Konten dari Pengguna

Pencegahan Tindak Kekerasan di Lingkungan Pendidikan

Arif Yudistira
Peminat Dunia Pendidikan dan Anak. Penulis Buku Momong (2022). Pengasuh SD Muhammadiyah MBS Prambanan
24 Agustus 2023 16:00 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arif Yudistira tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kekerasan di lingkungan pendidikan. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kekerasan di lingkungan pendidikan. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada awal Agustus 2023 hati kita dibuat remuk redam. Kabar kekerasan terjadi lagi di dunia pendidikan. Zaharman, guru SMA di Bengkulu harus menginap di rumah sakit menjalani pemeriksaan serius dikarenakan matanya yang terluka dan buta karena diketapel oleh wali muridnya sendiri. Zaharman diketapel wali muridnya sendiri karena mengingatkan anak didiknya yang ketahuan merokok. Melihat anaknya diperingatkan, orang tua justru tidak terima dan melukai guru dengan ketapel sampai berakibat buta.
ADVERTISEMENT
Kasus kekerasan di dunia pendidikan seolah tidak berhenti. Kekerasan di sekolah muncul tidak hanya antar murid, kini juga merambah antara murid kepada guru atau sebaliknya. Dunia pendidikan kita saat ini seolah menjauh dari konsep pendidikan keluarga yang diajarkan Ki Hajar Dewantara. Taman Siswa yang dirintis oleh Ki Hajar Dewantara adalah sekolah yang menguatkan pendidikan dengan sistem kekeluargaan.
Bila kita ingat, panggilan “Bapak” dan “Ibu Guru” adalah ajaran Taman Siswa yang mendekatkan dan membentuk kosmologi pendidikan yang dekat. Kedekatan itu tidak hanya sekadar panggilan, tetapi memang guru adalah keluarga kedua di sekolah. Bersekolah itu berkeluarga, belajar dengan riang gembira. Sistem pendidikan berbasis keluarga itu pun ditopang dengan sistem asah, asih dan asuh. Dengan sistem asah asih asuh itulah murid merasa nyaman, senang dan gembira bersekolah.
ADVERTISEMENT

Tidak Lagi Aman

Sekolah kini tidak lagi menjadi ruang yang nyaman untuk belajar. Kasus kekerasan baik fisik maupun seksual yang terjadi di sekolah menambah kekhawatiran kita akan semakin berkurangnya ruang “aman” bagi anak-anak kita untuk belajar dengan tenang.
Rasanya sedih saat menyimak kabar bahwa kekerasan yang terjadi kepada anak justru semakin tinggi. KPAI melansir data sebanyak 4.683 aduan sepanjang 2022. Aduan ini dilakukan baik secara langsung maupun secara tidak  langsung seperti melalui email, daring dan media massa. Dari data tersebut, ada sejumlah 834 aduan kekerasan seksual termasuk yang terjadi di lingkungan pendidikan.
Kekerasan di lingkungan pendidikan tidak bisa dilepaskan dari guru selaku pendidik yang bertanggung jawab di lingkungan pendidikan. Murid-murid bagaimanapun juga memerlukan bimbingan dari para gurunya. Mereka memerlukan sosok pendamping, suri tauladan dan juga pembimbing yang menuntunya belajar dengan baik. Sayangnya, guru yang notabene menjadi sosok yang dihormati, justru menjadi pelaku kekerasan di lingkungan pendidikan.
ADVERTISEMENT
O Sullivan [Urban Economics: 2000] membuat analisa menarik tentang faktor dan indikator yang membuat anak-anak sering terlibat dengan praktik kekerasan, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Dalam pandangannya, kekerasan yang dilakukan seorang siswa sesungguhnya merupakan dampak langsung dari kebijakan tentang ukuran ruang kelas (class size), sumber pembiayaan sekolah (school financial resources), kurikulum (the curriculum), efek pergaulan sejawat (peer effects), dan latar belakang orang tua (parents' background).
Kebijakan pendidikan kita sering melupakan aspek dan faktor sarana dan prasarana yang nyaman serta aturan yang tegas tentang hubungan murid dan guru serta faktor kemiskinan yang menimbulkan ketimpangan dalam dunia pendidikan.
Tata ruang yang baik, ruang kelas yang luas dan nyaman akan mendukung bagi tumbuh kembangnya anak belajar dengan senang. Sebaliknya bila ruangan sempit, pergerakan murid kurang akan mengakibatkan anak menjadi malas dan kurang semangat dalam belajar. Kelas yang gerah, sempit dan juga terbatas cenderung membuat emosi anak lebih cepat meledak serta rentan menimbulkan konflik dan kekerasan pada anak.
ADVERTISEMENT

Pencegahan

Sekolah perlu memperhatikan aspek sosial murid-muridnya. Sekolah yang baik tentu mengamati, memahami serta mengerti bagaimana tumbuh kembang anak-anaknya. Seiring pertumbuhan murid-muridnya, sekolah juga perlu mengatur dan mengajak anak didiknya aktif dalam membuat peraturan yang mendorong tumbuhnya ruang yang nyaman, aman dan menyenangkan bagi murid-muridnya.
Anak di usia SMP atau SMA misalnya, ia harus diajak untuk berdialog, menyusun aturan bersama yang mendorong mereka menciptakan ruang belajar dan ruang tumbuh yang nyaman dan aman dari kekerasan.
Pemerintah dalam hal ini Kemendikbudristek juga telah meluncurkan program Merdeka Belajar ke-25. Nadiem Makarim meluncurkan Permendikbudristek nomor 46 tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
Permendikbudristek ini secara lebih detail mengatur tindakan preventif agar tindak kekerasan tidak terjadi pada pendidik, murid maupun masyarakat atau wali murid. Peraturan Menteri ini semakin mempertegas komitmen pemerintah untuk mencegah kekerasan terjadi di dunia pendidikan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, permendikbudristek ini adalah wujud kepedulian pemerintah untuk melindungi, menjaga dan peduli terhadap kasus kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan saat ini. Nadiem berharap semua warga sekolah menyadari pentingnya pencegahan kekerasan di lingkungan pendidikan.
Adanya aturan Permendikbudristek ini adalah komitmen Kemendikbudristek peduli terhadap kampanye anti kekerasan terhadap dunia pendidikan terutama di sekolah.