Konten dari Pengguna

Menghadirkan Serangga ke Meja Makan

Arifin Muhammad Ade
Pemerhati Lingkungan dan Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika, IPB University
6 Juli 2025 12:59 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Menghadirkan Serangga ke Meja Makan
Di banyak negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin, serangga sudah lama menjadi bahan makanan yang bernilai tinggi.
Arifin Muhammad Ade
Tulisan dari Arifin Muhammad Ade tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi ChatGPT, Menghadirkan Serangga di Meja Makan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ChatGPT, Menghadirkan Serangga di Meja Makan
Hari ini, jika serangga dihidangkan di atas meja makan, maka akan menjadi hal yang menjijikkan bagi sebagian orang. Namun, siapa sangka jika serangga dulunya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari makanan lokal sehari-hari komunitas masyarakat di banyak budaya, terutama di masyarakat tradisional dan populasi pedesaan miskin di negara-negara terbelakang dan berkembang.
ADVERTISEMENT
Di banyak negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin, serangga sudah lama menjadi bahan makanan yang bernilai tinggi. Di Thailand, misalnya, jangkrik goreng menjadi camilan yang lezat, sementara di Meksiko, larva agave adalah bahan dasar dalam berbagai hidangan tradisional. Namun, potensi serangga untuk menjadi makanan utama belum sepenuhnya tergali di banyak bagian dunia, meskipun keberadaannya memiliki banyak manfaat dari sisi gizi dan keberlanjutan.
Menjadikan serangga sebagai sumber pangan alternatif tak terlepas dari terus meningkatnya populasi manusia, sementara ketersediaan pangan cenderung stagnan. PBB memproyeksikan pada 2050 populasi dunia akan menyentuh angka 9 miliar jiwa. Ancaman kelaparan kian menghantui karena jumlah mulut yang harus diberi makan semakin banyak. Hal ini tentu akan menjadi permasalahan sulit di masa yang akan datang.
ADVERTISEMENT
Jauh sebelum itu, ahli biologi Universitas Stanford Paul Ehrlich mengklaim dalam bukunya "The Population Bomb" bahwa dunia akan kehabisan makanan, air, dan sumber daya lainnya tanpa langkah-langkah untuk mengendalikan populasi. Hal yang sama juga disampaikan Thomas Robert Malthus bahwa pertumbuhan populasi ibarat deret ukur, sementara pertambahan bahan makanan mengikuti deret hitung.
Di sisi lain, ketika upaya meningkatkan produktifitas pangan dengan mengalih-fungsikan lahan untuk sektor pertanian skala luas (baca: food estate) dan peternakan, maka akan melahirkan banyak masalah baru. Penelitian yang diterbitkan Nature Climate Change bertajuk “Future Warming from Global Food Consumption” pada 2023, menyebutkan bahwa 75% dari pemanasan global ini didorong oleh makanan sebagai sumber metana tertinggi.
Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa konsumsi susu dan daging bertanggung jawab atas lebih dari setengah pemanasan global pada tahun 2030-2100. Berdasarkan kelompok makanan, upaya penyediaan beras berkontribusi terhadap pemanasan global sebesar 19% sampai akhir abad ke-21. Sedangkan sayur-sayuran, biji-bijian, makanan laut, minyak, minuman, telur, dan buah-buahan berkontribusi kurang lebih 5%.
ADVERTISEMENT
Salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk menguraikan persoalan pangan di masa akan datang, guna menjawab tuntutan permintaan pangan global yang terus meningkat, sembari meminimalisir dampak negatif terhadap lingkungan, yaitu dengan mengeksplorasi serangga yang dapat dijadikan sebagai sumber pangan alternatif.
Berdasarkan laporan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) tercatat sekitar 1.900 spesies serangga yang aman untuk dikonsumsi manusia. Dalam buku "Creepy Crawly Cuisine: The Gourmet Guide to Edible Insects" (1998), juga diungkapkan beberapa spesies serangga yang kerap disantap manusia, antara lain 235 spesies kupu-kupu dan ngengat, 344 kumbang, 313 keluarga Hymenoptera, 239 jenis belalang dan jangkrik, hingga 39 jenis anai-anai.
Mengkonsumsi serangga juga dapat dikatakan “ramah lingkungan”. Laporan FAO Universitas Wageningen, Belanda pada 2013, bertajuk “Edible Insect: Future Prospects for Food and Feed Security” menyebutkan bahwa konsumsi serangga bisa membantu mengurangi polusi dan pemanasan global yang berujung perubahan iklim, juga meningkatkan asupan gizi dan mengatasi kelaparan.
