Potret Balita Stunting di Indonesia

Arif Rahman
Statistisi Ahli Pertama BPS Kabupaten Sekadau
Konten dari Pengguna
1 November 2020 6:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arif Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Balita Stunting (Sumber: Kendari Pos)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Balita Stunting (Sumber: Kendari Pos)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan modal yang harus dijaga dan dilindungi dengan baik demi kemajuan suatu negara. Hal mendasar yang harus dilakukan salah satunya adalah menjamin perkembangan anak usia dini sebagai generasi unggul yang akan menentukan masa depan bangsa.
ADVERTISEMENT
Jika fondasi dasar yang dibutuhkan pada anak sejak usia dini sudah dibangun secara baik, maka akan lebih mudah untuk mengembangkan kemampuan selanjutnya di masa yang akan datang.
Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa upaya pemeliharaan kesehatan anak harus dilakukan sejak anak masih dalam kandungan, dilahirkan, setelah dilahirkan, dan sampai berumur 18 tahun.
Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak ini ditujukan untuk mempersiapkan generasi yang akan datang yang sehat, cerdas, dan berkualitas serta untuk menurunkan angka kematian bayi dan anak.
Saat ini, peningkatan kesehatan anak merupakan salah satu isu global. Isu ini masuk dalam target Sustainable Development Goals (SDGs), yang terdapat pada tujuan ketiga, yaitu menjamin kehidupan yang sehat dan meningkatkan kesejahteraan seluruh penduduk semua umur pada tahun 2030. Salah satu target yang ditetapkan adalah menurunkan angka stunting hingga 40% pada tahun 2025.
ADVERTISEMENT
Sejalan dengan upaya pencapaian target SDGs tersebut, pemerintah berusaha meningkatkan status kesehatan dan gizi anak Indonesia. Salah satu program yang menjadi fokus pemerintahan Presiden Joko Widodo terkait hal ini adalah menurunkan prevalensi stunting di Indonesia.
Agenda ini merupakan satu dari empat program prioritas pembangunan kesehatan yang terdapat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.
Perkembangan Prevalensi Balita Stunting di Indonesia
Berdasarkan data prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World Health Organization (WHO), Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara. Dalam periode waktu 2007-2013, prevalensi balita stunting di Indonesia cenderung statis.
Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi balita stunting di Indonesia sebesar 36,8 persen. Selanjutnya, pada tahun 2010 terjadi sedikit penurunan menjadi 35,6 persen. Namun, prevalensi balita stunting kembali meningkat pada tahun 2013 yaitu menjadi 37,2 persen.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2019, prevalensi balita stunting di Indonesia menunjukkan angka 27,70 persen atau dengan kata lain 28 dari 100 balita menderita stunting. Walaupun menunjukkan penurunan jika dibandingkan angka pada tahun 2018 (30,80 persen), namun prevalensi stunting balita di Indonesia masih tergolong tinggi.
Bila merujuk pada standar WHO, jumlah tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan batas maksimal stunting yang ditetapkan yaitu sebesar 20 persen atau seperlima dari jumlah total anak balita. Dengan demikian, persentase balita stunting di Indonesia secara keseluruhan masih tergolong tinggi dan harus selalu mendapat perhatian khusus oleh pemerintah.
Apabila dilihat menurut provinsi, terlihat bahwa masalah stunting pada balita terjadi di seluruh provinsi di Indonesia. Namun hal yang patut mendapat perhatian adalah adanya kesenjangan yang tinggi antara provinsi dengan prevalensi stunting balita terendah dan tertinggi.
ADVERTISEMENT
Lima provinsi dengan kasus balita stunting paling sedikit adalah Bali (14,4), Kepulauan Riau (16,8), Kepualau Bangka Belitung (19,9), DKI Jakarta (20,0), Jambi (21,0), dan DI Yogyakarta (83,63). Sedangkan lima provinsi dengan kasus balita stunting paling banyak, yaitu Aceh (34,2), Gorontalo (34,9), Nusa Tenggara Barat (37,9), Sulawesi Barat (40,4), dan Nusa Tenggara Timur (43,8).
Tampak bahwa terjadi kesenjangan yang cukup signifikan antara Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Di Bali, dari 100 balita terdapat 14 orang diantaranya mengalami stunting. Sementara di NTT, dari 100 balita terdapat 43 orang yang mengalami stunting atau hampir separuhnya. Tentu saja ini menjadi PR besar khususnya bagi pemerintah daerah yaitu NTT agar terus berupaya untuk menekan angka stunting di daerahnya.
ADVERTISEMENT
Upaya Pemerintah Menurunkan Prevalensi Balita Stunting
Upaya pemerintah untuk menurunkan prevalensi balita stunting di Indonesia bukan tanpa alasan. Stunting merupakan gambaran rendahnya kualitas sumber daya manusia yang berdampak pada risiko penurunan kemampuan produktif suatu bangsa.
Menurut Presiden Jokowi, anak yang stunting bukan saja secara fisik tumbuh terlalu pendek atau kerdil untuk usianya, tapi juga mengganggu perkembangan otaknya sehingga akan mempengaruhi daya serap dan prestasi di sekolah, mempengaruhi produktivitas, kemudian mempengaruhi kreativitas di usia-usia yang produktif. Apabila hal ini tidak segera ditangani, maka akan mempengaruhi daya saing bangsa di masa depan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga, setidaknya ada lima objek yang menjadi sasaran pemerintah untuk menurunkan prevalensi balita stunting di Indonesia yaitu ibu hamil dan bersalin, balita, anak usia sekolah, remaja, dan dewasa muda.
ADVERTISEMENT
Adapun upaya yang dilakukan untuk masing-masing objek tersebut adalah:
Pertama, upaya yang dilakukan pada ibu hamil dan bersalin antara lain intervensi pada 1.000 hari pertama kehidupan; mengupayakan jaminan mutu ante natal care (ANC) terpadu; meningkatkan persalinan di fasilitas kesehatan; menyelenggarakan program pemberian makanan tinggi kalori, protein, dan mikronutrien (TKPM); deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular); pemberantasan kecacingan; meningkatkan transformasi Kartu Menuju Sehat (KMS) ke dalam Buku KIA; menyelenggarakan konseling Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan ASI eksklusif; dan penyuluhan dan pelayanan KB.
Kedua, upaya yang dilakukan pada balita yaitu pemantauan pertumbuhan balita; menyelenggarakan kegiatan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk balita; menyelenggarakan stimulasi dini perkembangan anak; dan memberikan pelayanan kesehatan yang optimal.
ADVERTISEMENT
Ketiga, upaya yang dilakuakan pada anak usia sekolah yaitu melakukan revitalisasi Usaha Kesehatan Sekolah (UKS); menguatkan kelembagaan Tim Pembina UKS; menyelenggarakan Program Gizi Anak Sekolah (PROGAS); dan memberlakukan sekolah sebagai kawasan bebas rokok dan narkoba
Keempat, upaya yang dilakukan pada remaja yaitu meningkatkan penyuluhan untuk perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), pola gizi seimbang, tidak merokok, dan mengonsumsi narkoba; dan pendidikan kesehatan reproduksi.
Kelima, upaya yang dilakukan pada dewasa muda yaitu penyuluhan dan pelayanan keluarga berencana (KB); deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular); dan meningkatkan penyuluhan untuk PHBS, pola gizi seimbang, tidak merokok/mengonsumsi narkoba.
Penulis: Arif Rahman, Statistisi Pertama BPS