Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
S.U.S.U
23 Maret 2019 8:04 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Arifin Asydhad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya sangat senang susu menjadi salah satu perbincangan dalam debat Cawapres 2019: Ma’ruf Amin vs Sandiaga Uno. Sangat jarang saya melihat atau mendengar susu menjadi topik pembahasan.
ADVERTISEMENT
Pembicaraan soal susu nyaris tak terdengar. Padahal susu merupakan nutrisi sangat penting buat masyarakat di semua lapisan umur. Susu makin terpinggirkan, padahal banyak persoalan yang perlu dicari solusinya.
Saya teringat pada awal 1980-an, saat saya masih duduk di Taman Kanak-kanak (TK) Pangrekso Putro. Sebuah TK yang biasa saja di Desa Mindahan, Kecamatan Batealit, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah--yang berjarak sekitar 15 KM dari pusat Kota Jepara.
Waktu itu, setiap minggu sekali, saya dan teman-teman selalu mendapat segelas susu gratis, plus satu gelas bubur kacang hijau. Di desa saya, jumlah anak yang bisa mengonsumsi susu di rumahnya mungkin hanya bisa dihitung jari.
Ketika Sandiaga Uno menyampaikan program pemberian susu dan kacang hijau saat debat, terus terang ini mengingatkan kembali masa lalu itu. Apakah program pemerintah zaman Orde Baru itu untuk mencegah stunting? Saat itu saya tak paham. Yang pasti, saya dan teman-senang-senang saja. Ceria-ceria saja--bahkan selalu menunggu.
ADVERTISEMENT
Saya tidak akan membahas apakah program pemberian susu dan kacang hijau itu efektif untuk mencegah stunting atau tidak. Yang saya ingin sampaikan bahwa saat ini Indonesia tertinggal begitu jauh dalam produksi dan konsumsi susu.
Produksi susu di Indonesia saat ini hanya sekitar 800 ribu ton per tahun. Bahkan, kawan saya yang sudah puluhan tahun bekerja di industri pengolahan susu bilang, nyatanya produksi susu Indonesia hanya mencapai 600 ribu ton per tahun.
Ini sangat jauh dari kebutuhan Indonesia yang diperkirakan sekitar 4 juta ton susu per tahun. Artinya, sekitar 3,2 juta ton susu, harus kita impor dari luar negeri bila ingin memenuhi kebutuhan untuk masyarakat Indonesia.
Konsumsi susu per kapita masyarakat Indonesia saat ini masih bertengger 12 liter per tahun. Posisi yang pertumbuhannya sangat lambat dan kalah jauh dibanding dengan Vietnam yang sudah mencapai di atas 20 liter per tahun.
ADVERTISEMENT
Dibanding Vietnam, Indonesia juga kalah jauh dalam hal produksi susu. Padahal, pada 1976, Vietnam mengirimkan para peternaknya ke Indonesia untuk belajar peternakan sapi perah, melihat dari dekat bagaimana Indonesia memproduksi susu.
Sejak zaman reformasi, persoalan susu dan sapi perah nyaris tak disentuh oleh pemerintah. Terlupakan! Bantuan-bantuan pemerintah untuk para peternak dan petani, terutama bantuan sapi, di daerah-daerah tak ada lagi. Begitu era Soeharto tumbang, bantuan sapi perah pun menghilang. Hingga kini.
Padahal, sejak 1970-an, sentra-sentra produksi susu tersebar di berbagai daerah di Jawa: baik di Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, maupun DKI Jakarta. Empat provinsi ini penyumbang 80 persen susu di Indonesia.
Jawa Barat, misalnya, merupakan sentra susu di Lembang dan Pangalengan di kawasan Bandung, Garut, dan Bogor. Kalau Jawa Tengah, ada di Boyolali, Salatiga, dan Klaten. Jawa Timur, ada di Pasuruan (Grati), Tulungagung, Blitar, dan Malang. DKI Jakarta, tersebar di berbagai kawasan. Bahkan, sisa peternakan sapi perah rakyat masih bisa disaksikan di kawasan Kuningan, Jakarta.
ADVERTISEMENT
Dari puluhan tahun lalu hingga kini, produksi susu di Indonesia masih didominasi oleh peternakan rakyat. Sebuah keluarga di sentra-sentra produksi susu itu memelihara 2-3 ekor sapi perah, tapi ada juga yang sampai 10-15 ekor. Kontribusi produksi susu dari mega farm juga masih kecil.
Sejak 1997, peternakan sapi perah rakyat tidak berkembang signifikan. Mereka tak terperhatikan. Koperasi-koperasi peternak susu yang selama ini mengayomi mereka, sempoyongan, bahkan ada yang mati. Padahal, peternak mendapatkan bantuan konsentrat, peralatan kandang, dan juga menjual susunya, karena bantuan koperasi ini.
Baru-baru ini saya bertemu Bu Rias Silvana, Ketua Koperasi Usaha Ternak (KUT) Suka Makmur, Grati, Kabupaten Pasuruan. Koperasi yang dipimpin Bu Rias ini merupakan salah satu koperasi yang bergerak dalam produksi susu.
