Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Rimba Kata Hariadi Kartodihardjo: Mengenang Cendekiawan Lingkungan Hidup
4 Juni 2024 15:05 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Arifin Muhammad Ade tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, nama yang tidak asing lagi bagi para pemerhati lingkungan dan kehutanan di Indonesia. Guru besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Institut Pertanian Bogor (IPB) tersebut telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan di Indonesia. Ketika negeri ini diperhadapkan dengan segudang persoalan ekologis, ia hadir bagai setitik oase di tengah padang pasir.
ADVERTISEMENT
Selama bertahun-tahun ia menjadi salah satu tokoh terkemuka dalam kajian kebijakan lingkungan hidup dan kehutanan di Indonesia. Tidak hanya berkutat di dunia akademis, sosok yang akrab di sapa Prof. HK tersebut juga aktif terlibat dalam berbagai kegiatan advokasi dan kebijakan publik yang bertujuan untuk memperbaiki pengelolaan kehutanan dan lingkungan hidup di Indonesia.
Sebagai seorang akademisi, Prof HK telah melahirkan banyak karya dalam bentuk buku dan artikel ilmiah yang menjadi rujukan bagi para peneliti, praktisi, dan pembuat kebijakan. Karya-karyanya sering kali menyoroti pentingnya pendekatan yang berkelanjutan dalam pengelolaan hutan dan sumber daya alam, serta dampak sosial dan ekonomi dari kebijakan lingkungan.
Dilansir dari kompas.id (02/06), tercatat sudah ada 18 opininya yang dimuat di harian Kompas/Kompas.id sejak 2016. Secara konsisten ia berbicara tentang lingkungan hidup, pangan, agraria, masyarakat adat, desa, politik, hingga korupsi, sekaligus mengingatkan kita akan bahaya bencana alam yang mengintai jika tak ada perbaikan alam.
ADVERTISEMENT
Selain itu, salah satu kontribusi terbesar di luar aktivitasnya sebagai seorang dosen, Prof. Hariadi pernah menjadi Tenaga Ahli Kajian Perum Perhutani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2019. Ia juga pernah menjadi penasihat senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam bidang Kebijakan Tata Kelola Pengelolaan Sumber Daya Alam. Terbaru, sosok yang lahir di Jombang, 24 April 1958 itu menjadi salah satu dari 11 panelis debat calon wakil presiden kedua Pemilu 2024 pada Januari lalu.
Tidak hanya kontribusinya di dalam negeri, Prof HK juga aktif dalam forum-forum internasional. Ia berkontribusi dalam berbagai konferensi dan seminar internasional, membawa perspektif Indonesia dalam isu-isu global seperti perubahan iklim, deforestasi, dan konservasi biodiversitas. Aktivismenya tidak hanya terbatas pada ranah akademik, tetapi juga diimplementasikan dalam berbagai proyek lapangan yang melibatkan masyarakat lokal dalam upaya pelestarian lingkungan.
ADVERTISEMENT
Mengurai Krisis Ekosistem
Secara pribadi, saya tidak pernah bertemu secara langsung atau bertatap muka dengan Prof. Hariadi Kartodihardjo, walaupun beliau adalah dosen di Fakultas Kehutanan IPB dan saya adalah mahasiswa di fakultas yang sama. Jikalau bertemu pun, itu secara daring dalam berbagai seminar maupun kuliah umum di mana ia menjadi narasumber.
Tetapi, berkat sebuah buku berjudul “Di Balik Krisis Ekosistem: Pemikiran tentang Kehutanan dan Lingkungan Hidup”, saya dapat bertemu dan berkenalan dengan pemikirannya melalui untaian kata yang ia goreskan. Memang benar kata orang bijak, melalui tulisan kita dapat mengenal pemikiran seseorang, walau penulis tersebut adalah orang yang asing bagi kita.
Kumpulan tulisan yang ia bukukan tersebut membimbing para pembaca meneliti kepentingan, kekuatan, dan pemikiran di balik panggung-panggung yang menciptakan dan melestarikan krisis ekosistem. Di saat bersamaan buku tersebut menyuguhkan kekayaan data, ketajaman analisis, dan untaian refleksi perihal kepentingan, kekuatan, pemikiran di balik krisis ekosistem.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, Prof HK mengungkapkan, di balik krisis ekosistem terdapat cara pikir dan cara bertindak mengurus soal agraria kehutanan yang carut-marut. Misalnya, status hutan negara yang tidak legitimate. Putusan MK No 45/PUU-IX/2011 dan Putusan MK No 35/PUU-X/2012 menunjukkan bahwa pengaturan mengenai hak-hak agraria rakyat dalam UU No 41/1999 tentang Kehutanan melanggar hak konstitusional rakyat untuk mendapatkan jaminan hak kepemilikan atas tanah. Apa yang diistilahkan state capture terjadi di sini, yakni tanah milik rakyat dideklarasikan sebagai tanah dan hutan negara.
