We Were Stayed in Paris, Lucho

Arif Utama
we all gonna die (hopefully soon)
Konten dari Pengguna
8 Maret 2017 9:49 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arif Utama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Paris (Foto: Pixabay)
Mungkin Paris tidak seindah dikatakan orang-orang.
ADVERTISEMENT
Kota itu tidak romantis seperti bayangan anda di mana mungkin anda sempat berpikir anda dapat berdansa di bawah menara Eifel lalu dilanjut dengan makan malam romantis dengan kekasih anda. Malah, sepengetahuan saya dari internet, Paris memiliki udara yang bau dan masalah pelayanan kebersihan yang buruk.
Masalah orang-orang Paris yang lebih memilih menggunakan bahasa Perancis daripada bahasa Inggris kepada turis adalah hal yang menyebalkan lainnya. Serta jangan lupakan soal Paris Metro Journey yang sama sumpeknya dengan naik commuter line di Jabodetabek.
Akan tetapi, coba tanya kepada masyarakat paling awam sekalipun soal Paris. Mereka akan menjawab satu kata: romantis.
Paris bahkan, saya pandang, tak hanya sekadar berwujud soal kota. Namun ia telah menjadi sesuatu yang melebihi kota. Saat orang-orang berkata tentang Paris, itu bisa saja bermakna sesuatu. Sesuatu yang indah, dan terlalu tinggi untuk di gapai.
ADVERTISEMENT
Alex Pall dan Drew Taggart, yang merupakan duo dari The Chainsmoker, memiliki definisi sendiri tentang Paris.
Mereka mendefinisikan Paris sebagai “sebuah kerinduan sentimentil terhadap kenyataan yang tak nyata” – atau “sebuah momen di mana fantasi tentang masa lampau dan khalayan anda kembali bangkit.”
Dan tak hanya memiliki definisi, namun mereka menggubahnya menjadi sebuah lagu. Menambah panjang daftar lagu tentang kota – seperti New York New York yang pernah dinyanyikan Frank Sinatra yang termasyhur itu. Kla Project dengan Yogyakarta, dan terutama, Fariz RM dengan Barcelona.
Akan tetapi, berbeda dengan dua lagu yang saya sebutkan, lagu ini tidak digubah dengan kata-kata romantis. Lagu ini, tidak seperti lagu-lagu tentang kota, gagal untuk membuat anda membayangkan situasi kota tersebut yang digambarkan sangat indah dalam lagu.
ADVERTISEMENT
Malah, mereka berdua sepakat untuk menulis begini dalam chorus-nya,
if we go down, then, we go down together
We’ll get away with everything
Let’s show them we are better”
Karena memang itulah yang hendak dikatakan oleh keduanya. Paris, dalam dunia kekinian, telah menjelma selayaknya American Dream yang pernah secara implisit dituliskan oleh Scott Fitzgerald dalam The Great Gatsby.
American Dream yang membuat orang-orang berbondong-bondong ke Amerika, dan hal yang sama pula yang membuat orang-orang kini memimpikan Paris. Mereka berharap hidup mereka akan membaik setelah di Paris.
Padahal, tentu saja hal ini belum tentu adanya. Terutama hal ini disebabkan karena sebagian mereka memang memiliki modal nekat saja untuk pergi. Maka jangan heran jika tak sedikit orang-orang yang minggat Amerika yang malah pening karena krisis besar-besaran yang terjadi pada 1930-an.
ADVERTISEMENT
Mereka tidak menikmati bahagia di Amerika. Malah, mereka merasa tertekan di mana-mana. Terutama persoalan diskriminasi, cultural shock, dan kendala bahasa serta kesejahteraan. Hal yang serupa tentu saja dapat terjadi di Paris.
Pertanyaannya kemudian mungkin membumbung di kepala anda: kalau anda kira dahulu hidup anda tidak baik, apa yang membuat anda berpikir untuk minggat tanpa perencanaan yang matang akan membuat hidup anda lebih baik?
Bahkan, mereka yang memiliki perencanaan yang baik dapat luntang-lantung karena satu-dua faktor yang tak terkendali. Kalau tidak percaya, coba lihat kaki Iniesta yang kehilangan sentuhan magisnya. Begitupula Messi, Luis Suarez, Ivan Rakitic, Sergio Busquets dan hampir seluruh tim kecuali Neymar dan Ter Stegen.
Seluruh pemain Barcelona terpelongoh kala remaja tinggi cungkring macam Adrien Rabiot menggiring bola sesuka hati. Begitupula mereka tak berdaya melihat Marco Veratti memainkan seluruh tim Barcelona dengan passing indah.
ADVERTISEMENT
Serta jangan lupakan soal sontekan ajaib Di Maria yang berhasil memperlihatkan buruknya Barcelona dalam pertandingan leg pertama babak 16 Liga Champions yang mereka lakoni kala itu.
Empat gol bersarang di gawang Ter Stegen tanpa mampu dibalas Barcelona. Mereka kemudian pulang lesu dan terus memikirkan apa yang salah dari tim tersebut.
Bagi Barcelona, jelas ini adalah mimpi buruk. Tim macam Paris yang dinamai Paris Saint Germain jelas sudah sangat sering dikalahkan oleh mereka. Dan setelahnya, situasinya jadi sangat berat.
Tekanan datang kepada Lucho – panggilan Luis Enrique – karena taktikal mereka yang sudah tertebak. Mereka susah payah mengalahkan Leganes di kandang mereka sendiri. Sebelum kembali menjadi Barcelona yang dikenal lagi.
ADVERTISEMENT
Dan di saat itu, anda dapat melihat bahwa kata-kata gombal semacam pernyataan keinginan untuk selalu bersama dalam susah dan senang adalah sesuatu yang sulit dilakukan. Bersama jelas tak mudah, terutama jika klub yang anda pegang macam Barcelona dengan mimpi yang gila.
Segila gadis-gadis kekinian memimpikan Paris dengan lelaki tampan mengenakan tuksedo yang siap mengajak mereka kencan dan makan malah dengan sampanye terbaik dengan memandangi menara Eifel lalu berciuman di malam yang indah tersebut.
FC Barcelona jelas memimpikan juara dan selayaknya kota Barcelona, mereka terobsesi dengan keindahan. Dengan mimpi-mimpi indah yang ingin direngkuh menjadi kenyataan. Dan sialnya, Lucho kini menampakkan bahwa meski ia sempat membahagiakan cules kala membawa Barcelona treble pada 2015, ia bukan lelaki yang sama.
ADVERTISEMENT
Hal ini yang membuatnya mundur pada akhirnya – ia sadar bahwa Barcelona jelas membutuhkan figur lainnya yang lebih baik dan dapat memuaskan mimpi-mimpi Barcelona yang setinggi menara Eifel itu.
Sesuatu yang dapat membuat penggemar Barcelona dapat menikmati keindahan dan berangan besar. Tidak seperti saat ini.