Tidak Mau Antre

Arifin Asydhad
Bekerja sebagai jurnalis sejak 1999. Berawal di Harian Politik Monitor, lanjut ke detikcom. Per Oktober 2016 menapaki babak baru di kumparan (www.kumparan.com)
Konten dari Pengguna
22 Juni 2020 9:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arifin Asydhad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Macet Jagorawi, 24 Desember 2019. Foto: ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya
zoom-in-whitePerbesar
Macet Jagorawi, 24 Desember 2019. Foto: ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebenarnya saya punya harapan orang-orang yang punya hobi minta akses jalan di jalan tol bertobat di era pandemi COVID-19 ini. Namun, ternyata harapan saya itu tinggal harapan. Senin pagi ini (22/6), kebiasaan orang meminta jalan, tidak mau antre di tengah kemacetan, itu menggila lagi.
ADVERTISEMENT
Ini kali pertama saya berangkat pagi dari Sentul City menuju Jakarta, setelah saya melakukan work from home (WFH) sejak 15 Maret lalu. Sebenarnya kantor masih memberlakukan WFH, tapi karena ada hal penting di kantor, maka saya pun berangkat pagi, sambil lihat bagaimana suasana Senin di tol Jagorawi.
Pemandangan Tol Jagorawi pagi ini sudah mirip dengan pemandangan sebelum COVID-19 melanda negeri ini. Macet sejak KM 19. Bila ada kemacetan, seperti biasa selalu ada orang-orang atau pengguna jalan yang tidak sabar dan ingin mengambil cara instan untuk meminta jalan.
Saya mencatat, perjalanan saya dari Sentul City menuju Jakarta diwarnai paling tidak dengan 4 kejadian orang-orang meminta akses jalan. Jumlah ini masih jauh lebih sedikit dibanding hari-hari sebelum pandemi terjadi.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya kalau mobil ambulans yang meminta jalan karena sangat urgent membawa orang sakit atau meninggal dunia, pasti para pengguna jalan juga mafhum. Tanpa disuruh pun, mereka akan memberi jalan selebar-lebarnya, meskipun kadang-kadang harus memberhentikan mobilnya atau mepet ke kanan atau kiri lajur, supaya ambulans bisa melaju cepat.
Namun, bila kendaraan yang meminta jalan dengan sirine yang keras, entah itu pejabat atau orang-orang yang sok seperti pejabat, para pengguna jalan itu bisa dipastikan menggerutu dulu, sebelum akhirnya juga tetap memberi jalan. Atau paling tidak, memberi jalan, tapi dengan menggelengkan kepala, sambil bergumam, “Duh Gusti, kapan ya kebiasaan buruk begini bisa hilang.”
Kalau pengguna jalannya religius, biasanya juga sambil mendoakan supaya orang-orang yang meminta jalan dan tidak mau antre itu sadar dan bertobat.
ADVERTISEMENT
Sudah pasti, bunyi sirine itu saja sudah sangat mengganggu pengguna jalan yang lain. Apalagi membunyikan sirine, sambil meminta jalan. Itu sudah pasti merugikan orang banyak. Semua orang sama-sama punya kepentingan yang mendesak. Kalau memang, dia memiliki agenda yang lebih awal, sebenarnya dia bisa berangkat dan menggunakan tol lebih pagi. Dia harus mengantisipasi waktu tempuh perjalanan. Dia bisa cek Google atau Waze untuk memprediksi berapa lama waktu tempuh menuju tujuan. Sebenarnya gampang, kalau memang punya niat.
Tapi karena dasarnya memang sudah ingin mendapatkan keistimewaan, hak eksklusif, dan menganggap pengguna jalan yang lain bukan orang penting, maka cara-cara kasar dan merugikan orang lain, mereka tempuh.
Memasang sirine di mobil itu sudah saja terlihat memang dia berniat untuk mencari keistimewaan. Jadi jangan bilang lagi dengan alasan darurat dan lain-lain. Itu alasan klise. Padahal, sudah ada aturan, mana kendaraan yang boleh pakai sirine, mana yang tidak.
