Konten dari Pengguna

Di Era AI, Anak-anak Tetap Memerlukan Guru

Arif Yudistira
Peminat Dunia Pendidikan dan Anak. Penulis Buku Momong (2022). Pengasuh SD Muhammadiyah MBS Prambanan
25 November 2024 15:06 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arif Yudistira tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Guru Mengajar.  Sumber Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Guru Mengajar. Sumber Pixabay.com
ADVERTISEMENT
Di era Artificial Intellegence (AI), pendidikan memiliki tantangan yang lebih kompleks. Di saat literasi masyarakat Indonesia masih belum tegak sepenuhnya, kita dihadapkan pada tantangan kecepatan informasi dan teknologi yang ada di depan mata kita.
ADVERTISEMENT
Kecepatan teknologi dan informasi ini seperti mata pisau. Pada satu sisi, anak-anak kita bisa lebih cepat mengerti dunia di sekitar mereka maupun dunia di seberang sana. Di sisi lain, kecepatan informasi yang masuk dalam diri mereka telah dengan cepat membawa perubahan yang mencemaskan.
Kejahatan yang dilakukan anak-anak kita turut serta dipengaruhi secara tidak langsung dari apa yang mereka tonton, mereka konsumsi di setiap harinya. Kecepatan mereka menonton tidak seimbang dengan kecepatan mereka mencerna teknologi dan informasi yang mereka saring atau cerna. Parahnya, mereka tidak memiliki alat yang cukup memadai untuk mencerna informasi, tontonan maupun dunia digital yang kini ada di genggaman mereka.
Alih-alih semakin cerdas, justru disinformasi, teror serta pengaruh negatif dari teknologi dan informasi membuat saraf otak anak-anak kita rusak. Banyak kasus mulai dari pengaruh radiasi iphone, sampai dengan kecanduan game online, atau gejala “gila belanja” yang muncul akibat merebaknya marketplace. Anak-anak kita tumbuh di dunia yang terbelah. Mereka dipaksa untuk mencerna gambar-gambar porno yang berseliweran ibarat iklan yang kerap muncul di layar ponsel pintar mereka.
ADVERTISEMENT
Pendidikan Literasi
Kecerdasan buatan atau AI memang memaksa kita (manusia) untuk beradaptasi dengan cepat. Konon berdasarkan penelitian, orang yang memadukan kecerdasannya dengan AI akan semakin cerdas, begitu pula sebaliknya. Tesis ini selayaknya kita uji terus. Namun, ada yang lebih penting dari itu, yakni mengajarkan dan menanamkan literasi pada anak-anak kita.
Tidak ada ilmu untuk menanamkan betapa pentingnya literasi selain keteladanan. Aktivitas membaca buku, menulis dan terus mencatat apa yang penting dari khazanah kita menjadi sangat berharga di era yang serba cepat ini.
Bayangkan ketika di bus-bus umum, di tempat ramai seperti bandara, terminal, di kereta api misalnya, masih banyak orangtua, guru-guru kita membaca atau menulis. Fenomena ini bukan hanya langka, tetapi semakin pudar di era AI. Yang kita temui justru sebaliknya. Anak muda kita kerap bermain game, bermain media sosial atau hanya menghabiskan waktunya untuk tidur di tempat umum. Tingkat literasi sebuah bangsa bisa kita lihat dari yang sederhana, bagaimana mereka memanfaatkan waktu untuk membaca. Kita bisa lihat negara Jepang atau di negara maju lainnya.
ADVERTISEMENT
Pendidikan literasi di negara maju ditanamkan sejak kecil. Anak-anak dikenalkan buku, dibawa ke pameran buku, di rumah diajak mendongeng atau diceritakan buku. Semua itu membawa anak anak menjadi kaya imajinasinya, menjadi kaya khazanah pengetahuannya, dan juga mendidik dan melatih nalar mereka. Memori berliterasi itu dibawa anak-anak sampai dewasa sehingga tradisi berliterasi itu menjadi tumbuh.
Guru-guru kita masih mengandalkan tradisi oral dalam mendidik anak-anak kita. Tradisi oral ini baik, tetapi bila tidak ditopang dengan tradisi literer yang tinggi, kita khawatir, guru-guru kita di masa sekarang tidak mampu memuaskan hasrat belajar anak-anak kita di ruang kelas.
Di masa lampau, guru-guru kita sering mendongeng, bercerita dan berkisah tentang epos mahabarata, cerita rakyat, dongeng anak hingga kisah-kisah penuh hikmah yang erat kaitannya dengan pendidikan moral maupun karakter.
ADVERTISEMENT
Saat ini, ketika teknologi sudah semakin marak, dongeng, cerita serta kisah oral dari guru semakin sirna. Guru dituntut untuk mengejar materi yang harus diajarkan kepada anak-anak kita. Beban kurikulum yang semakin berat menuntut guru menyelesaikan administrasi dan juga laporan baik dari tingkat palingbawah (kepala sekolah) sampai dinas pendidikan.
Kesibukan guru-guru kita pada aktivitas di kelas mereka, sampai dengan kesibukan mereka di rumah membuat guru-guru kita kehilangan waktu untuk berliterasi. Guru-guru semakin alpha terhadap pengembangan dan juga peningkatan kompetensinya. Guru semakin tak sempat membaca buku. Pengetahuan dan juga kemampuan literasinya menjadi ilmu didaktik semata di kelas.
Mengapa literasi untuk guru menjadi penting?. Ilmu pengetahuan, metode pembelajaran adalah sesuatu yang dinamis dan terus berkembang. Meskipun saat ini guru-guru kita dimudahkan dengan teknologi AI, guru-guru tetap penting untuk terus membaca, menulis dan mengasah ilmunya.
ADVERTISEMENT
Anak-anak kita adalah anak-anak yang terus bertumbuh dan terus berkembang dengan situasi berbeda. Mereka anak-anak kita, tetaplah memerlukan sentuhan kasih sayang dari gurunya. Melalui cerita, melalui pendidikan literasi yang dicontohkan gurunya, anak-anak kita akan lebih mudah untuk memiliki semangat literasi. Ajak anak-anak kita mengenali buku, ajak anak kita mencintai perpustakaan, mencintai ilmu.
Di era AI yang serba mudah ini, anak-anak kita tetap memerlukan guru yang mendidik dan mencintai mereka dengan tulus dan penuh kasih sayang. Guru juga memerlukan etos berliterasi yang terus bertumbuh, agar semakin hebat dalam menanamkan semangat dan mendidik anak-anak kita. Teknologi sehebat apapun tidak bisa menggantikan sentuhan guru.