Konten dari Pengguna

WFH: Hemat Buat Kantor, Tekor Buat Pekerja?

Arif Maulana Alwidan
Mahasiswa Ilmu Komunikasi yang aktif sebagai Public Relations di Kejar Mimpi Tangerang Selatan dan Program Development di komunitas BySEHATI. Tertarik pada isu seputar komunikasi, pengembangan diri, dan peran anak muda dalam komunitas.
7 Juli 2025 10:48 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
WFH: Hemat Buat Kantor, Tekor Buat Pekerja?
Kerja fleksibel sering disebut solusi masa kini, tapi benarkah selalu menguntungkan bagi pekerja? Sisi lain WFH dan hybrid justru menyimpan risiko yang tak banyak disadari.
Arif Maulana Alwidan
Tulisan dari Arif Maulana Alwidan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seorang pekerja wanita tampak stres saat bekerja dari rumah. (Foto: SEO Galaxy via Unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
Seorang pekerja wanita tampak stres saat bekerja dari rumah. (Foto: SEO Galaxy via Unsplash)
Sistem kerja yang fleksibel seperti WFH dan hybrid kian dielu-elukan sebagai bentuk revolusi dunia kerja pasca-pandemi. Narasi soal kebebasan waktu, keseimbangan hidup, dan efisiensi menjadikan fleksibilitas ini sebagai solusi masa depan. Namun, di balik semua itu, muncul pertanyaan: benarkah ini bentuk empati terhadap pekerja, atau justru cara perusahaan memangkas operasional sambil tetap menuntut produktivitas?
ADVERTISEMENT

Hemat Biaya, Alihkan Beban

Transformasi pola kerja sejak pandemi telah menciptakan norma baru di banyak sektor. Namun jika dicermati lebih dalam, tren ini juga membuka celah eksploitasi gaya baru: beban kerja tetap tinggi, tetapi beban biaya beralih ke pekerja.
Menurut laporan dari Owl Labs (2022), 90% pekerja remote di Amerika Serikat mengaku bekerja sama atau bahkan lebih produktif dibanding saat bekerja di kantor. Namun di sisi lain, 55% dari mereka juga melaporkan bekerja lebih dari 40 jam per minggu menunjukkan bahwa produktivitas meningkat bukan karena efisiensi, tetapi karena jam kerja yang lebih panjang.
Alih-alih bekerja di kantor dengan fasilitas lengkap, kini karyawan harus menyiapkan ruang kerja sendiri dari biaya listrik, langganan internet, hingga peralatan pendukung.
ADVERTISEMENT

Produktivitas yang Menyesatkan

Angka produktivitas sering kali dijadikan justifikasi keberhasilan sistem kerja fleksibel. Namun data dari Microsoft Work Trend Index (2022) menunjukkan bahwa 54% pekerja merasa "overworked" dan 39% merasa "exhausted" akibat kerja fleksibel yang tidak terstruktur.
Fenomena ini menciptakan tekanan psikis berkepanjangan. Performa menjadi ukuran utama, sementara konteks kerja nyaris diabaikan. Tanpa dukungan sistem dan fasilitas yang memadai, kerja fleksibel tak ubahnya maraton tanpa garis akhir.
Narasi kebebasan dalam kerja fleksibel ternyata menyimpan kejanggalan. Di satu sisi pekerja dianggap punya kendali atas waktu dan tempat kerja. Namun di sisi lain, mereka tetap dituntut untuk selalu siap, disiplin, dan produktif sepanjang waktu. Tanpa batasan yang jelas, fleksibilitas ini justru sering membuat pekerja terjebak dalam pola kerja yang melelahkan.
ADVERTISEMENT
Laporan Deloitte Global Millennial and Gen Z Survey (2023) menyebutkan bahwa 46% Gen Z dan 39% milenial mengaku mengalami burnout karena tidak adanya batasan antara jam kerja dan kehidupan pribadi saat bekerja dari rumah

Tuntutan Besar, Tunjangan Kecil?

Jika perusahaan tetap menginginkan output optimal dari pekerja remote, maka sudah seharusnya kompensasi diberikan secara setara. Mulai dari tunjangan kerja jarak jauh, fleksibilitas jam yang manusiawi, hingga standar operasional yang berpihak pada kesehatan mental karyawan.
Berdasarkan survei Buffer (2023), hanya 38% pekerja remote yang mendapatkan kompensasi tambahan seperti subsidi internet atau peralatan kerja. Hal ini menegaskan ketimpangan tanggung jawab yang masih banyak diabaikan.
Kerja fleksibel seharusnya tidak hanya dilihat dari di mana seseorang bekerja, tapi juga siapa yang menanggung beban dan risikonya. Kalau semua biaya mulai dari listrik, internet, sampai kelelahan mental dibebankan ke pekerja tanpa ada dukungan atau kompensasi yang seimbang, maka kebebasan yang dijanjikan hanya sebatas janji manis. Sudah saatnya perusahaan benar-benar bertanggung jawab, bukan bersembunyi dibalik istilah kekinian sambil abai pada keadilan dan kesejahteraan karyawannya.
ADVERTISEMENT