Setelah enam bulan kepergian kakek

Arif Utama
we all gonna die (hopefully soon)
Konten dari Pengguna
8 Januari 2017 20:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arif Utama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Enam bulan setelah kepergian kakek, aku akhirnya pulang. Aku tak bisa lagi menahan paksaan ibu yang terus mendesakku pulang. Ibu memelukku di bandar udara. Di perjalanan menuju rumah, ibu berkata bahwa nenek sakit. Dan air mukanya menunjukkan kecemasan. Ibu tak pernah seperti ini sebelum-sebelumnya. Setelah kepergian kakek, aku rasa ibu belum siap untuk kehilangan seseorang yang ia sangat sayangi dalam jangka dekat ini.
ADVERTISEMENT
Aku mencoba merajut percakapan yang menyenangkan untuk menghibur perasaan ibu. Semisal bertanya bagaimana kenakalan adikku yang baru masuk masa remaja. Bagaimana ayah – dan lelucon tak lucunya yang sering kami tertawakan. Dan apakah nenek masih cerewet setelah ia sakit. Tentu saja, aku juga bercerita tentang hal-hal konyol yang aku alami selama di tanah rantau.
Tetapi, tiap kali membuka percakapan, kalimatku selalu dibelokkan untuk membahas kakek.
Kakek, kakek, dan kakek.
Leluconnya, petuahnya, dan hal-hal yang beliau pernah ceritakan. Saking seringnya ibu menceritakannya, tiba-tiba aku dapat mengenang jelas tawa kakek. Raut gembiranya. Leluconnya. Bagaimana ia membangunkanku untuk menonton Liga Champions. Wajahnya yang tenang saat memberikanku petuah. Aku mengenang semua itu dengan jelas. Seolah kematiannya baru terjadi kemarin.
ADVERTISEMENT
Di rumah, aku juga melihat rumah ini tak jauh berubah secara fisik. Karena tak berubah, aku bisa membayangkan sekaligus merindukan kakek. Bahkan aku hafal rutinitasnya di kepalaku. Saat pagi, ia akan ke teras rumah untuk menikmati udara dan matahari sembari menunggu tetangga-tetangga menyapa lalu membuka obrolan dengannya. Siangnya, ia akan ke ruang makan untuk, antara meminta dibuatkan mie instan atau dibelikan nasi padang dengan jangek beserta kuah nangka. Sorenya, ia akan berada diantara diomeli nenek karena kecing di lantai atau aku yang akan mengepel lantai agar ia tak diomeli. Malamnya, ia akan meminta martabak, nasi uduk, ayam crispy, mie kangkung sebagai santapannya dan lalu tidur. Terkadang, ia juga akan bangun larut malam dan bertanya apakah pagi sudah tiba atau tidak.
ADVERTISEMENT
Selain ibu, kusadari ayah, adikku, dan nenekku juga merasakan hal yang tak jauh beda saat aku di rumah. Mereka, sama seperti ibu, seringkali tiba-tiba menghubungkan obrolan keluarga dengan membicarakan kakek. Saat bicara banyak hal di ruang makan, bisa saja tiba-tiba adikku akan berkata, “dulu waktu kakek masih ada, dia bisa kencing terus ribut sama nenek!” Ayah dan nenek juga tak jauh beda. Bahkan nenek, aku rasa, telah menjadi seorang perindu. Tiap malam ia memintaku untuk menemaninya bercerita atau bercakap hingga ia tidur pulas.
Pernah nenek bertanya begini saat aku menemaninya, “Apa pernah kakekmu muncul dalam mimpimu?”
Aku mengangguk.
Setelah kematian kakek, aku merasa bahwa aku memikirkan banyak hal. Terutama kematian. Sesekali aku berpikir apakah kakek meninggal masuk surga atau neraka. Atau bahkan, sebagaimana yang dikisahkan dalam film horor, jiwanya masih ada di dunia ini. Atau sebagaimana yang dikatakan oleh Albert Camus – tak ada surga dan neraka. Aku terlalu menyukai musik “Putih” dari Efek Rumah Kaca atau “Let it Happen” dari Tame Impala dan musik-musik bertemakan kematian.
ADVERTISEMENT
Atau jika tidak berbicara tentang kematian, terkadang aku bercermin dan menyaksikan wajah kakek ada di wajahku. Aku merasa telah menjadi manusia penyabar – atau jika kau keberatan, akan aku katakan, manusia pemendam. Aku tak pernah ingin orang-orang tahu apa yang menjadi bebanku. Kakek pernah membersihkan darahnya sendiri pada pukul dua jauh-jauh hari sebelum kematiannya, dan aku merasa, aku akan melakukan hal yang serupa. Pelan-pelan aku menyadari rasa malu kakek saat orang-orang mulai mengasihaninya. Dan ia betul-betul benci dikasihani.
Juga, kepergiannya mempengaruhi ambisiku. Mimpi-mimpiku menjadi sangat sederhana: aku hanya ingin menikah, hidup bahagia berkeluarga, mengemban tanggung jawab secara amanah, dan lalu menua bersama anak-cucuku seperti kakek. Tentu saja ada ambisi-ambisi lainnya seperti kuliah di Inggris atau meyakini dan menikahi pacarku sebelum nenekku tutup usia sesuai inginnya. Namun secara umum, aku memandang itu semua adalah bonus. Lama-lama aku menyadari bahwa kepergian orang yang sangat berpengaruh dalam hidupku seperti kakek dapat membuat pandanganku terhadap dunia yang kujalani berubah drastis.
ADVERTISEMENT
Setelah menjawabnya, aku kemudian bertanya balik pertanyaan yang sama.
Kata nenek, "Tidak. Tidak sedikitpun aku memimpikan kakekmu."
Aku terkaget bertanya kenapa. Air mukaku menunjukkan seakan aku tak rela andaikata ada anggota keluargaku yang tak mengenangnya.
Ia kemudian tertawa. Lalu ia menjelaskan bahwa dahulu, ia juga tak memimpikan ayahnya – buyutku – saat ia wafat dan ia tak tahu mengapa hal tersebut terjadi. Sebagaimana kepergian ayahnya, nenek tentu saja tetap rindu terhadap kakeknya.
Nenek kemudian menatapku dan berkata, “Maut memanglah tidak ada yang bisa menahan. Nenek tentu berharap bahwa umur nenek akan cukup untuk melihatmu menikah nanti. Tapi, andai nenek juga meninggal suatu saat nanti, aku tidak ingin kau pulang. Bagaimanapun, hidupmu harus tetap berlanjut. Kamu harus tetap jalani apa yang kamu rasa benar, cu."
ADVERTISEMENT