Konten dari Pengguna

Stagnansi Konami dan Kekecewaan Terhadap PES

Arif Utama
we all gonna die (hopefully soon)
23 September 2017 10:05 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arif Utama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Suatu hari pada tahun lalu,
Stagnansi Konami dan Kekecewaan Terhadap PES
zoom-in-whitePerbesar
Hideo Kojima, eks-vice president Konami, memutuskan untuk hengkang dari perusahaan yang membesarkannya. Kojima, yang melahirkan serial Metal Gear Solid (MGS) yang termasyhur itu, merasa perusahaan ini berjalan di tempat. Salah satunya adalah keinginan Kojima untuk lepas dari embel-embel MGS, namun tak dikehendaki oleh Konami. Pun pada akhirnya ia akhiri di seri ke-5 MGS, dan membuat Kojima Production - perusahaan miliknya sendiri.
ADVERTISEMENT
Pun jika dikatakan Konami adalah perusahaan kecil tentu bisa dikatakan benar, namun setidaknya dikekangnya manusia-manusia inovatif seperti Hideo Kojima adalah suatu bencana kenapa produsen game ini mengalami kemunduran.
Dave Cox, yang menjadi developer untuk Castelvania: Lords of Shadow baru-baru ini menyindir Konami sebagai perusahaan yang stagnan. Tak tentu arahnya mau kemana, "hidup segan mati tak mau". Kekecewaan ini ia dapat setelah 17 tahun hidup dan berkembang sebagai bagian dari menciptakan Castlevania menjadi game yang diperhitungkan.
Stagnansi adalah suatu hal yang berbahaya dalam hidup. Di suatu masa, Konami melahirkan game Game Grand Turismo yang memperkenalkan ide simulasi balap ke khalayak untuk pertama kalinya di saat pasar menghendaki sistem arcade. Game ini laku keras karena berhasil membawa sensasi balapan dunia nyata ke ranah simulasi.
ADVERTISEMENT
Pun MGS, yang AI-nya sangat cerdas sehingga satu misi bisa berakhir seharian, juga adalah inovasi lainnya yang dibuat oleh Konami. Thriller seperti Silent Hill, yang membuat Resident Evil tampak seperti pecundang, tentu masuk dalam daftar ini. Kedua game ini tak hanya kuat secara gameplay namun juga secara cerita. Cerita tentang Snake dan kloningannya, di masa game hanya game, kemudian membuka gerbang terhadap game sebagai sebuah kisah. Mereka bermain demi sebuah alur dan penggambaran selayaknya sebuah film.
Dan jangan lupa game International Superstar Soccer, yang kemudian berganti nama menjadi Winning Eleven/PES yang sempat mempecundangi FIFA selama beberapa tahun. PES menyajikan cutscene-cutscene ala TV yang membuatnya realistis pada masanya. Pun persoalan gameplay PES yang sangat asyik yang membuat FIFA terkatung-katung selama bertahun-tahun. Sialnya, sejak perkenalan dengan fitur "Became a Legend", tak ada lagi kemajuan. Padahal, langkah untuk berinovasi itu nyata, dan itu telah dilihat oleh EA dengan kelahiran "The Journey".
ADVERTISEMENT
"The Journey" adalah terusan ide dari "Be a Pro". Sementara "Be a Pro", yang diperkenalkan pada 2010 adalah contekan dari "Become a Legend" PES yang sudah ia perkenalkan pada 2008. Elemen-elemen di "Become a Legend" yang saat itu mendekati realistis, seperti cutscene-cutscene rekrutan pemain dan hal-hal remeh-temeh di luar lapangan dari sudut pandang personal membuat decik kagum. Namun, PES tak melihat sepak bola selayaknya FIFA yang mereka mulai dari kelahiran "Be a Pro": sepak bola seharusnya tak hanya soal permainan, ini tentang atmosfir dan cerita di dalamnya.
Pecinta sepak bola ingin mengenal bagaimana pemainnya. Menciptakan kisah mereka sendiri. Ingin meneruskan hasrat mereka yang ingin menjadi pesepak bola namun gagal. Menjadi seorang idola di lapangan. Bermain di final Champions League meski hanya dari sosok virtual. Dan inilah yang dilihat oleh FIFA, dan sayangnya, tak sempat tereksplorasi dengan sempurna oleh PES.
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa tahun, FIFA mengejar ketertinggalannya. Selain pemasaran yang masif, dan pendekatan personal yang realistis seperti ide Personality+ yang diperkenalkan pada edisi FIFA 11, mereka menghadirkan karakter nyata dalam game. Tak mungkin rasanya Joe Allen bisa keeping-keeping seperti Messi di FIFA selayanya yang bisa terjadi di PES. Pun persoalan atmosfir, penggunaan suara-suara dalam stadium menambah rasa realistis.
Game Pro Evolution Soccer 2017. (Foto: Konami)
zoom-in-whitePerbesar
Game Pro Evolution Soccer 2017. (Foto: Konami)
Anda benar-benar bisa merasakan bagaimana sorak-sorai penggemar perasaan Aguero yang nyekor di menit 90 saat melawan QPR di Premier League musim 2011/2012 di FIFA. Dan untuk lagi-lagi mendekatkan sepak bola menjadi sebuah kisah, FIFA melakukan sesuatu yang sudah harusnya dilakukan PES sejak lama: membuatnya menjadi kisah dengan "The Journey".
Harusnya, tentu saja, dengan sejarah membuat game dengan storyline bagus, PES bisa membuat cerita yang jauh lebih bagus daripada FIFA sejak tahun lalu. Namun potensi itu tak pernah dilihat. Bukan uang pada akhirnya yang membuat PES kalah dengan FIFA, karena jika hal itu terjadi PES tak mungkin merajai pasar kendati semua lisensi dipegang FIFA pada 90an hingga 2000an. Namun keengganannya sendiri untuk maju yang menahannya.
ADVERTISEMENT
Padahal, apakah EA memang sejago itu? EA boleh saja kaya, tapi mereka Paman Gober dalam dunia gaming: pelit. Anda bisa lihat upaya menguangkan gamer dari bagaimana mereka yang mencoba Star Wars Battleground kecewa dengan game yang tak sesuai dengan yang digembor-gemborkan di iklannya. Dan jangan lupakan EA adalah developer yang suka jual expansion pack, yang sebenarnya bisa langsung dipaketkan dengan game.
Sayangnya, lagi-lagi, PES hanya fokus dengan gameplay. Sejak kapan PES fokus dengan gameplay? Sejak edisi PES 2014. Begitu saja tanpa peningkatan di sisi lainnya. Padahal ruang peningkatan itu banyak: ada Career Mode yang harus ditingkatkan juga, online mode, atau paling mentok meningkatkan atmosfir stadion.
Sekali lagi, PES, yang menjadi game pertama saya dan membuat saya mencintai sepak bola, mengecewakan saya. Semoga Konami segera bangkit dan menentukan visi jika tak ingin terus dipecundangi nasib seperti ini. Semoga.
ADVERTISEMENT