Buku setebal kurang lebih 500 halaman tersebut sangatlah istimewa. Bukan hanya karena datanya yang kaya, atau analisisnya yang mendalam, melainkan juga menyampaikan pesan reflektif yang layak disimak. Tema-tema persoalan yang diangkat relevan dengan situasi saat ini. Naskah yang ditulis sistematik dan mudah dipahami. Kritik pemikiran dan kelembagaan dikedepankan dan dibahas mendalam.
ADVERTISEMENT
Buku yang berisi 46 naskah tulisan tersebut secara tematis dikelompokkan dalam tujuh bab. Mulai dari isu terkait isu-isu pembangunan nasional bidang lingkungan hidup dan kehutanan, masalah transdisiplin dalam tata kelola lanskap, tenurial dan kawasan hutan, hingga masalah bad governance. Adapun sejumlah naskah berupa kritik terhadap pemikiran yang menjadi dasar tindakan dalam pengelolaan hutan, sumber daya alam lainnya, serta lingkungan hidup.
Amal Ekologis Cendekiawan Lingkungan
Stanza ketiga lagu Indonesia Raya di atas, yang jarang didengar itu, dikutip Prof HK dalam salah satu bukunya yang berjudul “Dosa dan Masa Depan Planet Kita: Percikan Pemikiran tantang Tata Kelola, Kebijakan, serta Politik Kehutanan dan Lingkungan Hidup”, sebagai gambaran tentang visi ke depan planet kita atau lebih khusus lagi bumi Indonesia ke depan.
ADVERTISEMENT
Buku yang diterbitkan pada 2021 lalu itu berisi kumpulan artikel yang tercecer di berbagai media massa yang mengulas tentang upaya membangun sinergitas dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Melalui buku tersebut kita ditunjukkan bahwa pengelolaan sumber daya alam tak cukup hanya berbekal ilmu pengetahuan dan kompetensi teknis.
Prof HK menekankan pentingnya etika yang harus dipertimbangkan. Sebab sumber daya alam adalah sebuah ruang tempat hidup manusia dan ekosistem. Tanpa etika, pengelolaan sumber daya alam akan melahirkan ilmu yang reduksionis, sekaligus tak peka terhadap ketimpangan dan ketidakadilan.
Pemikiran yang dituangkan dalam buku tersebut adalah sebuah refleksi dengan kritik, juga otokritik bagi institusi ilmu pengetahuan yang acap takluk kepada kepentingan-kepentingan yang membelokkan tujuan pengelolaan sumber daya alam: kesejahteraan, keadilan, dan kelestarian.
ADVERTISEMENT
Dalam buku tersebut, Prof HK sangat jelas menunjukkan keberpihakannya membela masyarakat yang lemah. Ia juga menyampaikan gagasan dan pemikiran yang kritis terhadap pemerintah atau institusi yang memiliki wewenang dalam bidang kebijakan pembangunan dan lingkungan hidup.
Membaca buku tersebut, seakan kita di bawa melihat realitas persoalan-persoalan lingkungan di negeri ini. Namun, cara terbaik memahami buku ini adalah mencoba menyelaraskan dengan isu-isu lingkungan yang dialami di wilayah masing-masing. Seperti kebanyakan persoalan lingkungan hidup di negeri ini, mulai dari tambang dan daya dukung alam, ekosistem lahan gambut dan mangrove. Termasuk pula konflik agraria yang melibatkan banyak unsur yang belum menemukan titik temu penyelesaiannya.
Mengakhiri tulisan ini, saya bersaksi bahwa kepergian Prof. Hariadi Kartodihardjo meninggalkan kekosongan yang sulit diisi. Sosok Prof. Hariadi Kartodihardjo adalah pribadi yang tidak hanya berbicara tentang perubahan, tetapi juga mengupayakan perubahan tersebut melalui tindakan nyata. Dedikasinya terhadap lingkungan dan keadilan sosial akan selalu dikenang dan menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya.
ADVERTISEMENT
Kepergiannya adalah kehilangan besar bagi dunia lingkungan hidup dan kehutanan di Indonesia. Namun berbagai pemikiran yang telah ia wariskan, kelak menjadi “amal ekologis” yang tumbuh subur di akhirat. Selamat jalan. Tidur dengan tenang dalam pelukan Bumi, Prof.