ADVERTISEMENT
Bu Rias menceritakan bagaimana awalnya dulu Grati bisa menjadi sentra peternakan sapi perah rakyat. Peternakan sapi perah di Grati sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Pemerintah Belanda mendatangkan sapi-sapi Fries Holstein (FH) ke Grati dan membaginya ke masyarakat. Sapi ini di Belanda bisa menghasilkan 35-40 liter susu tiap hari, namun di Indonesia hanya bisa mencapai 15-25 liter per hari.
Sapi-sapi itu dipelihara masyarakat. Mereka mencari rumput, memberikan makan, membersihkan kandang, mengawinkan, dan memerah susunya. Namun, susu yang dihasilkan digunakan untuk memenuhi kebutuhan para bule Belanda yang tinggal di kawasan Grati dan sekitarnya.
Setelah Indonesia merdeka, sentra peternakan rakyat ini masih ada. Masyarakat tetap memelihara sapi perah dan memproduksi susu. Sekitar 1976, KUT Suka Makmur pun berdiri.
ADVERTISEMENT
Pemerintah saat itu mencoba mengembangkan kembali peternakan sapi perah rakyat ini. Sapi-sapi perah kembali didatangkan dan kemudian dibagi ke masyarakat dengan skema pinjaman yang tidak memberatkan.
“Sampai tahun 1997, masih ada dropping sapi perah untuk anggota koperasi. Tapi itu yang terakhir. Setelah itu, tidak ada lagi,” kata Bu Rias.
Dropping sapi perah bantuan Kementerian Koperasi dikelola koperasi dan didistribusikan ke peternak-peternak. Skema yang digunakan adalah pinjaman lunak jangka panjang. Peternak nyicil pinjamannya dengan 2 liter susu yang dihasilkan setiap hari pada saat sapi sedang laktasi.
Peternak senang karena kesejahteraannya meningkat. Peternak juga sangat terbantu dengan adanya koperasi yang bisa meringankan beban dalam memelihara sapi-sapi perah.
Memasuki era reformasi yang diawali tumbangnya rezim Soeharto, peternak rakyat di Grati tak tersentuh lagi. Meski begitu, semangat mereka masih menyala. Mereka masih memelihara sapi perah dengan upaya sendiri. Bantuan pemerintah barangkali hanya pada saat melakukan IB (inseminasi buatan).
ADVERTISEMENT
Lambat laun peternakan sapi perah rakyat ini sedikit demi sedikit bangkit. Koperasi melakukan sinergi dengan Industri Pengolahan Susu (IPS) dan peternak mendapat bantuan dari koperasi.
Koperasi membangun mesin pendingin sebagai tempat pengiriman susu yang disetor peternak. Dengan pos mesin pendingin di dekat sentra peternakan sapi perah rakyat, peternak dimudahkan saat menyetor susu perah yang dihasilkannya. Kualitas susu pun terjaga.
Oleh koperasi, susu dari peternak rakyat ini kemudian disetor ke IPS. Saat ini, harga susu di tingkat peternak sekitar Rp 5.500 per liter, sementara harga di tingkat koperasi sebesar Rp 6.500 per liter. Harga ini membaik dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Bu Rias mengaku saat ini anggota koperasinya mulai meningkat lagi setelah KUT Suka Makmur bersinergi dengan Frisian Flag. Harga susu cukup baik, sehingga harga susu di tingkat peternak juga makin baik. Sekarang jumlah anggota koperasi Suka Makmur sekitar 1.800 peternak, padahal di era sebelum Reformasi mencapai 4.000.
ADVERTISEMENT
Bu Rias sangat mengharapkan produksi susu di Indonesia meningkat lagi secara signifikan. Peternakan rakyat harus didukung. Karena itu, dia berharap pemerintah memiliki program pemberdayaan peternak rakyat yang bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Paling tidak, bantuan sapi perah untuk masyarakat diadakan lagi.
Yanto, seorang peternak sapi perah di Pasuruan, berharap yang sama. Pada 2013, dia hanya punya 2 ekor sapi. Saat ini, dia punya 9 ekor sapi. Biaya hidupnya sehari-hari bersama istri dan dua anaknya berasal dari produksi susu ini.
“Saya dan istri sebenarnya siap memelihara 15 ekor sapi. Kalau ada bantuan sapi perah, tentu saya sangat senang,” kata pria 32 tahun yang hanya lulusan SD ini.
ADVERTISEMENT
Yanto dan para peternak rakyat sapi perahannya tidak hanya butuh sapi perah. Mereka juga perlu meningkatkan pengetahuannya dalam memelihara sapi perah yang lebih efisien dan memproduksi susu yang berkualitas.
Mereka juga butuh mesin perah agar tenaga lebih efisien dan susu yang diperah lebih higienis. “Tapi kan harganya mahal,” ujar dia. Dia berterima kasih kalau ada pihak-pihak yang bisa memberi bantuan mesin perah.
Dengan produksi susu meningkat, diharapkan konsumsi masyarakat terhadap susu juga meningkat. Paling tidak, konsumsi per kapita susu masyarakat bisa mengejar Vietnam. Bisa jadi, untuk meningkatkan konsumsi per kapita, masih perlu program bagi-bagi susu gratis kepada anak-anak sekolah seperti dulu. Terutama kepada keluarga yang tidak mampu.