Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Maurizio Sarri dan Jaket Jeleknya
24 Oktober 2017 12:43 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
Tulisan dari Arif Utama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Si cuntos audis alii itedebunt te,” jika engkau mendengarkan semua orang, maka orang-orang akan menertawakan engkau. Kala kedatangannya, Maurizio Sarri tahu bahwa ia tak diinginkan oleh masyarakat Naples. Pada awal musim 15/16, Diego Maradona bahkan blak-blakan bilang bahwa Sarri tak seujung kuku-pun memiliki kapabilitas yang dimiliki oleh Benitez. “Kita takkan punya Napoli yang jawara di tangannya,” jelas “Sang Tuhan” bagi Napoli itu.
ADVERTISEMENT
Di musim itupun, fans Napoli mengamini apa yang dikatakan Maradona. Ia, lagipula, bermula dari bukan siapa-siapa. Di Serie A, hanya Carpi yang mampu menjual tiket lebih sedikit daripada Napoli. Prestasi terbesarnya hanya membawa sebuah klub kecil di Florence, Empoli, promosi dan bertahan di peringkat ke-15 Serie A. Ia, kebanyakan memegang klub kasta di bawah Serie A. Napoli, kala itu, hanya bersaing dengan AC Milan untuk mendatangkan manajer yang tumbuh di Tuscany ini.
Pun jangan tanyakan soal pilihan fashion-nya: sungguh jelek.
Berbeda dengan Antonio Conte atau Pep Guardiola yang akan membuat kesan pertama yang baik dari cara mereka berpakaian, aspek ini luput dari Sarri sendiri. Dalam komunikasi, kesan pertama itu penting – dan salah satu cara paling ampuh membangun impresi pertama yang baik adalah dari cara berpakaian seseorang. Meski ada pepatah "Don’t judge by its cover", sudah titahnya manusia menilai dari rupa dahulu. Dan kalau dari rupanya, kita kasih Sarri topi. Sehingga dari kejauhan akan sulit membedakannya dengan Tony Pulis.
ADVERTISEMENT
Tapi pepatah latin yang saya jadikan pembuka tulisan ini seakan sudah diresapi betul oleh Sarri. Sarri mengenakan jaket jelek yang sama (ya, mungkin beda, tergantung sponsor klub juga) kala dikenakannya sejak awal mula kariernya. Mungkin untuk mengingatkan dirinya siapa dirinya dan dari mana ia bermula. Hal ini yang membuatnya sejak perdana kali diperkenalkan Aurelio De Launtiis sebagai manajer teranyar klub ini, tampak tak memiliki beban.
Ia justru tampak betul-betul bahagia. Bahagia dengan hidupnya. Bahagia dengan jaket jeleknya. “Saya gembira melakukan ini untuk hidup saya,” jelasnya. “Kalau tahun depan saya mula lagi dari dasar Serie A atau justru Serie B, ya sudah. Saya juga tidak berharap banyak. Saya akan terus menggunakan jaket (jelek) saya di bangku cadadangan. Nah, kalau presiden meminta saya mengganti (jaket) dengan jas mewah untuk wawancara, saya bisa. Tapi ya, saya tetap dengan jaket saya kalau di bangku cadangan.”
ADVERTISEMENT
Tak lama setelah perkenalan itu, semua orang terkejut. Ok, mungkin berkonotasi positif pada awalnya. Napoli hanya berhasil merengkuh dua poin dari tiga laga perdana di Serie A musim 15/16. Protes di mana-mana dan Maradona sudah memasang tampang jengkel yang ingin membuatnya berkata, “Sudah kubilang.” Tapi Sarri tampak tenang. Dan di akhir musim tersebut, ia menjadi jawara paruh musim. Hanya nasib sial saja yang pada akhirnya membuat Napoli kalah dari Juventus dalam perebutan jawara Serie A.
Sarri, di musim tersebut, berhasil memaksimalkan El Pipita, Gonzalo Higuain. 36 gol dilesakkan oleh Higuain sehingga Juventus sudi menebusnya dengan harga mahal. Namun tak hanya Higuain yang berkembang – Marek Hamsik menuju level lainnya bersama Sarri, begitu juga dengan Lorenzo Insigne. Nama terakhir yang saya singgung, adalah kesayangan Sarri. Kata beliau, “Menurut Arigo Sacchi, ia (Insigne) adalah pemain paling berbakat di Italia saat ini.”
ADVERTISEMENT
Sehingga, pasca kehilangan Higuain di musim berikutnya (16/17), Sarri hanya berupaya memaksimalkan bakat yang sudah terlampau baik. Pemain macam Insigne disokong dengan formasi 4-3-3 dengan kebebasan untuk menempatkan diri di mana saja. Ditambah dengan transformasi mulus Dries Mertens mengemban peran nomer 9, serta Jose Callejon, Fauzi Ghoulam, Diawara, Jorginho, dan masih banyak lagi bakat di Napoli , lengkaplah sudah.
Napoli menjadi tim yang dapat bermain secara bebas, namun tetap beraturan. Terlihat liar, namun sesungguhnya disiplin. Di musim tersebut, ia pernah sampai 11 laga tak terkalahkan. Ini yang membuatnya lagi-lagi mampu memimpin klasmen saat ini. Salah satu pertandingan Napoli yang jelas tak terlupa adalah, kala Napoli melawan Real Madrid di Santiago Bernabeu.
ADVERTISEMENT
Adapun yang unik dari pertandingan ini, jelas Napoli tidak bermain reaktif khas catenaccio. Sarri, seperti ia tak memutuskan siapapun menilai caranya berpakaian, memutuskan untuk bermain dengan cara Napoli. Mereka inisiatif mengambil serangan. Malah, mereka sempat mencuri angka berkat umpan Hamsik yang berhasil dieksekusi dengan ciamik oleh Insigne. Satu-satunya sebab mengapa mereka kalah, lawan mereka itu Real Madrid (bahkan Juve kalah kan, dari Real Madrid?)
Kini, tantangan Sarri tentu saja untuk tak hanya bermain cantik atau sekedar bertahan agar lolos ke Liga Champions. Mereka sedang berada di puncak Serie A, dan kini, Juventus sedang terseok-seok. Mungkin belum pasti apakah Sarri akan jawara atau tidak, tapi apapun itu, Sarri takkan menanggalkan jaket jeleknya. Di sanalah, sejarah, darah, dan doanya selama ini. “Untukku, ini merupakan sebuah berkah untuk memiliki karier yang bermula dari dasar,” jelasnya. “Ini menjadi pelajaran, karena berbagai level akan membuatmu belajar banyak, dan tumbuh lebih besar. Aku rasa ini adalah jalur di mana, secara keseluruhan, semua orang patut melakukannya.”
ADVERTISEMENT