Pentingnya Pembangunan Manusia Berbasis Gender

Arif Rahman
Statistisi Ahli Pertama BPS Kabupaten Sekadau
Konten dari Pengguna
1 November 2020 6:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arif Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Kesetaraan Gender (Sumber: wordpress.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Kesetaraan Gender (Sumber: wordpress.com)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Pada prosesnya, pembangunan di suatu negara tidak terlepas dari pengaruh sumber daya manusia sebagai pelaku yang ada di dalamnya. Menurut Tikson (2005), salah satu tolok ukur dari tingkat keberhasilan pembangunan suatu wilayah adalah pembangunan manusia yang dimilikinya.
ADVERTISEMENT
Pada negara yang memiliki tingkat pembangunan manusia yang tinggi, terkadang masih ada ketimpangan antara pembangunan laki-laki dan perempuan. Padahal, pada hakekatnya keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan sangat tergantung pada peran serta seluruh penduduk, baik laki-laki maupun perempuan.
Diskriminasi gender dalam berbagai hal di kehidupan bermasyarakat menimbulkan perbedaan capaian antara laki-laki dan perempuan. Di wilayah yang masih kental akan budaya patriarki, perempuan umumnya lebih tertinggal dari laki-laki baik di bidang kesehatan, pendidikan dan ekonomi.
Hal ini terjadi karena norma yang ada pada budaya patriarki seringkali merugikan perempuan dengan menempatkannya sebagai “warga kelas dua”. Oleh karena itu, pencapaian kesetaraan gender menjadi hal yang penting agar laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan yang sama untuk berperan dan ikut berpartisipasi dalam bidang kehidupan.
ADVERTISEMENT
Bagi sebagian orang, terkadang masih keliru mengartikan istilah gender. Gender bukan dimaknai sebagai perbedaan fisik antara laki-laki dan perempuan dalam arti biologis. Pemaknaan gender mengacu pada perbedaan laki-laki dan perempuan dalam peran, perilaku, kegiatan serta atribut yang dikonstruksikan secara sosial (Kementerian PPPA).
Pengertian kesetaraan gender mengacu pada persamaan hak, tanggung jawab dan kesempatan antara perempuan dan laki-laki dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan (UN Women).
Kini, isu gender menjadi salah satu hal penting yang dicantumkan dalam berbagai dokumen perencanaan pembangunan, baik pada tingkat nasional maupun global.
Bahkan, isu gender juga menjadi salah satu poin dalam tujuan pembangunan berkelanjutan/Sustainable Development Goals (SDGs) yang tercantum dalam tujuan ke-5 yakni “Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan kaum perempuan”. Selain secara khusus dicantumkan dalam tujuan kelima, isu gender juga tercakup pada hampir seluruh tujuan dalam SDGs.
ADVERTISEMENT
Pengukuran Pembangunan Gender
Menurut Sen (1989), pembangunan manusia meliputi konsep yang luas, mencakup pemberdayaan, kerjasama, kesetaraan, keberlanjutan, dan keamanan. Untuk menyederhanakan konsep yang sangat luas ini, United Nations Development Programme (UNDP) menyusun ukuran pembangunan manusia yang dikenal sebagai Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Selanjutnya, agar ukuran ini juga dapat digunakan untuk membandingkan capaian pembangunan berbasis gender, maka UNDP mengembangkan Indeks Pembangunan Gender (IPG) sebagai turunan IPM. IPG merupakan rasio antara IPM perempuan dan IPM laki-laki, dimana semakin mendekati 100, maka semakin rendah kesenjangan pembangunan manusia antara perempuan dan laki-laki.
Dengan adanya ukuran terpisah antara IPM laki-laki dan IPM perempuan, maka analisis tentang kualitas hidup masing-masing kelompok gender tersebut dapat dilakukan secara parsial.
ADVERTISEMENT
Kualitas manusia dalam IPM diukur dari tiga dimensi yaitu meliputi dimensi pendidikan, dimensi kesehatan, dan dimensi ekonomi. Adapun komponen pembentuk IPM yang digunakan adalah Angka Harapan Hidup (AHH) saat lahir yang mewakili dimensi kesehatan, Harapan Lama Sekolah (HLS) dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS) yang mewakili dimensi pendidikan, serta Pendapatan Nasional Bruto (PNB) perkapita yang mewakili dimensi ekonomi.
AHH saat lahir didefinisikan sebagai rata-rata perkiraan banyak tahun yang dapat ditempuh oleh seseorang sejak lahir. AHH saat lahir mencerminkan derajat kesehatan suatu masyarakat.
Selanjutnya, HLS didefinisikan sebagai lamanya sekolah (dalam tahun) yang diharapkan akan dirasakan oleh anak berusia 7 tahun ke atas di masa mendatang. Sementara itu, RLS didefinisikan sebagai jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk berusia 25 tahun ke atas dalam menjalani pendidikan formal.
