia berdarah Ghana, dan Alfred Duncan, dari Ghana, menjadi bulan-bulanan Laziale.
ADVERTISEMENT
Tentu sangat tak elok jika sebagai manusia yang waras kita diam kala rasisme di depan mata. Dan masyarakat Italia juga tahu ini. Selain rasa berang dari Komunitas Yahudi dan Pejabat Negara, media juga turut membantu dalam pemberantasan rasisme. Salah satu media di Italia menjadikan wajah Anne Frank, dengan berbagai kostum klub Serie A, sebagai gambar pelengkap headline-nya, “Kita Semua Anne Frank.”
Pun sebagaimana dilansir Statesman, sekelumit kisah Anne Frank akan dibacakan dalam one minute of silence dalam seluruh kompetisi Italia pada minggu ini. Keputusan FIGC ini mencakup semua– Serie A, B, C, Liga Amatir hingga Youth Games. Serta Claudio Lotito itu sendiri bahkan telah menyebutkan bahwa ia hendak mengirim perjalanan rutin ke Auschwitz. Dengan 200 orang Laziale di bawa ke sana untuk mengedukasi Laziale.
ADVERTISEMENT
Memang melawan rasisme jelas takkan sekali jadi. Tapi ini, tetap saja, adalah awal yang baik untuk melawan citra rasisme yang kadung melekat pada diri Lazio.
Arif Utama (Foto: kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Arif Utama (Foto: kumparan)