ADVERTISEMENT
Selain menggunakan sirine, pengguna jalan yang malas antre juga biasanya menggunakan modus dikawal oleh Patwal. Ini biasanya dilakukan oleh pejabat-pejabat. Tapi banyak juga orang biasa yang bisa menggunakan Patwal. Yang kadang-kadang membuat hati ini tidak ikhlas, mereka itu menggunakan cara-cara yang mengganggu. Mereka tidak meniru Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Karena saya tinggal di Bogor, berkali-kali saya dibalap oleh Presiden dan rombongan. Tapi, Pak Presiden memilih menggunakan cara-cara yang sopan, meski rangkaian rombongannya panjang. Sirine mobil Pak Presiden itu terdengar pelan. Bunyi sirinenya tidak terus meraung-raung. Ada intervalnya. Bunyinya hanya: Tut..…tut……tut. Patwal yang mengawal juga tidak melajukan kendaraan dengan tinggi di kemacetan. Tapi berjalan pelan.
Kalau Presiden—orang nomor 1 di negeri ini—saja begitu, lha mengapa pejabat-pejabat atau orang-orang yang merasa sok pejabat itu menggunakan cara-cara yang melebihi Presiden? Apa mereka tidak malu?
ADVERTISEMENT
Mengapa saya berharap hobi meminta jalan di tengah kemacetan ini akan usai begitu kita menghadapi pandemi? Karena pandemi ini memberikan pelajaran yang sangat berharga, bagi orang-orang yang berakal. Kalau kita tidak bisa mengambil pelajaran dari pandemi ini, ya mending tidak usah jadi manusia. Karena manusia itu diciptakan beda dengan makhluk lain, karena Tuhan menganugerahkan akal.
Pandemi ini mengajarkan kita supaya peduli dengan orang lain. Jangan egois. Makanya, seseorang harus menjaga dirinya supaya tidak tertular COVID-19. Melakukan phyisical distancing, menggunakan masker, dan sering cuci tangan pakai sabun/hand sanitizer. Itu yang sering disampaikan Presiden Jokowi, Kepala Gugus Tugas Letjen Doni Monardo, bahkan pesan ini berulang-ulang disampaikan si cantik dr Reisa Broto Asmoro.
ADVERTISEMENT
Mengapa kita berusaha supaya tidak tertular? Karena kita bisa menularkan kembali ke orang lain. Bayangkan kalau yang kita tulari itu adalah orang tua kita atau saudara kita yang memiliki penyakit penyerta, terus kemudian nyawanya tidak tertolong. Kita pasti akan menyesal seumur hidup. Naudzubillahi min dzalik.
Kepedulian terhadap orang lain juga bisa dalam hal ekonomi. Saling membantu. Karena itu, di awal-awal COVID, banyak warga yang berlomba-lomba untuk mendonasikan sebagian hartanya untuk orang lain. Banyak orang yang bergotong royong memberikan bantuan, bukan malah merugikan. Karena COVID ini memberi dampak juga kepada orang-orang yang lemah ekonomi dan kaum papa. Banyak orang kehilangan pekerjaan. Banyak pekerja yang jadi korban PHK. Kita harus peduli dengan orang lain.
ADVERTISEMENT
Pelajaran lain, pandemi ini mengajarkan untuk disiplin, terutama taat untuk antre. Mau naik transportasi umum, penumpang harus antre. Jaga jarak. Panas-panasan, karena antrean bisa mengular seperti yang terlihat di Stasiun Kota Bogor dan halte-halte MRT beberapa waktu lalu. Kalau ada yang coba-coba tidak mau antre, pasti dia akan diteriakin.
Begitu juga sekarang kalau ada masyarakat yang datang ke mal. Harus antre untuk diperiksa oleh security. Dicek suhu badannya, diminta data-datanya, dan lain-lain. Begitu juga orang berbelanja di super market. Mereka harus antre untuk membeli. Semua dilakukan karena peduli dengan diri sendiri dan juga peduli dengan orang lain.
Jadi kalau sekarang, setelah pandemi, masih ada orang yang sok jago, mengorbankan dan merugikan pengguna jalan yang lain, tidak peduli dengan nasib pengguna jalan lain, itu harusnya sikap yang tidak boleh dilestarikan. Malu kita!
ADVERTISEMENT
ilustrator: Indra Fauzi/kumparan