ADVERTISEMENT
Capaian Pembangunan Gender di Indonesia
Berdasarkan data Human Development Report (HDR), pada tahun 2017 nilai IPG dunia berada di tingkat 94,12 poin. Dengan nilai IPG yang berada di bawah 100, dapat disimpulkan bahwa secara global pembangunan laki-laki masih lebih tinggi dibandingkan pembangunan perempuan.
Indonesia sendiri memiliki nilai IPG sebesar 93,22 poin dan masih berada di bawah rata-rata nilai dunia (94,12). Dengan nilai IPG sebesar 93,22 poin juga menunjukkan bahwa capaian pembangunan perempuan masih di bawah laki-laki, meskipun perbedaannya tidak terlalu besar.
Pada level ASEAN, angka IPG Indonesia sendiri berada di peringkat ke-9 dari sepuluh negara dan termasuk satu dari tiga negara ASEAN dengan nilai IPG di bawah rata-rata dunia. Hal ini menunjukkan bahwa kesetaraaan pembangunan perempuan dan laki-laki di Indonesia masih jauh tertinggal dibanding negara-negara ASEAN lainnya, bahkan masih jauh di bawah Malaysia (97,55) dan Singapura (98,20) yang posisinya sangat berdekatan dengan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Perbedaan pencapaian dalam bidang ekonomi menjadi penyebab utama kesenjangan pembangunan manusia antara laki-laki dan perempuan di Indonesia. Komponen penyusun IPM yang merefleksikan keadaan perekonomian diwakili oleh Pendapatan Nasional Bruto (PNB) perkapita.
Kesenjangan pencapaian dalam bidang ekonomi dapat dilihat dari perbedaan pendapatan laki-laki dan perempuan. Kesenjangan tersebut dapat dilihat melalui rasio PNB perkapita antara perempuan dan laki-laki. Jika rasio PNB mendekati angka 1, maka kesenjangan antara perempuan dan laki-laki dari sisi ekonomi semakin kecil begitu pula sebaliknya.
Berdasarkan data dari HDR, rata-rata rasio PNB perkapita perempuan dan laki-laki secara global berada di angka 0,56 yang menunjukkan bahwa kesenjangan antara pendapatan perempuan dan laki-laki di tingkat global masih cukup besar.
Sementara itu, rasio PNB perkapita antara perempuan dengan laki-laki di Indonesia adalah sebesar 0,51, terpaut 0,05 di bawah rata-rata dunia. Nilai rasio PNB yang masih jauh di bawah satu juga menunjukan bahwa kesenjangan antara pendapatan perempuan dan laki-laki di Indonesia masih cukup besar, dimana pendapatan laki-laki jauh di atas perempuan. Pada level ASEAN rasio PNB perkapita Indonesia bahkan menduduki urutan ke sepuluh (terakhir), terpaut 0,33 poin dibandingkan Vietnam yang berada di urutan pertama dengan rasio PNB perkapita sebesar 0,84 poin.
ADVERTISEMENT
Upaya Peningkatan Pembangunan Gender
Pencapaian pembangunan manusia diukur dengan memperhatikan tiga dimensi esensial yaitu kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Peningkatan capaian IPM tidak terlepas dari peningkatan capaian setiap komponennya. Apabila suatu wilayah memiliki IPM rendah, maka perlu dilihat mana dari tiga dimensi tersebut yang menjadi penyebabnya.
Pada ulasan sebelumnya, rendahnya capaian IPG di Indonesia terjadi karena rendahnya capaian dari dimensi ekonomi yang diwakili oleh PNB perkapita. Oleh karena itu, pemerintah selayaknya memberikan perhatian yang lebih pada peningkatan dimensi ekonomi. Namun, tanpa mengesampingkan pembangunan pada dimensi kesehatan dan pendidikan.
Selama ini, rendahnya capaian pendapatan perempuan karena masih rendahnya partisipasi perempuan dalam pasar tenaga kerja. Selain itu, keterbatasan perempuan dalam memasuki pasar tenaga kerja karena pada beberapa lapangan usaha tertentu cenderung hanya memperkerjakan tenaga kerja laki-laki.
ADVERTISEMENT
Salah satu upaya yang bisa dilakukan pemerintah untuk mendorong partisipasi perempuan dalam pasar tenaga kerja adalah dengan memberikan kesempatan yang sama kepada perempuan untuk memasuki lapangan usaha tertentu.
Disisi lain, budaya patriarki yang masih melekat hingga saat ini memberikan sekat bagi perempuan untuk lebih bertanggung jawab di bidang domestik atau pekerjaan rumah tangga. Sementara peran publik diberikan kepada laki-laki. Pembebanan peran domestik mengakibatkan secara umum perempuan menjadi kurang produktif secara finansial.
Oleh karena itu, pemerintah sudah semestinya terus memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja tanpa terkecuali. Dengan demikian, diharapkan capaian dimensi ekonomi akan meningkat dan akhirnya berdampak pada meningkatnya IPG di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Penulis: Arif Rahman, Statistisi Ahli Pertama BPS