ADVERTISEMENT
Konsumsi Serangga di Indonesia
Dalam buku “Serangga Layak Santap: Sumber Baru bagi Pangan dan Pakan” (2018), Prof. FG. Winarno menjelaskan bahwa serangga belum menjadi bagian menu masyarakat Indonesia karena pandangan masyarakat tentang pangan berbasis serangga masih terbelah. Serangga masih dianggap sebagai hama, padahal beberapa penelitian menunjukkan bahwa serangga memiliki peran besar sebagai sumber pangan dan menjadi alternatif dari junk food yang kurang menyehatkan.
Sebagai contoh, ada sayok (larva capung) yang dimasak pedas di daerah Danau Linow, Tomohon, Sulawesi Utara. Masyarakat Papua menjadikan ulat sagu sebagai sumber protein. Masyarakat Gunung Kidul di Yogyakarta menggoreng belalang. Di ujung timur Pulau Jawa, masyarakat setempat mengenal hidangan botok tawon, juga rempeyek laron. Tentunya masih banyak masyarakat lokal di negeri ini yang menjadikan serangga sebagai sumber pangan.
ADVERTISEMENT
Sebuah penelitian terbaru yang diterbitkan Scientific Report bertajuk “The Global Atlas of Edible Insects: Analysis of Diversity and Commonality Contributing to Food Systems and Sustainability” (2024), menempatkan Indonesia di urutan kelima sebagai negara yang mengkonsumsi beragam serangga. Tercatat 88 jenis serangga yang dikonsumsi di Indonesia. Penelitian tersebut juga menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat kehati serangga cukup tinggi.
Pemanfaatan serangga sebagai sumber pangan alternatif di masa depan memiliki prospek yang sangat menjanjikan. Dari segi ekonomi misalnya, memulai dan mengembangkan usaha serangga sebagai pangan sangat menguntungkan. Menjadikan serangga sebagai pangan alternatif juga ramah secara lingkungan, serta memiliki berbagai kandungan yang tentunya baik bagi kesehatan.
Terkait aspek ekonomi, serangga yang dapat dimakan merupakan solusi yang sangat baik, karena budidaya serangga merupakan kegiatan yang tidak memerlukan modal besar. Budidaya serangga juga membutuhkan lahan yang lebih sedikit dibandingkan dengan peternakan hewan lainnya. Namun memiliki keuntungan finansial yang besar dan cepat karena siklus hidup serangga jelas lebih pendek dibandingkan sumber protein lain dengan waktu reproduksi yang lebih singkat.
ADVERTISEMENT
Dari segi kesehatan, secara umum, pangan berbasis serangga merupakan sumber protein, karbohidrat, dan asam lemak dan vitamin yang baik dan penting bagi tumbuh. Penelitian dari Department of Chemistry, University of Athens, Yunani, tentang serangga yang dapat dimakan, mengungkapkan bahwa serangga mengandung gizi utama seperti karbohidrat (2,7-48,8 mg/kg), protein (20-76%), dan lemak (2-50%) (Papastavropoulou dkk, 2022).
Selanjutnya, secara ekologi, pemanfaatan lahan untuk ternak serangga dua hingga sepuluh kali lebih sedikit dibandingkan memproduksi protein hewani lainnya. Di samping itu, manfaat yang sangat penting dari budidaya serangga adalah berkurangnya emisi gas rumah kaca. Aspek positif lainnya yang tak kalah penting entomofagi secara ekologis adalah pemanenan serangga juga membantu mengurangi penggunaan pestisida dan insektisida.
ADVERTISEMENT
Sekilas, banyak serangga yang dapat dimakan dianggap sebagai hama bagi tanaman, yang mengakibatkan penggunaan pestisida dan insektisida secara sembarangan. Ketika serangga dimanfaatkan sebagai sumber makanan, secara otomatis penggunaan bahan-bahan kimia untuk serangga akan semakin berkurang. Hal ini dikarenakan orientasi mengumpulkan serangga adalah untuk konsumsi, bukan sekadar dimusnahkan.
Perdebatan terkait upaya pemenuhan pangan di masa akan datang tanpa mengabaikan aspek lingkungan, tentunya bisa dijawab dengan menengok kembali sumber pangan yang dikonsumsi para leluhur kita. Serangga sebagai salah satu sumber pangan alternatif yang telah lama menjadi kudapan para leluhur kita, dapat dijadikan sebagai solusi untuk menjawab ancaman kelangkaan pangan ke depan. Selain kaya nutrisi, ramah lingkungan, dan ekonomis, mengkonsumsi serangga berarti mengangkat kembali budaya pangan kita yang beranekaragam.
ADVERTISEMENT