Konten dari Pengguna

Jose Mourinho dan Seni Masa Bodo

Arif Utama
we all gonna die (hopefully soon)
29 Oktober 2017 10:20 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arif Utama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jose Mourinho dan Seni Masa Bodo
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Sepak bola, bagi sebagian orang, bukan hanya sekedar olahraga di mana dua tim – yang tiap timnya berisi sebelas orang – saling mengejar satu bola untuk dimasukkan kedalam gawang. Bagi penganut sepak bola yang saleh, ia lebih dari itu. Cruyff, dalam sebuah wawancara di The Guardian, berkata begini, “Ini semua persis seperti di sepak bola dan kehidupan. Kamu perlu melihat, berpikir, bergerak, dan menolong orang lain. Simpel.” Pola pikir Cruyff, tercermin kala ia menjadi pelatih.
ADVERTISEMENT
Pola pikir terbentuk dari latar belakang, dan pengetahuan. Cryuff seorang penyerang, seorang ballerina di lapangan, dan ia terobsesi dengan keindahan sebab gaya permainan Rinus Michels dan sepak bola total voetbal yang termasyhur di era 70-an. Suatu masa, kala Belanda dikalahkan Jerman Barat di tahun 1974, Cruyff dengan pongahnya bilang lebih baik kalah dengan bermain indah daripada menang dengan bermain jelek.
Obsesi Cruyff kemudian membuat ia menyempurnakan total voetal. Berbeda dengan Rinus Michels dan sepak bola umpan pendek dan penuh pressing itu, taktik Cruyff tidak begitu menghabiskan tenaga. Setiap individu memiliki zonanya yang harus dijaga, sehingga peran tiap pemain jadi tak ruwet. Pun Cruyff juga mewariskan false 9 – striker “bohong” yang mengharuskan menelurkan kreativitas dalam memancing bek membuat kesalahan untuk membuka ruang bagi rekan-rekannya.
Cruyff memang patut mendapat penghargaan. (Foto: AP Photo/Manu Fernandez)
zoom-in-whitePerbesar
Cruyff memang patut mendapat penghargaan. (Foto: AP Photo/Manu Fernandez)
Kemudian, taktik Cruyff dibawa ke level lanjutan oleh Pep Guardiola, dengan kiper yang turut berperan dalam mengatur serangan dan aturan menekan pemain setelah kehilangan enam bola selama enam detik. Kita kenal taktik Pep dengan nama tiki taka.
ADVERTISEMENT
Lalu, mari berbicara tentang Mourinho. Kalau kita berbicara tentang Pep atau Cruyff selalu banjir puja dan puji atas sepak bola indahnya, nama Mourinho justru banjir cemoohan atas sepak bola pragmatisnya. Misalnya, kala ia menahan Liverpool di Anfield (14/10) lalu. Situasi ini justru berbeda jika kita berbicara dengan Tottenham yang justru mampu mempermalukan Liverpool 4-1 di Wembley.
Jose jelas tahu bahwa seberapa jeleknya bek Liverpool. Mereka punya Lukaku yang moncer mencetak gol, dengan ditopang pemain yang penuh kreativitas macam Henrikh Mkhitaryan, Anthony Martial, dan lainnya. Tapi ia tahu itu Anfield. Ia menuruti apa yang sempat dituliskan oleh Jorge Valdano, eks-striker Argentina, sebagai siasat dalam taktik di pertandingan besar: bikin situasi yang kontras antara atmosfir stadion dan kualitas pertandingan secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
Jose jelas takkan bisa untuk tiba-tiba mengubah cara pandang hidupnya seperti Cruyff atau Pep yang dipuja karena sepak bola indahnya. We cannot please anyone, anyway. Bagi Mourinho, sepak bola bukan perihal menolong orang – tapi mencapai tujuan. Dan kemenangan, entah bagaimana direngkuh, tetaplah kemenangan. Berbeda dengan Cruyff yang bangga dengan kekalahan tapi berprinsip, Mourinho tahu bahwa pada akhirnya tidak ada yang indah dalam kemenangan. Sejarah hanya mencatat pemenang, dan sama seperti perang, sepak bola tak memiliki ruang untuk si nomor dua.
Adapun yang mempengaruhi pola pikirnya, Jose memula karier dari cara yang sulit. Ia tidak dididik di akademi terbaik dan berkembang di klub terbaik untuk merepresentasikan Negara terbaik. Pernah dengar Comércio e Indústria? Itu klub terakhirnya di Portugal sebelum ia memutuskan gantung sepatu dan mengambil sekolah kepelatihan. Derita tak selesai sampai di situ. Dipanggil oleh eks-Presiden Barcelona, Josep Lluis Nunez, sebagai “Sang Penerjemah.” Ditolak Barcelona pada tahun 2008 karena dianggap tak cukup baik untuk klub sebesar itu.
ADVERTISEMENT
Dan sialnya, sepak bola memang tak pernah mengapresiasi seni bertahan. Jelas sangat berbeda dengan American Football/Rugby atau Basket yang sangat memuji seni bertahan. Di sepak bola, bermain bertahan adalah ciri pecundang. Mungkin hanya Porto yang tak pernah mengkritik sepak bola pragmatisnya. Kala di Chelsea selama dua periode, adalah yang dikritik dari Jose adalah kegagalannya bermain cantik.
Dari generasi Didier Drogba hingga Eden Hazard, ia dianggap tak mampu memanfaatkan skuad yang ada. Pun begitu pula di Real Madrid di mana ia disebut tak mampu membuat Santiago Bernabeu kegirangan atas sepak bola indah meski sudah memiliki pemain sekaliber Cristiano Ronaldo. Serta di Inter kasusnya sama juga dengan pemain seperti Wesley Sneijder di timnya.
ADVERTISEMENT
Namun mencela bahwa Jose hanya menyuruh pemain bertahan saja jelas adalah tudingan yang jahat bagi Jose. Kalau anda menduga Jose hanyalah seorang dungu, anda jelas salah. Jose adalah seorang yang cerdas, dan butuh intelektualitas lebih untuk bermain adaptif. Jose bahkan mengaku bahwa menonton berkali-kali pertandingan lawannya adalah kebiasaannya. Membuat analisis kekuatan lawannya, dan kelemahan yang bisa dieksploitasi lawannya.
Jose bersabda, sebagaimana dilansir Tribuna Expresso, “saya menyaksikan 8 pertandingan Ajax. Di Inggris saya menonton 2-3 pertandingan karena saya tahu lawannya bagaimana, tapi kasus itu beda di Eropa. Untukku, menganalisa lawan itu kunci karena caraku melatih dan bermain kemudian terpengaruhi oleh itu.” Pun juga Jose berkata dalam interview yang sama itu, “Mereka bilang Ajax bermain sepak bola cantik dan itu penting dan bla, bla, bla. Kubilang kepada pemainku bahwa, untukku, keindahan adalah tidak memberikan lawanmu apa yang mereka mau.”
ADVERTISEMENT
Tapi sama seperti Cruyff, atau Pep, ia gigih dengan caranya. Kegagalan demi kegagalan membuatnya terbentur, terbentur, dan terbentur. Ia bukan idealis, ia seorang yang memandang hidupnya dengan cara yang realistis. Saya bisa bayangkan Jose duduk di sebuah coffee shop sambil membaca buku The Subtle Art Not Giving a F-nya Mark Manson. Buku itu, lagipula, adalah cerminan dirinya – penuh dengan kalimat brutal, namun, kita semua tahu itulah kebenaran.
Itu yang membuatnya berani melabeli dirinya sendiri sebagai The Special One. Itu yang membuatnya berhasil memenangkan trofi Champions League di FC Porto dan Inter Milan. Dan sejumlah kejayaan domestik Spanyol dan di Inggris. Ini yang bikin dia berani bilang, sebagaimana dalam wawancara pasca-pertandingan Man United v Spurs (28/10) lalu, “beberapa orang memang kelewat cerewet,” dan seringkali berhasil membuat mereka yang membenci sepak bolanya terdiam. Jose, dan sikap masa bodonya ini, membuat Jose bisa bertahan dalam bisnis paling gila ini.
ADVERTISEMENT